Penulis
Intisari-online.com - Bukan rahasia lagi jika China adalah negara yang memang sering bikin rusuh di mana-mana.
Mulai dari pemerintahnya yang kirimkan militer untuk mengklaim Laut China Selatan.
Hingga aksi nelayan China yang kerap nyelonong di wilayah perairan orang.
Insiden penyelonongan oleh kapal China memang membuat geram banyak negara, Indonesia pun pernah kena aksi penyelonongan kapal China.
Kapal nelayan China berulang kali nyelonong wilayah laut Natuna, namun berhasil diusir, tetapi ini bukan yang terparah.
Pasalnya, kapal China dalam jumlah armada ratusan pernah menyerbu wilayah perairan amerika latin di kepulauan Galapagos beberapa bulan lalu.
Tak hanya itu, mereka juga tertangkap basah masuh wilayah laut Jepang dalam jumlah ratusan armada.
Meski telah mendapat peringatan berulang kali kapal China tampaknya tak kapok, dan masih ngeyel main selonong.
Hal ini membuat Amerika seolah hilang kesbaran dengan aksi kapal-kapal nelayan China tersebut.
Menurut 24h.com.vn, pada Jumat (20/11/20), Penasihat Keamanan Nasional Amerika, mengumumkan bahwa penjaga pantai AS akan gunakan cara kasar.
Mengerahkan generasi terbaru kapal tanggap cepat ke Indo-Pasifik untuk memantau dan menentang operasi penangkpan ikan, oleh armada kapal ikan China.
Dilaporkan South China Morning Post, beberapa analis mengatakan, langkah Washington baru-baru ini untuk membatasi penangkapan ikan ilegal, tidak terkendali dan tidak diumumkan (IUU).
Amerikaakan memberikankehadiran maritim yang lebih kuat di Asia.
Namun, kekhawatiran muncul dari negara-negara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang tidak ingin melakukan militerisasi penegakan hukum karena dapat memicu konflik yang lebih besar di perairan sengketa.
Gilang Kembara, seorang peneliti di Pusat Kajian Strategis dan Internasional di Indonesia, mengatakan Jakarta tidak akan menyambut pendekatan militerisasi AS untuk mengekang penangkapan ikan ilegal IUU.
"Menurut saya, sebaiknya AS meminta Indonesia bekerja sama dengan penjaga pantainya, karena IUU fishing adalah aktivitas ilegal dan kami membutuhkan penegakan hukum untuk memberantas aktivitas ini," katanya.
"Namun, jika AS meminta Indonesia bekerja sama dengan Angkatan Laut AS, maka masalahnya adalah militer. Dan pendekatan ini berlebihan karena menurut saya penangkapan ikan IUU bukanlah ancaman eksistensial bagi suatu negara, "kata Kembara.
Jay L. Batongbacal, direktur Institute of Maritime Affairs and the Law of the Sea di Universitas Filipina, mengatakan bahwa Filipina di bawah Presiden Rodrigo Duterte juga tidak akan menyambut penegakan hukum bersama dengan Amerika Serikat.
"Tapi Manila nampaknya akan puas dengan berbagi informasi tentang kegiatannya di laut, dan setidaknya selama dua atau tiga tahun terakhir, pemerintah dan khususnya Departemen Perikanan, telah memanfaatkan sepenuhnya informasi yang tersedia. dari AS tentang aktivitas penangkapan ikan asing di zona ekonomi eksklusif Filipina (ZEE)," kata Batongbacal.
Komentar para ahli muncul setelah pernyataan Penasihat Keamanan AS Robert O'Brien bulan lalu yang mengatakan USCG akan mengerahkan generasi terbaru kapal tanggap cepat ke wilayah Indo-Thai.
O'Brien mengatakan akanmemantau dan menantang aktivitas penangkapan ikan ilegal dari armada penangkapan ikan Tiongkok.
Awal pekan ini, David Feith, wakil menteri luar negeri AS, yang bertanggung jawab atas kebijakan keamanan dan masalah multilateral di Kantor Urusan Asia dan Pasifik, mengatakan kepada wartawan bahwa Washington akan terbuka.
Jumlah perjanjian sewa kapal yang telah dimiliki USCG dengan negara-negara di Pasifik dan membantu mereka menangani "tindakan agresif" Beijing di laut.
Di bawah perjanjian "kapal charter", otoritas satu negara diizinkan untuk menaiki kapal negara lain atau pesawat penegak hukum saat mereka berpatroli.
"Di beberapa kawasan, misalnya Pasifik Utara, armada penangkap ikan tidak memiliki kewarganegaraan tetapi memiliki ciri khas kapal penangkap ikan Tiongkok,"" katanya.
"Selain itu, milisi maritim Tiongkok, memperkirakan termasuk 3.000 kapal, aktif melakukan tindakan agresif di laut dan perairan di bawah kedaulatan negara lain, memaksa dan mengancam para nelayan untuk ditangkap secara legal," kata Feith.