Penulis
Intisari-Online.com – Krisis kesehatan dan ekonomi yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada kehidupan orang dewasa, tetapi juga anak-anak dan remaja. Dampak yang dirasakan anak-anak dan remaja bersifat langsung dan tidak langsung.
Direktur Jendral PAUD, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Jumeri mengatakan, pandemi menciptakan kesenjangan dalam capaian pembelajaran.
Hal tersebut ia sampaikan dalam Dialog Produktif bertajuk “Anak Terlindungi Indonesia Maju” yang diselenggarakan oleh Komite Penanganan Covid-19 dan Perbaikan Ekonomi Nasional (KPC PEN), Kamis (22/7/2021).
Ia mengatakan, pelaksanaan pembelajaran jarak jauh (PJJ) sangat dipengaruhi oleh akses untuk terhubung secara daring.
Baca Juga: Kurban Online hingga Bantu Pasien Isoman, Ini Serangkaian Aksi Kebaikan di Masa Pandemi
“Ada ketimpangan yang luar biasa antara daerah maju dan terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T),” ujarnya dalam rilis yang diterima Intisari-Online, Jumat (23/7/2021).
Selain itu, tantangan lainnya adalah kesempatan anak memperoleh pendampingan dari orangtua. PJJ membuat konsep pendidikan menitikberatkan pada pendampingan orangtua.
“Jadi, di rumah diharapkan orangtua untuk mendampingi putra-putrinya ketika belajar. Orangtua jadi teman belajar. Ini mengembalikan konsep pendidikan pertama ada di keluarga.
Di sisi lain, ia mengatakan, tidak semua orangtua memiliki kemampuan untuk mendampingi putra-putrinya. Terlebih, waktu adaptasi terhadap konsep PJJ yang dimiliki oleh orangtua dan anak cukup singkat.
Kemendikbud Ristek, kata Jumari, ingin mengupayakan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas. Meski demikian, mengingat risiko penularan Covid-19 dan kondisi pandemi masih berada di level 4, upaya tersebut masih perlu dikaji. Pada PTM terbatas, sekolah-sekolah diminta memanggil anak-anak yang rentan untuk bisa sekolah secara terbatas.
Baca Juga: Jubir Kemenko Marves Jodi Mahardi: Tidak Ada Wilayah Indonesia yang Nol Risiko Covid-19
“Kami juga (akan) menyederhanakan kurikulum agar beban belajar anak tidak terlalu berat. Hanya materi-materi paling esensial yang perlu diajarkan. Ketika PTM terbatas sudah bisa dilakukan kami harap guru-guru juga bisa membimbing orangtua mengenai langkah pendampingan belajar anak,” ujarnya.
Persoalan lain yang dihadapi oleh anak dan remaja di masa pandemi adalah tantangan kesehatan. Spesialis Kebijakan Sosial UNICEF Indonesia Angga D Martha, dalam kesempatan tersebut menambahkan bahwa menurunnya perekonomian keluarga berisiko pada penurunan kualitas pendidikan dan gizi anak.
Baru-baru ini, kata Angga, UNICEF dan Badan Kebijakan Fiskal meluncurkan risalah mengenai dampak Covid-19 terhadap kemiskinan dan mobilitas anak. Jumlah anak dan remaja yang jatih miskin tercatat lebih besar dari kelompok usia lain.
Pada 2020, sebanyak 40 persen dari total populasi anak berusia kurang dari 18 tahun di Indonesia jatuh miskin karena pendapatan keluarganya menurun. Risalah yang sama juga memaparkan bahwa kenaikan biaya hidup membuat 25 persen rumah tangga di Indonesia mengurangi biaya pendidikan dan konsumsi makanan.
“Ini memengaruhi asupan gizi untuk anak-anak Indonesia. Pandemi yang mengisolasi interaksi sosial pada anak-anak juga berpengaruh terhadap tumbuh kembang mentalnya,” kata Angga.
Menambahkan pemaparan Angga, Direktur Bidang Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda, dan Olahraga Kementerian PPN/Bappenas Woro S Sulistyaningrum mengatakan bahwa ekonomi yang tertekan dan memengaruhi gizi anak akan berpotensi meningkatkan problem stunting.
Tak hanya itu, pada masa awal pandemi, layanan imunisasi anak juga terhambat.
“Berkaca pada awal pandemi 2020, layanan imunisasi anak terhambat karena banyak pula orangtua takut datang ke layanan kesehatan sehingga anak-anak tidak mendapat imunisasi lengkap,” ujar Woro.
Masih ada anggapan anak tidak rentan tertular
Woro juga mengatakan bahwa saat ini masih ada orangtua yang terjebak anggapan bahwa anak tidak rentan tertular Covid-19.
“Pada kenyataannya, anak-anak kita rentan sekali terpapar. Dampak pandemi yang dirasakan anak juga tidak hanya pada kesehatan tapi sosial ekonomi juga,” ujarnya.
Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dr Siti Nadia Tarmizi, yang turut hadir dalam dialog tersebut mengatakan, orangtua harus tetap menjaga anak-anak dengan menerapkan protokol kesehatan.
“Artinya, anak-anak jangan dihadapkan pada risiko penularan Covid-19, seperti dibawa melakukan perjalanan dan diajak makan di luar rumah. Kita tahu risiko penularan itu sangat besar saat beraktivitas di luar rumah,” imbaunya.
Untuk melindungi anak-anak dan remaja dari Covid-19, pemerintah saat ini juga mengupayakan vaksinasi bagi anak dan remaja usia 12-17 tahun. Vaksinasi akan dilaksanakan di fasilitas layanan kesehatan dan sekolah-sekolah.
“Kami bekerja sama dengan sekolah untuk memberi layanan vaksinasi. Distribusi vaksin yang saat ini dilakukan juga sudah termasuk alokasi vaksinasi remaja,” katanya.
Ia menjelaskan dengan dimulainya vaksinasi anak dan remaja usia 12-17 tahun, target capaian herd immunity Indonesia bertambah dari 181,5 juta penerima vaksin menjadi 208 juta sasaran penerima vaksin.
Di samping itu, dr Nadia pun berpesan agar orangtua dengan anak usia di bawah 18 bulan tetap memperhatikan jadwal vaksin rutin bagi anak-anak seperti hepatitis B, BCG, PCV, campak dan rubella. Vaksin untuk penyakit-penyakit tersebut tak kalah penting untuk melindungi kesehatan anak.