Penulis
Intisari-Online.com - Pasukan khusus Indonesia Kopassus, telah melakukan berbagai misi, salah satunya pembebasan sandera DC-9 di Thailand.
Peristiwa pembajakan pesawat itu terjadi pada 23 Maret 1981.
Pesawat komersil maskapai penerbangan Garuda Indonesia DC-9 dengan 48 penumpang dibajak 5 teroris dan kemudian terpaksa mendarat di Bandara Don Muang, Thailand.
Puluhan penumpang pesawat itu akhirnya selamat, namun ada kisah menarik di balik misi penyelamatan tersebut.
Saat itu, TNI mengerahkan pasukan antiteror Kopassus di bawah komando tokoh Intelijen RI Mayjen TNI Benny Moerdani untuk melaksanakan operasi pembebasan sandera.
Tim pasukan antiteror yang dikomandani Kolonel Sintong Panjaitan kemudian melakukan berbagai latihan agar operasi pembebasan sandera berhasil dalam hitungan menit.
Pasalnya jika operasi pembebasan sandera berlangsung lama, misalnya lebih dari lima menit, para penyandera bisa memiliki waktu untuk melakukan perlawanan sehingga berakibat pada korban jiwa yang lebih besar.
Ketika sekitar 30 personel pasukan antiteror sedang latihan mereka menggunakan senapan serbu M16A1 buatan Amerika yang sudah sangat populer dalam Perang Vietnam.
Tapi senapan M16A1 sebenarnya kurang cocok untuk digunakan dalam pertempuran jarak dekat dan efek dari tembakan pelurunya pun bisa merusakkan pesawat.
Pasalnya tujuan operasi pembebasan sandera di pesawat DC-9 selain bertujuan menyelamatkan penumpangnya juga menyelamatkan pesawat agar bisa dioperasikan lagi.
Oleh karena itu Mayjen LB Moerdani kemudian menggantikan senapan M16A1 dengan senapan serbu H&K MP5 SD-2 buatan Jerman.
Senapan baru itu sangat cocok untuk pertempuran jarak dekat dan pelurunya yang dibuat secara khusus tidak akan merusak pesawat.
Tapi yang menjadi masalah pembagian MP5 dan pelurunya dilakukan mendadak ketika pasukan berada di dalam pesawat dan sudah bersiap di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta untuk bertolak ke Bangkok.
Merasa ragu ada yang tidak beres dengan MP5, apalagi semua pasukan antiteror belum pernah menggunakannya, Kolonel Sintong pun memberanikan diri minta ijin kepada Mayjen Benny untuk mencoba senjata.
Mayjen Benny langsung sangat marah atas permintaan Kolonel Sintong karena merasa diremehkan.
Tapi ternyata uji coba penembakan MP5 diijinkan oleh Mayjen Benny meski pesawat sudah nyala mesinnya dan nyaris berangkat.
Mesin pesawat pun kemudian dimatikan dan sejumlah pasukan antiteror kemudian menembakkan MP5 ke arah tanggul yang menjadi penahan panas yang keluar dari knalpot (exhaust) pesawat.
Semua senapan MP5 yang masih terbilang baru itu ternyata macet ketika ditembakkan. Mayjen Benny pun terkejut bukan kepalang.
Mayjen Benny lalu memerintahkan ajudannya untuk mengambil peluru baru di kantornya yang berlokasi di Tebet, Jakarta dan hanya berjarak beberapa menit dari Lanud Halim.
Ketika peluru yang masih baru dicoba ternyata bisa meletus sempurna. Jadi penyebab kemacetan ternyata peluru yang semula dibagikan sudah kadaluwarsa.
Setelah semua pasukan antiteror mencoba semua senjatanya dan sukses, pesawat pun bertolak ke Bangkok dan tiba pada 30 Maret 1981.
Pada 31 Maret 1981 dini hari pasukan antiteror pun menyerbu pesawat DC-9 Woyla yang dibajak dan sukses membebaskan sandera sekaligus melumpuhkan 5 teroris dalam waktu tiga menit.
Namun yang pasti, jika Kolonel Sintong tidak memberanikan diri untuk mencoba menembakkan MP5, operasi pembebasan sandera bisa dipastikan gagal.
Pasalnya kelima pembajak bersenjata pistol dan granat tangan serta merupakan orang-orang terlatih dalam penggunaan senjata api. (Agustinus Winardi)
(Sumber : Sintong Panjaitan Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, Hendro Subroto, Penerbit Buku Kompas 2009).
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik dihttps://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari