Penulis
Intisari-online.com -Beberapa minggu terakhir ini AS telah bombardir China.
Mereka menyerang firma teknologi China dan mengancam untuk menutup perusahaan China di AS.
Tiongkok sendiri tidak kalah senjata dalam manuvernya.
Penasihat pemerintah di Beijing mulai berdebat sebuah opsi nuklir: yaitu memotong akses AS terhadap obat-obatan China.
Rupanya ketergantungan AS terhadap impor obat China sudah berlangsung sejak lama.
Dimulai dari 1990-an AS mulai mengimpor pil pereda nyeri sampai obat-obatan HIV dengan skala besar.
Pengusung ide memotong ekspor obat dilakukan oleh Li Daokui, akademisi China sekaligus penasihat pemerintah.
Ia mengatakan kepada media lokal jika batasi akses obat dapat menjadi pembalasan atas kekangan ekspor AS terkait teknologi dan perangkat lunak mereka.
Mengutip South China Morning Post, Li mengatakan bahwa AS dan China itu saling bergantung.
Sehingga mustahil bagi kedua negara untuk memisahkan diri.
Namun sejak 2019 lalu ia sendiri sudah menyarankan membatasi ekspor antibiotik sebagai alat perang dagang terhadap AS.
Beberapa ahli lain menolak ide tersebut.
Mereka menyebut ide itu tak hanya tidak bermoral tapi juga bisa menjadi bumerang bagi China.
"Saran ini tidak masuk akal. Ini akan gagal membantu China membalas dendam terhadap AS, juga bisa dijadikan alasan AS untuk tingkatkan pemblokiran terhadap perusahaan teknologi China," ujar Shi Yinhong, profesor hubungan internasional di Universitas Renmin, China.
Shi Yinhong juga merupakan penasihat Dewan Negara.
Keamanan rantai suplai medis merupakan tema utama dalam pemilu AS mendatang.
Kedua kandidat yaitu Donald Trump dan Joe Biden sama-sama berjanji untuk menyelesaikan isu tersebut.
Pandemi telah mengespos kerentanan suplai medis dan bidang farmasi AS.
Saat firma farmasi AS masih mempertahankan fasilitas riset di rumah, manufaktur obat generik masal yang murah hilang.
Banyak bahan-bahan penting untuk antibiotik tidak diproduksi lagi oleh AS.
Bahkan pabrik bahan penisilin tutup tahun 2004 silam.
Tahun lalu ada 40% antibiotik yang diimpor AS dari China.
Dari 40% tersebut antara lain 90% chloramphenicol, 93% tetracyclin dan 52% penisilin.
Zhang Weiwei profesor hubungan internasional di Universitas Fudan menganggap ketergantungan AS terhadap suplai obat medis dasar adalah senjata yang bisa dimanfaatkan Beijing.
Ia tahun ini berpidato bahwa "semua rumah sakit di AS harus tutup tanpa suplai obat dari China," ujarnya.
China adalah produsen bahan farmasi aktif terbesar di dunia, yang sebagian besar obat yang diproduksi merupakan obat generik.
Ada lebih dari 11 ribu pabrik farmasi, dan India, AS serta Jepang adalah tujuan ekspor ketiga terbesar.
BPOM AS tidak memiliki informasi spesifik seberapa banyak volume yang diproduksi API di China.
Namun dalam surat kepada BPOM AS Agustus tahun lalu, ketua komite keuangan Senat Chuck Grassley mengestimasi ada sekitar 80 per jumlah yang dipakai di AS diproduksi di China dan India.
Industri obat generik India juga bergantung hebat dengan China.
Mereka mengimpor 75% obat generik dari China, tapi hanya karena lebih murah seperti tertuang dalam publikasi India eHealth Online.
Memproduksi obat di China sebagai produsen listrik terbesar dunia juga lebih efektif di ongkos biaya, tulis laporan tersebut.
Tidak hanya menjadi produsen antibiotik terbesar, China juga produsen dan pengekspor vitamin terbesar.
'Senjata nuklir' ini bisa meruntuhkan AS yang harus kelimpungan menemukan suplai pengganti di waktu yang singkat,
Namun ini juga sebabkan masalah bagi perusahaan China, karena mereka juga menggantungkan ekspor ke AS.
Jika produk-produk itu tidak diekspor maka perusahaan dapat bangkrut.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini