Penulis
Intisari-Online.com – Pernahkah Anda memperhatikan International Standard Book Number (ISBN) buku yang Anda baca?
Kalau Anda tidak bekerja di perpustakaan, penerbit, atau tidak pernah berurusan dengan ISBN, deretan nomor itu seperti tak bermakna.
Padahal, bagi penerbit, nomor ini sama pentingnya dengan nomor Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Biasanya, nomor ini ditulis kecil di tempat yang jarang dilihat pembaca. Di bagian bawah sampul belakang atau di balik halaman judul, misalnya. Setiap buku di dunia memiliki nomor ISBN berbeda.
Baca juga: Keren, 10 Sampul Buku ini Ditempatkan Diposisi yang Tepat, Jadi Ilusi Optik Mengagumkan!
Meski sistem penomoran buku sudah setua sejarah buku, namun sistem penomoran secara internasional belum berusia setengah abad.
Ketika jumlah buku belum begitu banyak, urusan penomoran buku belum begitu rumit.
Perpustakaan Alexandria, Mesir, yang dibangun Ptolemeus II Philadelpus (302 - 246 SM) dan terbesar di masanya pun koleksinya masih dalam hitungan ratusan ribu.
Pada masa itu buku-buku di perpustakaan dinomori berdasarkan nomor urut sederhana.
Tujuannya masih sebatas untuk mempermudah bikin katalog. Antar perpustakaan pun berbeda aturan.
Baca juga: Katalog Furnitur yang Interaktif
Masalah mulai muncul di abad ke-20 ketika miliaran buku dicetak. Perdagangan buku lintas negara juga semakin marak. Sejak itulah, sistem penomoran buku secara internasional mulai dipikirkan.
Cikal bakal ISBN bermula dari gagasan W. H. Smith, pemilik toko buku terbesar di Inggris tahun 1965.
Waktu itu ia berencana memindahkan toko bukunya ke gedung baru yang dilengkapi sistem komputerisasi.
Dengan bantuan konsultan ahli dan Komite Distribusi dan Metode dari Asosiasi Distribusi Penerbit Inggris, Smith memperkenalkan sistem Standard Book Numbering (SBN) tahun 1966.
Setahun berikutnya, sistem yang ia gagas diterapkan di Inggris.
Pada tahun yang sama, International Organization of Standardization (ISO) mulai membahas kemungkinan mengadopsi sistem ini untuk pemakaian internasional.
Tahun 1970, ISO pun menyetujui sistem ISBN sebagai standar yang dikenal sebagai ISO 2108. Hingga sekarang sekitar 150 negara telah memakai sistem ini, termasuk Indonesia.
Masing-masing negera memiliki badan resmi yang berhak mengeluarkan ISBN. Di Indonesia, otoritas itu berada di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI).
Baca juga: 5 Buku 'Sakti' Zaman SD Kala 'Mbah Google' Belum Terkenal Seperti Sekarang, Masih Menyimpannya?
ISBN terdiri atas sepuluh digit angka. Bagian pertama menunjukkan negara asal penerbit (untuk Indonesia 979).
Bagian berikutnya menunjukkan identitas penerbit. Sebagai misal, Gramedia Pustaka Utama (GPU) 655, sehingga ISBN-nya 979-655-XXX-X. Sementara buku-buku terbitan Mizan ber-ISBN 979-433-XXX-X.
Bagian ketiga menunjukkan urutan judul buku di dalam penerbit tersebut. Sedangkan angka terakhir merupakan angka pemeriksa (check digit). Angka ini diperoleh melalui rumus tertentu berdasarkan angka-angka sebelumnya.
Meski letaknya paling ujung, angka pemeriksa punya fungsi penting. Kita tahu, salah ketik sering terjadi saat menulis angka.
Saat seseorang memasukkan sembilan angka ISBN, angka pemeriksa akan muncul di tempat lain dan dicocokkan dengan digit ke-10 ini.
Jika tidak sama, berarti ada angka yang salah ketik. Pada buku-buku penting dan berumur panjang, ISBN biasanya dikawinkan dengan barcode sistem EAN (European Article Number).
Dengan semakin kompleksnya urusan perbukuan, suatu saat sistem ISBN bisa saja mengalami revisi.
Saat ini ISO bahkan telah berencana mengubah ISBN dari sepuluh digit menjadi tiga belas digit mulai awal tahun 2007.
Meski nanti ISBN berubah formula, ada satu hal yang tak mungkin berubah: berapa pun digitnya, tiap angka pasti punya makna. (Emshol – Intisari September 2005)
Baca juga: Inilah Buku di Dunia yang Dicetak Lebih Banyak dari Al-Qur'an dan Injil