Find Us On Social Media :

Dulu, Katakan Cinta dengan Saputangan Dianggap Mewah dan Hanya Bisa Dilakukan Golongan Masyarakat Kelas Atas

By K. Tatik Wardayati, Kamis, 19 April 2018 | 19:45 WIB

Intisari-Online.com – Sepertinya baru kemarin kita menyeka keringat pakai selembar kain saputangan. Tiba-tiba benda itu mulai makin jarang dipakai, digantikan kertas tisu yang praktis dan mudah didapat.

Ya, tampaknya kini jarang terlihat orang (apalagi perempuan) menyimpan saputangan di dalam tas atau kantung bajunya.

Saputangan sebenarnya sudah disebut-sebut dalam syair karya Catulus (85 - 87 SM).

Tidak seperti saat ini, alat pengusap keringat kala itu terbuat dari jalinan rumput. Memasuki abad pertama sebelum Masehi, barulah saputangan terbuat dari kain linen.

Baca juga: Usut Asal: Alat selam, Upaya Manusia Bernapas di Air

Meski sederhana, hanya golongan masyarakat kelas atas yang sanggup memilikinya. Itu sebabnya, saputangan diperlakukan dengan sangat istimewa dan untuk pemakaian yang ekslusif.

Memasuki abad ke-14, sudah banyak masyarakat di Eropa yang menyadari saputangan sebagai bagian tak terpisahkan dari gaya busana.

Terutama di Italia, tempat pertama kali ide saputangan muncul dari seorang wanita Venesia, yang memotong-motong rami menjadi bentuk bujursangkar dan menghiasinya dengan renda.

Kala itu saputangan bertambah fungsinya sebagai sarana bertutur sapa di antara masyarakat kelas atas dengan cara melambai-lambaikannya.

Baca juga: Dulu Cinta, Namun Pria Ini Berubah Menjadi 'Monster' Kejam yang Tega Membunuh Mantannya dengan Siksaan Kejam!

Sementara di gedung teater ia dilambai-lambaikan untuk memberikan sambutan hangat kepada para pemainnya.

Dari Italia saputangan menyebar ke seantero Prancis. Para bangsawan di bawah Raja Henry II memiliki andil besar dalam penyebarannya.

Waktu itu saputangan sudah berbahan dasar sangat mahal, berhiaskan bordir sedemikian rupa sehingga sangat menarik dan menjadi barang mewah.