Tak Hanya Pengaruhi Paru-paru, Kini Ilmuwan Sebut Virus Corona Bisa Merusak Otak dalam Skala Besar, Mulai dari Peradangan hingga Stroke

Mentari DP

Penulis

Intisari-Online.com - Ada banyak alasan mengapa kita harus takut terinfeksi virus corona yang menyebabkan penyakit Covid-19.

Selain karena virus ini belum memiliki obat atau vaksin,virus ini juga memiliki dampak yang berbeda-beda pada setiap pasiennya.

Namun di luar itu, ada bahaya lainnya.

Seperti peringatan para ilmuwan ini.

Baca Juga: Hanya Dibungkus Plastik Hitam, Ratusan Mayat Pasien Covid-19 Dibiarkan Menumpuk di Jalan-jalan, Petugas Mengaku Kewalahan, 'Kami Tidak Memiliki Kapasitas Lagi'

Di mana para ilmuwan memperingatkan tentang kemungkinan gelombang kerusakan otak terkait virus corona baru.

Ada buktibaru yang menunjukkan Covid-19 bisa menyebabkan komplikasi neurologis yang parah, termasuk peradangan, psikosis, dan delirium.

Sebuah studi oleh para peneliti di University College London (UCL) menggambarkan 43 kasus pasien Covid-19 yang menderita disfungsi otak sementara, stroke, kerusakan saraf, atau efek otak serius lainnya.

Baca Juga: Pecah Lagi, Rekor Harian Kasus Covid-19 di Indonesia Tembus 1.853 Hanya dalam 24 Jam Terakhir!

Penelitian ini menambah studi terbaru yang juga menemukan penyakit ini dapat merusak otak.

"Apakah kita akan melihat epidemi dalam skala besar kerusakan otak terkait dengan pandemi."

"Mungkin mirip dengan wabah ensefalitis lethargica pada 1920-an dan 1930-an setelah pandemi influenza 1918, masih harus dilihat," kata Michael Zandi, dari Institut Neurologi UCL, yang ikut memimpin penelitian, Rabu (8/7/2020), seperti dikutipReuters.

Covid-19, penyakit yang disebabkan virus corona baru, sebagian besar adalah penyakit pernafasan yang memengaruhi paru-paru.

Tetapi, ahli saraf dan dokter spesialis otak mengatakan, bukti yang muncul tentang dampaknya pada otak sangat memprihatinkan.

"Kekhawatiran saya adalah, kita memiliki jutaan orang dengan Covid-19 sekarang."

"Dan, jika dalam waktu setahun kita memiliki 10 juta orang yang pulih, dan orang-orang itu memiliki defisit kognitif."

"Maka itu akan memengaruhi kemampuan mereka untuk bekerja dan kemampuan mereka untuk pergi tentang kegiatan kehidupan sehari-hari," ujar Adrian Owen, ahli saraf di Western University, Kanada, kepadaReuters.

Dalam studi UCL, yang terbit di jurnal Brain, sembilan pasien yang mengalami peradangan otak terdiagnosis dengan kondisi langka yang disebut acute disseminated encephalomyelitis (ADEM), yang lebih sering terlihat pada anak-anak dan bisa dipicu infeksi virus.

Tim peneliti menyebutkan, biasanya akan melihat sekitar satu pasien dewasa dengan ADEM per bulan di klinik spesialis mereka di London.

Baca Juga: Sering Dianggap Baik untuk Kesehatan, Ternyata Konsumsi Bawang Putih Beresiko Timbulkan Penyakit Berbahaya Ini,Hati-hati!

Tapi, kondisi ini meningkat setidaknya satu pasien per minggu selama masa studi, sesuatu yang mereka gambarkan sebagai "peningkatan yang mengkhawatirkan".

"Mengingat penyakit ini baru ada selama beberapa bulan, kita mungkin belum tahu apa yang bisa menyebabkan kerusakan jangka panjang COVID-19," kata Ross Paterson, yang ikut memimpin penelitian.

"Dokter perlu mewaspadai kemungkinan efek neurologis, karena diagnosis dini dapat meningkatkan hasil pasien," imbuh dia.

Menurut Owen, bukti yang muncul menggarisbawahi perlunya penelitian besar dan terperinci serta pengumpulan data global untuk menilai seberapa umum komplikasi neurologis dan psikiatrik tersebut.

Owen menjalankan proyek penelitian internasional di covidbrainstudy.com, di mana pasien bisa mendaftar untuk menyelesaikan serangkaian tes kognitif untuk melihat, apakah fungsi otak mereka telah berubah sejak menderita Covid-19.

"Penyakit ini memengaruhi banyak orang," ujar Owen.

"Itu sebabnya, sangat penting untuk mengumpulkan informasi ini sekarang".

(Artikel ini sudah tayang di kontan.co.id dengan judul "Peringatan dari ilmuan: Virus corona bisa merusak otak")

Baca Juga: Covid Hari ini 8 Juli 2020: Ada 66.226 Kasus Positif di Indonesia, 30.785 Orang Sembuh, Sementara Ada 3.309 Kasus Kematian

Artikel Terkait