Penulis
Intisari-online.com -Indonesia masih merupakan negara yang terbilang muda.
Indonesia berhasil meraih kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, 75 tahun yang lalu.
Meskipun tinggal 25 tahun lagi untuk genap usia emas, tapi sejarah perang di Indonesia sulit terlupakan begitu saja.
Banyak kejahatan perang yang dilakukan baik Belanda maupun Jepang kala itu.
Baca Juga: Sejarah Timor Leste: Perang Portugis-Belanda Memisahkan Pulau Timor
Yang paling sering didengar adalah tentang romusha, para buruh pribumi yang dipekerjakan oleh Jepang.
Romusha ini ada kaitannya dengan Profesor Achmad Mochtar, seorang dokter dan ilmuwan Indonesia yang dieksekusi oleh Jepang.
Ia adalah orang Indonesia pertama yang menjabat direktur Lembaga Eijkman, sebuah lembaga penelitian biologi yang berada di Jakarta.
Berawal dari tahun 1942, tentara Jepang memerintahkan Lembaga Pasteur di Bandung untuk memproduksi vaksin yang bisa mengobati romusha.
Para romusha tersebut diduga terserang tifus, kolera dan disentri.
Kemudian sekitar 90 romusha yang masih sehat dibawa ke rumah sakit pusat di Jakarta untuk mendapatkan vaksin itu.
Namun naas, para romusha itu justru meninggal dunia semua.
Selanjutnya, Lembaga Eijkman yang menganalisis sampel jaringan hasil otopsi menyimpulkan jika vaksin yang diberikan telah tercemar racun tetanus.
Baca Juga: Meski Jasanya Begitu Besar, Nama Dokter Achmad Mochtar Tak Tertulis di Buku Sejarah
Selanjutnya, mengutip Asia-Pacific Journal, Mochtar dan sebagian besar staf ilmuwan dari Lembaga Eijkman ditangkap dan disiksa dengan sangat parah oleh Kenpeitai selama beberapa bulan.
Hingga akhirnya satu dokter meninggal karena penyiksaan tersebut, Mochtar mengaku bersalah menaruh racun tetanus yang dimurnikan di vaksin untuk para romusha.
Lama akhirnya terdengar jika sebetulnya Mochtar tidak bersalah.
Namun sejarah ini tunjukkan bagaimana kependudukan Jepang di Indonesia, yang awalnya dianggap penolong bagi pribumi tapi ternyata tindakan-tindakannya jauh lebih keji daripada Belanda.
Kira-kira 4 juta warga Indonesia meninggal dunia selama kependudukan tersebut meskipun tidak ada konflik bersenjata atau pembantaian massal terjadi saat itu.
Lantas mengapa nyawa 4 juta warga Indonesia itu tidak terendus oleh catatan sejarah?
Hal ini berkaitan dengan dipekerjakannya romusha kala itu.
Indonesia, yang kala itu bernama Hindia Belanda, memiliki keragaman yang hebat dengan komoditas menggiurkan: minyak, besi, timah, tembaga, batu bara, karet, kayu dan cengkeh.
Jepang menduduki Indonesia ingin menguasai semua itu, dan kemudian memilih melindungi tambang-tambang dan sumber daya yang ada, menggunakan buruh sukarela.
Mereka diberi retorika hebat dengan sanjungan sebagai relawan patriotik untuk kehidupan Indonesia nanti.
Mengejutkannya, pimpinan nasionalis Indonesia, Soekarno, dulunya adalah kepala perekrut romusha.
Mereka diambil dari desa-desa di Jawa dengan janji gaji mencukupi, makan enak, rumah layak, fasilitas kesehatan yang memadai dan masih banyak janji lain.
Romusha kemudian dikumpulkan di kamp dekat jalur kereta api atau pelabuhan di Jawa dan dipersiapkan untuk pekerjaan mereka.
Penjaga Indonesia di kamp-kamp itu sebagian besar memberikan apa yang memang dijanjikan: romusha yang transit ditampung dan diberi makan yang layak, dilatih untuk disiplin dan persahabatan, dan menerima perawatan medis yang terbaik.
Di Indonesia, pekerjaan romusha tampak sangat menjanjikan, tapi itu semua berhenti saat romusha menaiki kapal angkut Jepang dan berlayar melintasi cakrawala.
Kerja penangkaran, seperti yang dimaksudkan kala itu, membuat banyak yang tidak tahan, lebih-lebih karena tempat tinggal yang tidak memadai, kerja berat yang tidak berhenti dan perawatan medis yang tidak layak.
Lebih-lebih masih ada ancaman pemukulan, eksekusi mati untuk pembangkangan, pencurian atau upaya melarikan diri.
Dari 280 ribu romusha hanya 52 ribu yang dianggap dipulangkan.
Mereka dioperasikan di seluruh Indonesia, dan juga diekspor ke Myanmar, Thailand, bahkan Jepang juga.
Didokumentasikan kematian di beberapa lokasi antara lain 90 ribu tewas di proyek Jalur Kereta Api Cikotak, Jawa Barat; 70 ribu teas di proyek Jalur Kereta Api Pekanbaru Sumatra, dan 1600 romusha yang dikirim ke Noemfoor, Papua Nugini, hanya ada 251 kerangka dengan beberapa penyintas yang sakit ditemukan oleh pasukan McArthur beberapa bulan kemudian.
Baca Juga: Romusha dan Jugun Ianfu, Cara Keji Jepang dapatkan Tenaga Kerja dan Budak Seks Gratis
Di tahun 1950-an pemerintah RI meminta ganti rugi kepada Jepang sebesar 10 miliar Dolar AS atas meninggalnya 4 juta warga, tapi ditolak dengan alasan tidak adanya bukti.
Hal ini menunjukkan manajemen romusha di kamp-kamp transit menjadi propaganda terbesar Jepang dalam menduduki Indonesia.
Andaikata saat itu perlakuan mereka yang sebenarnya terungkap, maka elit Indonesia seperti Soekarno pun tidak akan mau bersekutu dengan Jepang dan lakukan pemberontakan melawan kependudukan Jepang.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini