Penulis
Intisari-Online.com - Tanggal 20 Mei, masyarakat Indonesia selalu memperingatinya sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Semua itu bisa tercapai berkat pengaruh beberapa tokoh perintis kebangkitan nasional.
Melihat sejarahnya, tanggal tersebut diambil dari pendirian organisasi pemuda modern yang disebut sebagai yang pertama di Indonesia.
Organisasi itu adalah Budi Utomo yang didirikan pada 20 Mei 1908 oleh sejumlah tokoh saat itu.
Di dalam tubuh organisasi Budi Utomo, terdapat banyak pemuda Indonesia yang menempa kemampuan dirinya dan kemudian menjadi pemimpin beragam organisasi pergerakan kemerdekaan yang lahir setelahnya.
Baca Juga: HARKITNAS : Jelang Harkitnas, Kenali 5 Tokoh Kebangkitan Nasional
Berangkat dari latar belakang itulah, kebangkitan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda mulai terlihat, sehingga 20 Mei ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
1. Wahidin Soedirohoesodo
Ia adalah seorang pemuda yang lahir dari pinggiran Kota Yogyakarta, priyayi desa dengan gelar Mas Ngabehi.
Wahidin pun berhasil masuk menjadi anak pribumi pertama yang diterima di sekolah dasar untuk anak-anak Eropa bernama Europesche Lagere School (ELS).
Baca Juga: Hari Kebangkitan Nasional: Yang Disebut Bangsa Ternyata ‘Hanya’ Suatu Imajinasi
Sosoknya yang terbilang pandai kemudian memang lulus dari sekolah kedokteran hingga menjadi pejabat kesehatan.
Jiwa-jiwa pemberontakannya mulai nampak saat ia memimpin redaksi Retnodhoemilah yang terbit 3 kali dalam satu minggu ketika itu.
Di sana, ia melontarkan gagasannya soal kebangkitan Jawa atau bangsa Jawa dan berharap bisa dibaca oleh kalangan masyarakat secara lebih luas.
Namun upayanya di Retnodhoemilah kurang membuahkan hasil, ia pun mundur dan menempuh jalan lain untuk memperjuangkan gagasannya.
Yakni dengan berkeliling menemui pemuka pemerintahan di Jawa seperti bupati dan kaum priyayi atas yang memiliki pengaruh untuk memulai sistem pendidikan modern, namun gagasannya banyak mengalami penolakan.
Akhirnya, ia diundang oleh dua siswa STOVIA Jakarta, Soetomo dan Soeradji untuk menyampaikan gagasannya di hadapan siswa-siswa STOVIA.
Gagasannya diterima, hingga terbentuk lah organisasi bernama Budi Utomo (BU) yang tidak hanya mengurus soal pendidikan, namun juga menyadarkan masyarakat Jawa terhadap keutamaannya sebagai bangsa.
Baca Juga: Mengenal 5 Tokoh Kebangkitan Nasional, Dari Dr. Sutomo hingga Douwes Dekker
2. Dr. Douwes Dekker
Douwes Dekker (DD) adalah seorang pejuang kemerdekaan yang meski lahir dan wafat di Indonesia, namun ia merupakan seorang berdarah asing.
Ia pernah belajar di Eropa tentang politik modern dan ketika kembali ke Indonesia, ia mengajarkan apa yang diketahuinya kepada semua orang, entah itu golongan pribumi, china, ataupun indo.
DD adalah pendiri partai Indische Partij (IP), ia mengajarkan apa itu partai politik, jurnalistik anti pemerintah, rapat akbar, dan sebagainya.
Douwes Dekker juga merupakan pemimpin dari surat kabar berbahasa Belanda De Express yang memperlihatkan kepada masyarakat perlawanan terhadap pemerintahan kolonial.
Di dalam IP dan De Express, ada sebuah slogan yang diperkenalkan yaitu "Hindia Belanda untuk warga Hindia Belanda".
Ini adalah upaya yang digiatkan untuk menentang pemerintahan penjajahan Belanda.
3. Soetomo
Soetomo memiliki latar belakang yang sama dengan Tjipto juga Wahidin, ia merupakan seorang dokter.
Dia dipilih menjadi Ketua BU yang sebelumnya dibentuk bersama dengan Wahidin.
Namun, keterbatasan pendanaan yang mereka miliki membuatnya tak lama berada di puncak kepemimpinan.
Ia pun diberi sekop kekuasaan yang lebih kecil yakni memimpin Budi utomo untuk Jakarta saja.
Namun, momentum ini ia manfaatkan untuk menyelesaikan studinya di bidang kedokteran.
Ia pun tak banyak muncul dalam gerakan atau organisasi seperti sebelumnya, karena selama 8 tahun bertugas sebagai dokter di sejumlah wilayah di Indonesia, tidak hanya Jawa.
Di sanalah, Soetomo mulai berpikir tentang ideologi yang ditawarkan oleh Wahidin, "kebangkitan Jawa", namun ia mengobarkan bendera yang lebih besar, yakni "kebangkian Indonesia".
Ia berangkat ke Belanda untuk kembali berkuliah, di sana ia tergabung dengan organisasi Perhimpunan Indonesia (PI) dan sempat menjabat sebagai ketua.
Organisasi yang semula bergerak di ranah sosial perlahan menjadi organisasi politik yang semakin radikal.
Mereka merumuskan konsep nasionalisme Indonesia secara jelas dan rinci.
Baca Juga: HARKITNAS: Boedi Oetomo, Pengobar Semangat Nasional Bangsa Indonesia
4. RM. Soewardi Soerjoningrat
Soewardi adalah pemuda radikal asal Istana Pakualaman yang menjadi politisi kebudayaan nasionalis konservatif.
Ia kemudian pindah ke Bandung dan bergabung bersama Douwes Dekker di De Express sebagai editor.
Salah satu tulisannya yang paling populer berjudul Als ik eens Nederlander was yang berarti Seandainya Saya Orang Belanda, pada tahun 1913 sebagai bentuk protes terhadap pemerintahan Hindia Belanda yang merayakan 100 tahun bebasnya Belanda dari Jajahan Inggris, namun melakukan perayaan tersebut di tanah jajahannya, Hindia Belanda.
Artikel berbahasa belanda itu kemudian oleh Soewardi diterjemahkan ke bahasa Melayu sehingga banyak orang pribumi memahami apa substansi yang disampaikan.
Dianggap berbahaya, Soewardi pun diasingkan keluar dari Hindia Belanda ke Belanda selama 5 tahun.
Sekembalinya dari Belanda, Soewardi berubah nama menjadi Ki Hadjar Dewantara dan mendirikan Taman Siswa di Yogyakarta.
5. dr. Tjipto Mangoenkoesoemo
Ia adalah seorang dokter yang aktif berpraktek melayani pasien, ia juga menaruh perhatian yang tinggi pada aspek kesehatan masyarakat negerinya.
Namun, di dalam jiwanya juga tumbuh jiwa sebagai seorang pemberontak terhadap kekuasaan penjajah.
Ia menganalogikan dengan penyakit, apapun sakitnya, jika sudah diketahui, maka akan ada obatnya.
Begitu pula dengan penjajahan yang terjadi di tanah kelahirannya.
Tjipto melihat orang Jawa ketika itu begitu mudah mengiyakan atau mengaminkan apa yang dikatakan pemerintah Hindia Belanda sehingga langgeng lah praktik kolonialisme itu.
Orang-orang Jawa kekurangan semangat perlawanan.
Sifat dan kebiasaan itu lah yang disebut sebagai penyakit oleh Tjipto.
Ia pun mencoba untuk mengubahnya dan membangkitkan semangat perlawanan dalam masyarakat Jawa.
(*)