Penulis
Intisari-Online.com -Diketahui bahwa Donald Trump kalah dalam pilpres AS 2020 melawan saingannya Joe Biden yang kini menjabar sebagai presiden AS.
Kekalahan Trump dalam pilpres tahun lalu tersebut membawa kekhawatiran soal tombol nuklir.
Tak lama setelah Trump kalah, sempat gencar isu tentang pengaktifan tombol nuklir oleh Presiden Amerika Serikat.
Saat itu, Ketua DPR Nancy Pelosi sampai menghubungi jenderal tinggi Pentagon, Mark Milley, untuk memastikan Trump yang sedang kalut tidak menggunakan tombol nuklir.
Konstitusi AS menyebut bahwa presiden adalah satu-satunya orang yang memiliki wewenang utama untuk memerintahkan serangan nuklir.
Tombol nuklirnya sendiri berupa kode rahasia.
Tidak ada satu orang pun selain presiden yang bisa ikut campur.
Kongres, para pemimpin Pentagon, barisan jenderal, apalagi warga sipil, tidak bisa mengintervensi keputusan presiden untuk mengaktifkan tombol nuklir.
Ke mana pun presiden AS bepergian, dia ditemani oleh seorang ajudan yang membawa Football Nuclear atau "koper nuklir", seperti diwartakan AFP pada 8 Januari 2021.
Tas itu berisi instruksi, rencana serangan, dan kode untuk memulai serangan nuklir yang hanya dapat digunakan oleh presiden.
Mengingat kebutuhan untuk mempertimbangkan tindakan, peralatan apa yang akan digunakan, dan target mana yang dipilih, keputusan seperti itu biasanya dilakukan dengan berkonsultasi dulu dengan kepala pertahanan.
Namun, begitu presiden memutuskan - entah setelah banyak pertimbangan atau dalam keadaan marah - baik militer maupun Kongres tidak dapat menolak perintah ini, kata laporan pada Desember 2020 tentang komando dan kontrol nuklir dari Congressional Research Service.
Satu-satunya batasan pada presiden AS, dalam hal ini, adalah legalitas serangan.
Hukum perang akan memungkinkan pejabat militer untuk menolak melaksanakan perintah dalam melakukan sesuatu yang ilegal.
Laporan Congressional Research Service mengatakan, "Tetapi, pertanyaan tentang legalitas perintah - apakah itu konsisten dengan persyaratan, di bawah hukum konflik bersenjata untuk kebutuhan, proporsionalitas, dan perbedaan - lebih cenderung mengarah pada konsultasi dan perubahan dalam perintah presiden, daripada ke penolakan oleh militer untuk melaksanakan perintah itu."
Jika presiden memang memutuskan untuk memerintahkan serangan nuklir, dia biasanya akan berkonsultasi dengan kepala militer tentang pilihannya.
Dalam "koper nuklir", presiden AS akan disediakan opsi untuk menyerang dan peralatan komunikasi guna memerintahkannya secara resmi.
Presiden AS bakal menggunakan kartu kode unik untuk dirinya sendiri yang disebut "biskuit".
Itu untuk mengesahkan identitasnya sebagai panglima yang diberi wewenang memerintahkan serangan nuklir.
Selanjutnya, perintah peluncuran nuklir akan dikirim ke Komando Strategis AS.
Di sana, ada perwira yang mengonfirmasi perintah berasal dari presiden dan eksekusi akan dilakukan.
Serangan nuklir bisa terjadi paling cepat dua menit dari perintah untuk peluncuran rudal nuklir berbasis darat, atau 15 menit dari kapal selam.
Derek Johnson dari organisasi anti-nuklir Global Zero mengatakan, "Orang-orang dalam rantai komando mungkin secara teknis menolak untuk mematuhi perintah, tetapi perintah yang diverifikasi dianggap sah."
"Tekanan untuk patuh akan sangat besar," ungkapnya.
Dalam semua prosedur ini, tidak ada ketentuan dalam sistem komando dan kontrol nuklir untuk mengecualikan perintah, jika presiden terlihat tidak stabil secara mental dan mengabaikan nasihat para jenderalnya.
Jika memang pengaktifan tombol nuklir dilakukan presiden AS saat emosinya tidak stabil, satu-satunya pilihan adalah mengaktifkan Amendemen ke-25.
Yakni tentang pencopotan presiden dari kekuasaan.