Penulis
Intisari-Online.com - Dari 260 juta penduduk Indonesia, terdapat sekitar 200 orang Yahudi tersisa, yang berjibaku dengan 'keresahannya' menjalani hidup di antara pemeluk enam agama yang sah diakui negara. Yaakov Baruch adalah rabi di satu-satunya sinagoge di Indonesia. Ia menyembunyikan identitas agamanya, seperti halnya sebagian besar komunitas kecil Yahudi yang tinggal di Tanah Air, negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia. Beberapa tahun lalu, sekelompok pria mengancam Baruch dengan kematian dan memanggilnya dengan sebutan "Yahudi gila" ketika ia berjalan di sebuah mal bersama istrinya yang sedang hamil.
Pengalaman itu membuat dirinya memutuskan untuk tak lagi mengenakan kippah (penutup kepala Yahudi) di tempat umum.
Baca Juga: Buka Suara Setelah Puluhan Tahun, Begini Cerita Tetangga Yahudi Adolf Hitler yang Selamat dari Pembantaian Nazi, Masih Ingat Teriakan 'Heil Hitler Heil Hitler' "Itu tidak pernah terjadi lagi karena saya memilih untuk menyembunyikan identitas saya sebagai seorang Yahudi di depan umum," katanya.
Ada keresahan serupa bagi sekitar 200 orang Yahudi di antara 260 juta penduduk Indonesia, di mana sebagian besar dari mereka tinggal di sudut terpencil Tanah Air. Manado di Pulau Sulawesi adalah salah satu dari sedikit tempat di mana orang-orang Yahudi Indonesia tersisa.
Kebanyakan dari mereka adalah keturunan pedagang dari Eropa dan Irak yang dikisarkan berjumlah beberapa ribu sebelum Perang Dunia II dan merasa "nyaman" untuk menunjukkan iman mereka.
Terdapat menorah setinggi 62 kaki, atau mungkin yang terbesar di dunia, berdiri di dekat Kota Tondano, sekitar 20 kilometer (13 mil) selatan Manado, tempat Baruch mengadakan layanan reguler di sinagoge sederhana, beratap merah. "Musuh"
Baca Juga: Kedoknya Sih Resor Pantai Mewah, Tapi Israel Ternyata Telah Selundupkan 7.000 Orang Yahudi di Sudan
Sinagoge Shaar Hasyamayim adalah satu-satunya rumah ibadah di Indonesia untuk orang Yahudi, setelah satu-satunya rumah lainnya di kota Surabaya dihancurkan pada 2013 lalu.
Tempat itu telah menjadi lokasi protes anti-Israel selama bertahun-tahun, dan ditutup oleh kelompok garis keras pada tahun 2009 dan dibiarkan membusuk. Indonesia telah lama dipuji karena citra Islamnya yang moderat, tetapi bentuk-bentuk agama yang lebih konservatif telah menjadi pusat perhatian dalam beberapa tahun terakhir, didorong oleh kelompok-kelompok garis keras yang semakin vokal.
Ketegangan di Timur Tengah, khususnya antara Israel dan Palestina, meluas ke Tanah Air dan memperdalam perpecahan agama. Ribuan orang berdemonstrasi di Jakarta ketika Presiden AS Donald Trump mengumumkan tahun lalu bahwa kedutaan besar Amerika di Israel akan dipindahkan ke Kota Yerusalem yang diperebutkan. "Masih ada banyak sentimen anti-semit di Indonesia," kata Baruch.
"Secara umum, orang Indonesia tidak membedakan antara menjadi Yahudi dan Israel. Mereka pikir orang Yahudi dan Israel adalah musuh agama dan negara mereka," tambahnya. "Tidak dapat disangkal bahwa toleransi memudar di negara kita." Jumlah komunitas Yahudi yang hampir tidak terlihat membuat orang Yahudi belum menjadi target militan para penganut paham garis keras seperti yang menimpa beberapa minoritas di Indonesia.
Gelombang aksi bom bunuh diri di gereja-gereja di Surabaya tahun lalu menyoroti ancaman terhadap kelompok-kelompok minoritas, sementara kaum Syiah dan Ahmadiyah, yang dianggap sebagai bidat oleh sebagian besar Muslim Sunni, juga telah menjadi target kekerasan.
Kekurangan makanan kosher
Tetap saja, orang-orang Yahudi Indonesia ada di radar beberapa kelompok. Upaya Monique Rijkers untuk menjembatani kesenjangan dengan program TV tentang Yudaisme menarik kemarahan Persatuan Pelajar Muslim Indonesia, yang menurutnya melaporkannya ke pemerintah dan menyiarkan regulator.
"Mereka menuntut saya dipecat dan program itu dibatalkan," kata Rijkers, pendiri Hadassah Indonesia, sebuah organisasi nirlaba yang menawarkan program pendidikan budaya yang berpusat pada Israel, Yahudi dan Holocaust. Orang-orang Yahudi Indonesia juga menghadapi beberapa tantangan praktis, seperti sulitnya menemukan makanan kosher (makanan "halal" bagi Yahudi) yang tidak tersedia secara luas.
Rintangan lainnya adalah bahwa Indonesia hanya mengakui enam agama yang sah menurut negara dan menjadi identitas dalam kartu tanda penduduk (KTP), yaitu Islam, Protestan, Katolik, Budha, Hindu, dan Konfusianisme.
KTP sangat berfungsi penting untuk mengakses layanan pemerintah, dan untuk melakukan sejumlah hal seperti mendaftarkan pernikahan dan kelahiran, yang berarti kebanyakan orang Yahudi "berbohong" dan menggunakan label "kekristenan" pada dokumen-dokumen itu. Sapri Sale, yang mulai mengajar kelas bahasa Ibrani di Jakarta setahun lalu, telah mempelajari bahasa ini sejak tahun 1990-an dan tengah menyusun sebuah kamus bahasa Ibrani-Indonesia pertama di dunia. Tapi minatnya mendapat sedikit respons positif di lingkungan rumahnya. "Aku dipanggil Sapri si Yahudi," katanya.
Artikel ini pernah tayang di FOtokita.grid.id dengan judul "Foto-foto Keresahan Umat Yahudi dalam Menjalani Hidup di Indonesia"
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari