Hanya Dihuni Wanita dan Anak-anak, Inilah Kisah Pilu Kampung yang Ditinggalkan Pria dan para Bapak

Editorial Grid

Penulis

Kampung ini hanya dihuni oleh para wanita dan anak-anak, ternyata di balik hilangnya para bapak dan pria di kampung ini terselip kisah pilu yang mendalam.

Intisari-online.com - Di pegunungan di barat laut Kolombia, tiga jam perjalanan dari kota terdekat, terdapat sebuah desa bernama La Puria yang menjadi rumah bagi masyarakat adat Embera Katio.

Dalam bahasa mereka, embera berarti manusia, penduduk asli, atau laki-laki.

Namun, tidak ada laki-laki dewasa di sana.

Perang saudara di Kolombia yang berlangsung selama beberapa dasawarsa telah menghancurkan La Puria secara perlahan.

Beberapa pria di sana direkrut oleh Revolutionary Armed Forces of Colombia (FARC) atau National Liberation Army (ELN), dua kelompok gerilya kiri yang terbesar di negara tersebut.

Sisanya menjadi korban konflik, mengingat kedua kelompok: gerilyawan dan pasukan keamanan menggunakan taktik kekerasan, termasuk penculikan, memasang ranjau darat dan perdagangan obat bius.

BACA JUGA :Siswi-siswi SMA Ini Membuktikan bahwa Rose Seharusnya Bisa Menyelamatkan Nyawa Jack dalam ‘Titanic’

BACA JUGA :Tak Bisa Makan Berhari-Hari, Rupanya Inilah Pemandangan Mengerikan yang Dilihat Sipir Wanita Korea Utara yang Berhasil Kabur

Menurut Ivan Valencia, jurnalis foto Kolombia yang menghabiskan waktu berbulan-bulan di La Puria untuk mendokumentasikan kehidupan di sana, saat ini, hanya ada para wanita, anak-anak dan ibu-ibu remaja yang masih tersisa di La Puria.

Para perempuan muda memimpin kelompok untuk mencari dan mengumpulkan makanan di hutan – memegang parang sambil menggendong bayi mereka di punggung.

Ketua adatnya pun merupakan perempuan berusia 26 tahun, seorang ibu dari empat anak.

Suara bermain anak-anak terdengar di setiap rumah yang dibangun ibu mereka sendiri.

Anak-anak ini kebanyakan lahir dari rahim remaja yang diperkosa oleh para tentara dari kelompok gerilya lokal.

Di usianya yang masih sangat muda, anak-anak di La Puria sudah terpapar situasi perang. Tahun lalu, selama kegiatan terapi seni di sekolah desa, hampir semua anak-anak menggunakan pensil warnanya untuk menggambar dan mewarnai orang-orang yang membawa senjata api.

BACA JUGA :Bukan Hanya Diajak ‘Selfie’, Siswa SMP Ini Juga Diajak Bikin Instastory oleh David Beckham

Warna terang

Untuk pertama kalinya sejak 1960, konflik akhirnya selesai. Meskipun pada 2016, referendum sipil menolak perjanjian damai antara FARC dan pemerintah Kolombia, namun perjanjian ini direvisi dan diratifikasi kembali beberapa bulan kemudian.

Jalan menuju perdamaian memang belum pasti, tapi setidaknya gencatan senjata masih dilakukan.

Sayangnya, setelah perang terhenti, masyarakat La Puria tetap ditinggalkan oleh negara. Tanpa bantuan pemerintah di bidang kesehatan dan pelayanan umum, gizi buruk serta sanitasi yang layak, menambah tantangan yang harus mereka hadapi pascakonflik Kolombia.

“Saya merasa konsekuensi perang masih berlanjut,” ujar Ivan.

BACA JUGA :Ini Hukuman yang Diterima Dua Pemuda yang Injak Tengkorak di Pemakaman Tua Toraja

Meskipun begitu, Ivan melihat sedikit cahaya di sana. Ia terkesima dengan semangat hidup orang-orang La Puria.

“Setelah berjalan jauh dari hutan, saya ingat mencapai tempat di mana terdapat banyak warna – banyak penduduk La Puria yang mengenakan pakaian berwarna terang. Sangat indah melihat warna itu di tengah-tengah tempat kelabu dan penuh kesedihan,” kenang Ivan.

Bagi Ivan yang tidak memahami bahasa Embera, begitu pun penduduk yang tidak mengerti bahasa Spanyol, bahasa visual menjadi satu-satunya penghubung mereka.

“Kami berkomunikasi melalui kamera,” pungkasnya. (Rachel Brown/National Geographic)

Artikel Terkait