Inggit Garnasih, Kartini Terlupakan Di Balik Sosok Bung Karno

Ade Sulaeman

Penulis

Dialah teman sejati Soekarno saat masih berkesusahan. Istri, sahabat, sekaligus ibu bagi si Bung Besar

Intisari-online.com -"… sesungguhnya aku harus senang karena dengan menempuh jalan yang tidak bertabur bunga, aku telah mengantarkan seseorang sampai di gerbang yang amat berharga. Ya, gerbang hari esok yang pasti akan lebih berarti, yang jauh lebih banyak diceritakan orang secara ramai."

Demikian ucap Inggit Ganarsih, istri kedua Presiden Pertama RI, Soekarno seperti dikutip dari buku "Kuantar ke Gerbang" tulisan Ramadhan KH.

Semua para istri dari Bung Karno tentu sudah berkorban banyak untuk si Bung Besar. Namun, tidak ada yang sebesar pengorbanan Inggit.

Inggit pernah melakoni peran istri yang nyaris sempurna untuk Bung Karno.

Baca juga:Ternyata Inilah Perbedaan Angka 0 dan +62 pada Nomor Ponsel

Dia paham betul, seorang istri adalah roh bagi suaminya. Menjadi mata air yang tak pernah mengering. Menjadi api yang membangkitkan semangat.

Pendamping suaminya dalam pertarungan di medan juang. Menyediakan telinganya untuk mendengar.

Menyediakan bibirnya untuk tersenyum.Menyediakan matanya untuk pancaran kasih.

Semua itu sudah diberikan Inggit. Hanya satu yang tidak bisa dilakukannya, yakni memberi si Bung Besar keturunan.

Baca juga:Evolusi Suku Bajau Indonesia: Mampu Menahan Napas 13 Menit Hingga di Kedalaman 61 Meter!

BERAWAL DARI CINTA TERLARANG

Romansa Soekarno dan Inggit bermula pada 1921.

Soekarno bersama istrinya, Siti Oetari, putri HOS Tjokroaminoto datang ke Bandung dari Surabaya.

Soekarno hendak meneruskan kuliah di Technische Hooge School (THS), sekarang ITB, jurusan Teknik Arsitektur.

Baca juga:Kisah Viral Penjual Es Kepal Milo Pinggir Jalan, Omzet Sehari 5 Juta

Atas saran Tjokro, Soekarno indekost di rumah milik Sanusi dan istrinya, Inggit.

Takdir akhirnya berbicara. Soekarno yang tidak bahagia menjalani pernikahannya dengan Oetari bertemu dengan Inggit yang juga tak bahagia dengan pernikahannya.

Oetari masih sangat kekanak-kanakan, hampir tiap hari bermain lompat tali di halaman. Kontras dengan Soekarno yang tekun belajar dan giat di pergerakan nasional.

Sementara Sanusi sibuk main biliar dan melupakan kebahagiaan Inggit di rumah.

Baca juga:Inilah Partai Peserta Pemilu 2019 dengan Uang Terbanyak Menurut Hasil Survei

Akhirnya, Soekarno mengembalikan Oetari ke rumah orangtuanya dan kemudian menikahi Inggit yang diceraikan suaminya.Saat itu umur Soekarno 22 tahun sementara Inggit 35 tahun.

Saat menyerahkan Inggit ke Soekarno, Sanusi berpesan,"Cintailah Inggit dengan sungguh-sungguh dan jangan terlantarkan dia. Saya tidak senang, tidak rela kalau musti melihat Inggit hidup sengsara baik lahir maupun batin."

BERJUALAN KUTANG

Bercerai dengan Sanusi dan menikahi Soekarno yang masih mahasiswa jelas menghadirkan tantangan tersendiri.

Hidup dengan Soekarno berarti mesti berkesusahan dan jauh dari materi. Toh, Inggit tak gentar menghadapi itu semua.

Dia rela membanting tulang untuk mencari nafkah. Berbagai macam cara dilakukannya.

Mulai dari menjahit pakaian, menjual kutang, bedak, rokok, meramu jamu, hingga menjadi agen sabun kecil-kecilan.

Tahun 1926 adalah momen yang membahagiakan Inggit. Sebab saat itu Soekarno sukses menamatkan kuliahnya. Perjuangannya tidak sia-sia.

Namun perjuangan Inggit belum berakhir. Ini justru awal dari pejuangan yang lebih besar.

Usai mengantongi gelar insinyur, Soekarno tidak mencari kerja yang bonafid, justru kian aktif di pergerekan dengan mendirikan Partai Nasionalis Indonesia (PNI).

Hati Inggit tak pernah berpaling. Dia selalu setia dan tak pernah lelah menyemangati Soekarno.Inggit selalu menyediakan semua hal yang dibutuhkan si Bung Besar.

Pikiran Soekarno dibiarkan tercurah sepenuhnya untuk pergerakan perjuangan Indonesia, sementara Inggit senantiasa setia menjadi tulang punggung perekonomian mereka.

Tak jarang, Inggit mengepalkan uang untuk bekal Soekarno dalam perjuangannya.

“Saat kelelahan, dia (Soekjarno) memerlukan hati yang lembut, tetapi sekaligus memerlukan dorongan lagi yang besar yang mencambuknya, membesarkan hatinya. Istirahat, dielus, dipuaskan, diberi semangat lagi, dipuji dan didorong lagi,”ucap Inggit.

MELAYANI DARI LUAR PENJARA

Pada 29 Desember 1929, Soekarno dan Gatot Mangkoepradja ditangkap di rumah Mr Soejoedi, di Yogyakarta.

Soekarno dibawa ke Penjara Banceuy sebelum dipindahkan ke Penjara Sukamiskin.

Selama Soekarno di penjara, Inggit setia menempuh perjalanan sejauh 30km dari Ciatel ke Sukamiskin menjenguk Soekarno dengan berjalan kaki untuk mengirit ongkos.

Inggit adalah sumber informasi dan pengamat jitu segala yang terjadi di luar bilik penjara.

Meski pemeriksaan ketat diberlakukan di sana, Inggit berhasil mengecoh sipir penjara dengan menggunakan telur rebus sebagai media komunikas.

Telur tersebut telah ditandai dengan tusukan halus di luarnya.

Satu tusukan berarti situasi aman. Dua tusukan artinya seorang kawan tertangkap. Tiga tusukan menandakan adanya penyergapan besar-besaran.

Segala macam hal dilakukan Inggit untuk meringankan beban Soekarno. Mulai dari menyelundupkan buku atau memberikan sejumlah uang dalam makanan.

Bahkan, agar bisa menyelundupkan buku, Inggit harus berpuasa tiga hari agar buku-buku itu bisa ia sembunyikan di perut.

Inggit tak pernah menunjukkan kesedihan di depan suaminya. Termasuk saat Soekarno galau karena merasa menjadi suami yang gagal.

“Tidak, kasep (ganteng), jangan berpikir begitu. Mengapa mesti berkecil hati. Di rumah segala berjalan beres.Tegakkan dirimu, Kus (Kusno, panggilan kecil Soekarno), tegakkan! Teruskan perjuanganmu! Jangan luntur karena cobaan semacam ini!”tegas Inggit dengan kelembutan.

RELA IKUT DIBUANG

Setelah bebas dari hotel prodeo, Soekarno kembali melanjutkan perjuangannya.

Ini membuatnya ditangkap Belanda lagi dan dibuang ke Ende, Flores, sebelum kemudian dibuang ke Bengkulu.

Inggit sebenarnya bisa tidak ikut ke tempat pembuangan. Namun wanita yang hanya bisa membaca (tidak bisa menulis) ini keukeuh menemani suaminya ke mana pun, meski ke ujung dunia.

Saat di pengasingan di Ende, Soekarno terjangkit malaria.

Saat itu, kondisi psikis Soekarno sangat lemah. Berkali-kali ia mengeluh kepada Inggit.

Ia pernah berucap keinginan untuk membuat taktik berpura-pura bekerja sama dengan pemerintah agar segera kembali ke Jawa.

Inggit sebaliknya menolak dan menegur suaminya.

“Kus, kamu ini bagaimana? Baru mendapatkan ujian sekecil ini sudah tak kuat. Bagaimana nanti jika jadi pemimpin? Cobaan pasti lebih berganda. Mestinya Kus bisa lebih sabar dari kami. Masak calon pemimpin berjiwa selemah ini? Percayalah, ini bukan untuk selamanya, ini hanya sementara. Buktikan tak lama lagi kita pasti keluar dari pulau terpencil ini. Nggit yakin itu, sebab Tuhan tak akan mungkin terus-menerus menguji hambaNya. Dia masih sayang kepada kita. Percayalah.”

Semangat Soekarno yang hampir padam pun menyala kembali.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Bengkulu akhirnya menjadi ujian terberat bagi kisah cinta keduanya.

Ketika Soekarno diasingkan di Bengkulu, hadirlah sosok Fatimah dalam kehidupan keduanya.

Fatimah lahir pada 5 Februari 1923 dari pasangan Hassan Din dan Siti Khatidjah.

Ketika Soekarno diasingkan di Bengkulu, Fatimah sering bermain ke rumah Soekarno karena ia adalah kawan sepermainan anak angkat Soekarno.

Fatimah juga akrab dengan Inggit, bahkan Inggit menganggap Fatimah seperti anaknya sendiri.

Setelah 20 tahun menemani Soekarno dalam onak duri perjuangan, pada suatu hari Inggit mengalami "tamparan" yang begitu dahsyat.

Soekarno minta izin untuk menikahi Fatimah dengan alasan Inggit tak bisa memberikan keturunan.

"Aku tidak bermaksud menyingkirkanmu. Merupakan keinginanku untuk menetapkanmu dalam kedudukan paling atas dan engkau tetap sebagai istri yang pertama, jadi memegang segala kehormatan yang bersangkutan dengan hal ini, sementara aku dengan mematuhi hukum agama dan dan hukum sipil, mengambil istri kedua agar mendapatkan keturunan,"ujar Soekarno ke Inggit seperti dikutip dalam buku "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia" karya Cindy Adams.

MENOLAK DIMADU

Inggit menolak dengan tegas. Dia tidak mau dimadu.

Akhirnya Soekarno mengembalikan Inggit ke orangtuanya di Bandung.

Soekarno pun membuat surat perjanjian yang ditandatangani juga oleh Inggit.

Dalam surat itu Soekarno menjatuhkan talak kedua, dan berjanji memberikan sebuah rumah, tunjangan hidup dan membayar utang, tapi tak semua dipenuhi.

Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantoro, dan Hadji Mas Mansoer menjadi saksi perjanjian itu.

Pada 1 Juni 1943, Soekarno menikahi Fatimah yang belakangan namanya diubah menjadi Fatmawati.

Kepergian Soekarno dilepas oleh Inggit dengan doa dan harapan ketika proses perceraian itu usai.“Selamat jalan dan semoga selamat dalam perjalanan”.

Inggit tidak mengeluh dan tidak menangis. Demikianlah cinta Inggit kepada Soekarno. Seperti ombak yang mencintai pantai. Tidak luka ketika dilukai dan tidak sakit ketika disakiti.

CINTA YANG TAK PERNAH PUDAR

Pada 1960, Soekarno berada di puncak kekuasaannya. Dia mengunjungi Inggit yang saat itu telah berusia 72 tahun.

Dalam pertemuannya, Soekarno meminta maaf karena telah menyakiti hati Inggit. Namun dengan besar hati Inggit menjawab,“Tidak usah meminta maaf Kus. Pimpinlah negara dengan baik, seperti cita-cita kita dahulu di rumah ini.”

Istri-istri Soekarno mencicipi manisnya kehidupan di istana. Mereka diberi rumah di Kebayoran, Slipi, Gatot Subroto.

Sementara Inggit hanya mampu menatap puing-puing rumah panggung di Jalan Ciateul yang penuh memori kebahagiaan, kesengsaraan, dan perjuangan bersama Kusno kesayangannya.

Kamar dan rumahnya begitu sederhana. Harta miliknya hanyalah radio Philips buatan tahun 1949, sebuah foto Bung Karno tersenyum manis, sebuah teropong dan perangkat makan sirih serta sebuah pispot. Ditambah dua buah balai-balai dan sebuah lemari kayu murahan.

Namun Inggit tak pernah menyesal.“Yang lalu sudahlah berlalu, aku telah mengantarkan Kusnoku, Kasepku, Kesayanganku, Fajarku ke gerbang kebahagiaan, gerbang cahaya yang dari dulu diimpikannya.”

Inggit meninggal pada 13 April 1984 di usia 96 tahun.

Dia dimakamkan di pemakaman umum Kopo tanpa upacara layaknya melepas seorang pahlawan yang berjasa membentuk pribadi tangguh founding father bangsa.

Meski begitu, sejarah tidak akan melupakannya.

Behind every great man there is a strong and a greater woman.

Inggit adalah sosok wanita hebat sesungguhnya di belakang pria hebat Soekarno.

Dia adalah Kartini sejati yang namanya tidak tergoreskan dalam buku resmi kepahlawanan.(Yoyok/Dari Berbagai Sumber)

Artikel Terkait