Penulis
Intisari-Online.com -Lonjakan kasus Covid-19 yang diiringi dengan lonjakan kasus kematian membuat tempat kremasi jenazah kelabakan.
Padahal, menurutKepala Dinas Pertamanan dan Hutan Kota (Distamhut) DKI Jakarta Suzi Marsitawati, saat ini tidak ada tempat kremasi untuk jenazah Covid-19 di Jakarta.
Oleh karena itu, Suzi menegaskan bahwa jika ada warga yang akan melakukan kremasi terhadap jenazah Covid-19, maka harus dilakukan secara mandiri.
Mulai dari pengantaran jenazah ke lokasi kremasi, hingga biaya kremasi, semua ditanggung sendiri oleh pihak keluarga.
"Masyarakat yang ingin melakukan kremasi terhadap anggota keluarganya dapat dilakukan secara mandiri dan memastikan biaya langsung ke lokasi-lokasi kremasi swasta, bukan melalui oknum," tutur Suzi dalam keterangan tertulis, seperti dilansir dari Kompas.com, Minggu (18/7/2021).
Belakangan, menurut Anggota Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) DPRD DKI Jakarta August Hamonangan, biaya kremasi pun disebut melonjak 3 hingga 4 kali lipat.
Salah satu pihak yang kemudian menjadi tertuduh atas lonjakan tersebut adalah para petugas Palang Hitam yang disebut melakukan pungutan liar "pungli" kepada keluarga jenazah Covid-19 yang akan dikremasi.
Sebuah kondisi yang kemudian dibantah langsung oleh Suzi yang menyebut mahalnya biaya kremasi bukan disebabkan oleh pungutan liar, melainkan karena pemerintah DKI Jakarta memang tidak melakukan proses kremasi terhadap janazah Covid-19.
Di luar kontroversi terkait ada atau tidaknya pungli tersebut, sosok Palang Hitam sebenarnya memiliki kisah sekaligus jasa yang besar.
Dalam senyap, sebelum pandemi melanda, mereka berperan besar dalam mengurus jenazah-jenazah terlantar.
Lalu kini, kala pandemi melanda Jakarta, mereka menjadi salah satu garda terdepan dalam mengurus jenazah Covid-19.
Siapa sebenarnya mereka? Untuk mengetahuinya, kita perlu pergi dulu ke zaman penjajahan Belanda.
Ya, zaman penjajahan Belanda! Sebab mereka sudah ada sejak zaman 'kompeni' setelah dibentuk oleh sebuah yayasan yang dikelola oleh pihak swasta.
Namun, pada masa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin, pemerintah DKI Jakarta kemudian mengambil alih yayasan tersebut.
Sejak saat itulah pasukan Palang Hitam beradadi bawah Dinas Pertamanan dan Pemakaman Provinsi DKI Jakarta.
Status para petugas Palang Hitam adalam pegawai lepas harian (PHL).
Sementara untuk nama, hal tersebut berasal dari adanya pitah hitam yang biasanya disematkan pada jenazah.
"Kalau 'palang merah' mengurus orang sakit, kami mengurus orang meninggal," kata salah seorang anggota Palang Hitam, Ismet, di Gedung Dinas Pertamanan dan Pemakaman Provinsi DKI Jakarta, Jalan Aipda KS Tubun, Jakarta Pusat, Jumat (18/11/2016), seperti dikutip dari kompas.com.
Jika ditanya mengenai tugas dari pasukan Palang Hitam, Ismet menyebut bahwa mereka bertugas untuk mengurus jenazah terlantar atau tanpa identitas.
Ketika ada jenazah korban kecelakaan, pembunuhan, atau tanpa identitas yang diketahui, maka Palang Hitam yang akan bergerak mengurusnya.
"Istilahnya yang meninggal tidak wajar, misal di jalan, tabrak kereta, gedung-gedung, korban pembunuhan,"tutur Ismet.
Sementara itu, Yudi, salah seorang petugas Palang Hitam lain, menuturkan bahwa mereka kerap dihubungi polisi yang telah selesai melakukan olah TKP.
Sebagian besar jenazah tersebut akan dibawa ke Rumah Sakit Polri atau Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Namun, karena beberapa jenazah yang diangkut telah tewas secara tidak wajar, maka mereka pun harus siap mengurus jenazah dengan kondisi 'tidak sempurna'.
Yudi mengisahkan bagaimana mereka harus mengurus mayat yang sudah membusuk, bengkak, pecah, atau bahkan dengan organ tubuh yang berhamburan.
Di luar jenazah-jenazah yang meninggal secara tak wajar, pasukan Palang Hitam juga bertugas mengurus jenazah yang berasal dari panti sosial atau keluarga miskin di rumah sakit milik Pemprov DKI Jakarta.
"Kami mengurus jenazah tersebut mulai dari memandikan, mengantar ke kuburan, hingga ikut menguburkan," ujar Ismet.