Find Us On Social Media :

Angkat Dirinya Sebagai Presiden Seumur Hidup, Bung Karno Beberapa Kali Jadi Sasaran Pembunuhan

By Ade Sulaeman, Jumat, 23 Maret 2018 | 09:00 WIB

Intisari-Online.com - Tahun 1931, Bung Karno yang menyadari perjuangannya harus melalui organisasi lalu bergabung dengan Partindo. Pengalamannya pernah ditangkap dan dipenjara tak membuat jera.

Aktivitas Bung Karno dilakukan tanpa sembunyi-sembunyi. Bung Karno bahkan menjadi pemimpin Partindo dan lagi-lagi membuat gusar Belanda.

Tahun 1933 Bung Karno kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores selanjutnya dipindahkan ke Bengkulu. Pengucilan di tempat yang sangat jauh dari Jakarta itu bertujuan agar pengaruh Bung Karno lenyap.

Tapi Belanda keliru sebab selama di Flores, Bung Karno tetap melakukan ‘perlawanan gerilya’ dengan cara mengirim surat-surat dan korespondensi dengan tokoh pergerakan yang ada di Jakarta secara sembunyi-sembunyi.

(Baca juga: Demi bertahan Hidup, Bus Malam Lebih Mewah Dari Pesawat, Kemewahan Kabinnya Bikin Takjub!)

Di Ende, Bung Karno yang dibuang bersama istrinya, Inggit Gunarsih, ibu mertua dan anak angkatnya, Ratna Juami mengisi kegiatan kesehariannya dengan membaca, menulis buku, melukis, memahat, dan bersemedi.

Buku yang ditulisnya di bawah pohon sukun bercabang lima bertajuk Bung Karno, Ilham, Dari Flores Untuk Nusantara sangat digemari oleh masyarakat Flores.

Bahkan gagasan tentang Pancasila yang secara resmi diumumkan pada tanggal 1 Juni 1945 berasal dari permenungan Bung Karno saat berada di bawah pohon sukun.

Bung Karno yang telah diasingkan lebih dari empat tahun baru dibebaskan setelah Jepang masuk Indonesia tahun 1942.

Kendati Indonesia kini dikuasai oleh penjajah yang mengaku sebagai saudara tua dan menjanjikan kemerdekaan, Bung Karno tetap berprinsip bahwa kemerdekaan harus diperjuangkan secara mandiri dan bukan karena diberi.

Pada awal masa penjajahan Jepang keberadaan para tokoh Indonesia sempat terabaikan mengingat saat itu kekuatan Jepang begitu mendominasi di seluruh Asia Tenggara.

Untuk menarik hati penduduk Indonesia yang akan digalang sebagai kekuatan bersenjata melawan Sekutu, Jepang mulai memperhatikan berbagai organisasi dan para tokohnya seperti Jawa Hookokai, Pusat Tenaga Rakyat, BPUPKI, dan PPKI.