Find Us On Social Media :

Berat, Sistem Pengkaderan di Warung Tegal dan Warung Pecel Lele Ternyata Sangat Kompleks

By Moh Habib Asyhad, Senin, 2 April 2018 | 19:45 WIB

Intisari-Online.com - Boleh dibilang, tidak ada dari kita yang tidak tahu keberadaan warung tegal (warteg) atau warung pecel lele.

Kedua jenis dagangan makanan kaki lima ini bisa ditemui di hampir setiap sudut jalan. Ada sedikit “lahan tidur”, mereka akan langsung bercokol di sana.

Kabarnya, di Jabodetabek sendiri saat ini terdapat lebih dari 34 ribu warteg (data tahun 2013), 20 ribu warteg di antaranya ada di Kota Jakarta.

Pada umumnya pengusaha ini bergabung dalam Koperasi Warung Tegal (Kowarteg) yang sekaligus menaungi kepentingan mereka bersama.

Seolah tak mau kalah bersaing, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, juga banyak mengirimkan pengusaha makanan pinggir jalannya. Sayang, tak ada data pasti soal jumlahnya.

Baca juga: Pical, Pecel Minang dengan Jantung Pisang

Hanya saja mereka gampang dikenali dari dagangannya yang khas: pecel lele, pecel ayam, nasi bebek, atau soto ayam.

Dibandingkan dengan warteg, warung pecel lele jarang yang permanen. Kadang cukup bermodal gerobak dan meja untuk tempat makan.

Salah satu yang menarik dari keberadaan pedagang makanan untuk kalangan masyarakat menengah ke bawah ini, jumlah mereka ternyata terus berkembang.

Bahkan sukses bertahan melewati beberapa kali krisis ekonomi. Ada baiknya kita belajar pengkaderan dari warung tegal dan warung pecel lele.

Kuncinya kekeluargaan

Baik warteg maupun warung pecel lele, umumnya adalah bisnis keluarga. Andai tidak satu kerabat sekali pun, umumnya mereka berasal dari kampung yang sama atau berdekatan.

Pengusaha warteg sendiri mayoritas berasal dari Desa Krandon, Sidapurna, dan Sidakaton, di wilayah Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.