Penulis
Intisari-Online.com – Pengalaman pahit bangsa Yahudi selama perang, di mana diperkirakan 5 juta orang Yahudi telah tewas dibunuh oleh Nazi Jerman, makin menebalkan tekad bangsa Yahudi untuk mewujudkan cita-cita Zionis mereka.
Terjadilah kemudian imigrasi secara besar-besaran ke Palestina, baik secara legaal maupun secara illegaal.
Kedudukan Inggris serba sulit, dari pihak Yahudi ia dimusuhi, karena Inggris membatasi imigrasi, sedang dari pihak Arab, Inggrispun dibenci pula karena dituduh main mata dengan pihak Yahudi, dengan mengalirnya imigran-imigran gelap tersebut.
Sementara itu sehabis perang organisasi-organisasi gerilya Yahudi makin bertambah kuat dan bertindak makin nekad. Bukan saja penduduk Arab saja yang menjadi sasaran teror mereka, tetapi pihak Inggrispun jadi sasaran pula.
BACA JUGA:Perang Arab-Israel, Perang Berkepanjangan yang Tak akan Berhenti Sebelum Warga Palestina Merdeka
Situasi di Palestina yang makin mencemaskan itu, akhirnya menyadarkan negara-negara Arab, perlunya mereka bersatu dalam satu front “Liga Arab".
Pada tanggal 28 Mei 1946, negara-negara Arab tersebut mengikrarkan suatu sikap bersama, bahwa masalah Palestina, sekarang bukan lagi masalah orang Arab Palestina saja, tetapi kini telah menjadi masalah bagi seluruh bangsa Arab.
Mereka bertekad akan menjaga dan mempertahankan ke Araban Palestina, dan berseru kepada Inggris agar menepati janji White Papernya. Berbagai macam konsep kompromis telah diajukan Inggris untuk mempertemukan pendirian pihak Arab dan Yahudi, tetapi sia-sia saja.
Inggris akhirnya merasa tak mampu lagi, lalu menyerahkan persoalan Palestina kepada PBB.
PBB kemudian memutuskan untuk membentuk Komisi Istimewa PBB, beranggautakan 10 negara netral yang bertugas untuk merumuskan suatu penyelesaian politik bagi Palestina.
Rumusan mayoritas anggauta Komisi menghendaki agar dibentuk dua negara yang terpisah di Palestina, negara Arab dan negara Yahudi, sedang kota Yerusalem dinyatakan sebagai kota Internasional di bawah PBB.
Sedang minoritas anggauta Komisi (India, Iran, Yugoslavia) menghendaki dibentuknya dua negara berperintahan sendiri-sendiri, tetapi tergabung dalam suatu federasi central di bawah satu presiden, satu UUD dan satu kebangsaan.
Negara-negara Arab cenderung untuk menerima rencana yang kedua ini, sedang pihak Yahudi setuju pada rencana yang pertama. Tetapi dalam sidang PBB Nopember 1947, ternyata rencana pertama itulah yang diterima oleh sidang, jadi Palestina diputuskan dibagi menjadi dua negara, negara Arab dan negara Yahudi yang terpisah.
BACA JUGA:Perang Arab-Israel 1948, Perang yang Berujung pada Pengukuhan Kemerdekaan Israel secara Sepihak
Keputusan PBB tersebut terutama didukung oleh negara-negara besar A.S, Rusia, dan Perancis; Inggris dan 9 negara lainnya blanco; sedang seluruh negara-negara Arab yang berkepentingan serta negara-negara Asia seperti India, Turki, Pakistan, dan Iran menolaknya.
Liga Arab memprotes keras keputusan tersebut dan bertekad akan menggagalkannya.
Akibat keputusan PBB itu, suasana di Palestina makin panas, bentrokan bersenjata antara Arab-Yahudi tiap hari mengganas. Sehingga bulan Januari 1948 saja telah jatuh korban sampai 2000 orang di kedua pihak.
Karena merasa kewalahan, Inggris akhirnya memutuskan akan meninggalkan Palestina pada tanggal 14 Mei 1948, lebih cepat dari tanggal yang telah ditetapkan oleh PBB.
Ketika pada tanggal 14 Mei 1948, Inggris benar-benar menarik pasukannya dari Palestina, maka hari itu juga Dewan Nasional Yahudi di Tel Aviv memproklamasikan kemerdekaan Israel.
Befberapa jam kemudian A.S memberikan pengakuan de facto, dan kemudian disusul pula oleh pengakuan Rusia, Perancis dan negara-negara barat Jainnya.
Perang Arab-Israel
Reaksi negara-negara Arab terhadap prokiamasi Israel itu, spontan mengangkat senjata dan terus menyerbunya. Pecahlah kemudian Perang Arab-Israel yang sampai pada tahun 1973 telah 4 x meletus, yaitu pada tahun 1948, tahun 1956, tahun 1967 dan terakhir Oktober 1973 yang baru lalu.
Sebab pokok yang menyebabkan meletusnya perang-perang tersebut karena masalah pokok dari pertikaian Arab-Israel itu belum terpecahkan. Dewan Keamanan PBB setiap kali memang berhasil menyetop perang perang tersebut, tetapi ia tak mampu membawa kedua pihak ke akhir penyelesaian politik.
Dari ketiga perang yang pertama itu, Israel berhasil memperoleh kemenangan dan merebut wilayah-wilayah Arab, baik di wilayah Palestina sendiri maupun di luar wilayah Palestina.
Dalam Perang Kilat (130 jam) tahun 1967, pihak Israel bahikan berhasil merebut wilayah Mesir di Sinai, wilayah Yordania di lembah barat S. Yordan, dan wilayah Suriah di dataran tinggi Golan, yang luas keseluruhannya sama dengan 4x seluas wilayah Israel semula.
Meskipun PBB dalam resolusinya No. 242 tahun 1967 telah berseru kepada Israel, agar Israel menarik mundur pasukannya dari wilayah-wilayah yang didudukinya itu, tetapi hingga tahun 1973, Israel tetap tak mau melaksanakannya.
Hal inilah yang menyebabkan Presiden Anwar Sadat dari Mesir pada bulan Oktober 1973 yang baru lalu kemudian memilih jalan kekerasan lagi untuk menembus jalan buntu di atas.
Nasib Pengungsi Arab Palestina
Sementara itu kelahiran negara Israel dan perang-perang yang kemudian mengikutinya itu, telah menimbulkan bencana bagi ribuan penduduk Arab Palestina.
Teror dan ancaman maut memaksa mereka kemudian meninggalkan kampung halamannya dan tanah airnya, untuk mengungsi menyelamatkan diri ke negara-negara tetangga terdekat seperti Yordania, Suriah, Libanon, Mesir dan Iain-lain. Jumlah pengungsi Arab Palestina itu tiap tahun terus meningkat.
Menurut laporan PBB tahun 1952, jumlah pengungsi Arab Palestina di Libanon ada 105.000 orang, di Gaza (daerah Mesir) ada 200.000 orang, dan di Yordania ada 460.000 orang, suatu jumlah yang sama dengan 40% dari penduduk negeri itu sendiri.
Pada tahun 1955, seluruh jumlah pengungsi tersebut telah meningkat menjadi 912.000 orang. Dan setelah terjadinya perang 1967, jumlah tersebut telah menanjak menjadi 1.200.000 orang! Ini berarti separo lebih dari penduduk Arab Palestina kini telah menjadi pengungsi.
Kehidupan orang-orang Arab Palestina dalam pengungsian amat menyedihkan. Mereka harus hidup di tenda-tenda sempit bersama keluarganya dan bahkan bersama binatang-binatang ternaknya.
Kesempatan kerja sedikit sekali di pengungsian itu, sehingga sebagian besar mereka terpaksa hidup menganggur. Mereka memperoleh bantuan pangan dari PBB, tetapi jumlahnya terlalu sedikit, sekedar tidak mati kelaparan.
Mereka semuanya masih merindukan untuk kemhali pulang ke tanah airnya, ke kampung halamannya, dan ke sawah-ladangnya. Tetapi untuk itu, mereka tak sudi kalau harus hidup di bawah kekuasaan Israel, yang telah merampas tanah airnya, kemerdekaannya, dan harta miliknya.
Dari bayi-bayi yang dilahirkan dan dibesarkan dalam tenda-tenda pengungsian sejak tahun 1948 itu, kini telah tumbuh menjadi dewasa, menjadi generasi baru Arab Palestina.
Generasi baru ini dibesarkan dalam penderitaan dan dalam asuhan orang tua mereka yang memendam dendam kepada Israel. Di mata mereka mi, Zionisme Israel dipandangnya sebagai sumber dari segala malapetaka dan penderitaan bangsanya.
Karena itu bisa dipahami kalau dari generasi baru ini kemudian lahir gerilyawan Palestina yang militan dan fanatik seperti Yaser Arafat, Dr. Habbas, Leila Kalid dan Iain-lain. Mereka berjuang untuk kebebasan dan kemerdekaan bangsa dan tanah airnya, suatu hal yang wajar.
Hanya saja cara-cara mereka berjuang, kadang-kadang ada yang terlalu extreem, sehingga tidak bisa diterima oleh opini dunia.
Namun demikian, masalah Palestina dan perdamaian di kawasan itu, kiranya tak mungkin bisa dipecahkan, selama hak-hak dan nasib bangsa Arab Palestina tersebut belum diperlakukan secara adil.
Ini adalah salah satu tugas Konperensi Geneva yang sekarang sedang berlangsung, untuk meme cahkannya. (Drs. Moehkardi – Intisari Maret 1974)
BACA JUGA:Dengan Kapal yang Masih Bersandar di Pelabuhan, Mesir Berhasil Luluh Lantakkan Kapal Perang Israel