Angkat Dirinya Sebagai Presiden Seumur Hidup, Bung Karno Beberapa Kali Jadi Sasaran Pembunuhan

Ade Sulaeman

Penulis

Intisari-Online.com - Tahun 1931, Bung Karno yang menyadari perjuangannya harus melalui organisasi lalu bergabung dengan Partindo. Pengalamannya pernah ditangkap dan dipenjara tak membuat jera.

Aktivitas Bung Karno dilakukan tanpa sembunyi-sembunyi. Bung Karno bahkan menjadi pemimpin Partindo dan lagi-lagi membuat gusar Belanda.

Tahun 1933 Bung Karno kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores selanjutnya dipindahkan ke Bengkulu. Pengucilan di tempat yang sangat jauh dari Jakarta itu bertujuan agar pengaruh Bung Karno lenyap.

Tapi Belanda keliru sebab selama di Flores, Bung Karno tetap melakukan ‘perlawanan gerilya’ dengan cara mengirim surat-surat dan korespondensi dengan tokoh pergerakan yang ada di Jakarta secara sembunyi-sembunyi.

(Baca juga: Demi bertahan Hidup, Bus Malam Lebih Mewah Dari Pesawat, Kemewahan Kabinnya Bikin Takjub!)

Di Ende, Bung Karno yang dibuang bersama istrinya, Inggit Gunarsih, ibu mertua dan anak angkatnya, Ratna Juami mengisi kegiatan kesehariannya dengan membaca, menulis buku, melukis, memahat, dan bersemedi.

Buku yang ditulisnya di bawah pohon sukun bercabang lima bertajuk Bung Karno, Ilham, Dari Flores Untuk Nusantara sangat digemari oleh masyarakat Flores.

Bahkan gagasan tentang Pancasila yang secara resmi diumumkan pada tanggal 1 Juni 1945 berasal dari permenungan Bung Karno saat berada di bawah pohon sukun.

Bung Karno yang telah diasingkan lebih dari empat tahun baru dibebaskan setelah Jepang masuk Indonesia tahun 1942.

Kendati Indonesia kini dikuasai oleh penjajah yang mengaku sebagai saudara tua dan menjanjikan kemerdekaan, Bung Karno tetap berprinsip bahwa kemerdekaan harus diperjuangkan secara mandiri dan bukan karena diberi.

Pada awal masa penjajahan Jepang keberadaan para tokoh Indonesia sempat terabaikan mengingat saat itu kekuatan Jepang begitu mendominasi di seluruh Asia Tenggara.

Untuk menarik hati penduduk Indonesia yang akan digalang sebagai kekuatan bersenjata melawan Sekutu, Jepang mulai memperhatikan berbagai organisasi dan para tokohnya seperti Jawa Hookokai, Pusat Tenaga Rakyat, BPUPKI, dan PPKI.

Sedangkan tokoh-tokoh yang yang berusaha dirangkul antara lain Bung Hatta, Ki Hajar Dewantara, KH Mas Mansyur, dan termasuk Bung Karno sendiri.

(Baca juga:(Foto) Bak Gudang Fashion, Inilah Lemari Seluas 65 Meter Persegi Milik Sosialita Asal Singapura)

Organisasi dan para tokoh itu sama-sama memperjuangkan kemerdekaan Indonesia secara terbuka dan mendapat sambutan positif Jepang.

Tanggapan positif bahkan diberikan langsung oleh Kaisar Jepang Hirohito dengan memberikan Bintang Kekaisaran kepada tiga tokoh yang saat itu diundang langsung ke Jepang, Bung Karno, Bung Hatta, dan Ki Bagoes Hadikoesoema.

Namun ada juga organisasi yang melakukan gerakan bawah tanah kerena mereka menganggap Jepang adalah penjajah dan fasis yang berbahaya.

Anggapan yang sesungguhnya mendekati kebenaran itu dilakukan oleh Sutan Syahrir dan Amir Sjarifuddin.

Tapi saat Jepang menyerah kalah kalah kepada Sekutu organisasi yang kooperatif dengan Jepang justru mendapat peluang besar untuk memproklamirkan kemerdekaan.

Setelah melalui perjuangan dan pergulatan politik yang panjang Bung Karno dan Bung Hatta berhasil memproklamirkan kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945. S

atu hari kemudian keduanya diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI.

Pada 29 Agustus 1945 pengangkatan presiden dan wakilnya itu dikukuhkan lagi oleh KNIP.

Keduanya mulai dikenal sebagai pasangan yang legendaris dan pamor kewibawaan Bung Karno yang jago orasi juga makin bersinar.

Kewibawaan Bung Karno teruji ketika rapat raksasa di Lapangan Ikada digelar dan dihadiri lebih 200.000 orang.

Rapat yang dijaga tentara Jepang bersenjata lengkap itu berlangsung aman berkat orasi Bung Karno yang mampu mengendalikan massa.

Pasca kemerdekaan Bung Karno masih menghadapi banyak tantangan yang justru lebih berat.

Pasukan Sekutu yang masuk ke Indonesia untuk melucuti pasukan Jepang dan membebaskan tawanan perang malah menimbulkan masalah baru karena diboncengi oleh NICA, Belanda.

Kehadiran Belanda yang ingin menjajah lagi akhirnya memunculkan konflik baru mulai dari Pertempuran 10 November Surabaya hingga agresi militer Belanda kedua pada tahun 1948 yang berhasil menawan Bung Karno-Bung Hatta.

Pemerintahan Bung Karno sampai kocar-kacir dan harus berpindah tempat serta berubah sistem.

Tapi berkat perjuangan fisik dan diplomasi internasional Bung Karno-Bung Hatta kembali lagi memimpin Negara Kesatuan RI pada 17 Agustus 1950.

Roda pemerintahan RI di bawah pimpinan Bung Karno-Bung Hatta mulai berjalan melaju.

Visi Bung Karno tak hanya memajukan bangsa tapi juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia internasional.

Tahun 1955 Bung Karno mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang kemudian menjadi gerakan Non-Blok.

Prinsip Non Blok yang melandasi hubungan internasional Indonesia dengan negara lain itu bahkan masih dilestarikan hingga saat ini.

Gerakan Non Blok yang berlangsung di sejumlah negara Afrika berakibat sangat positif.

Beberapa negara memperoleh kemerdekaannya tanpa melalui kekerasan berkat gerakan Non Blok sehingga nama Soekarno cukup populer di Asia-Afrika.

Tak hanya itu untuk menjalankan politik Non Blok dan politik luar negeri yang bebas aktif Bung Karno juga mengunjungi berbagai negara dan bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara yang berkaliber dunia.

Di antaranya Nikita Khrushchev (Uni Soviet), John F. Kennedy (AS), Fidel Castro (Kuba), Mao Tse-Tung (China), dan lainnya. Nama Bung Karno makin populer di tingkat internasional.

Setelah mengukir sejumlah prestasi, mulai tahun 1955 Bung Karno menghadapi guncang lagi.

Demi memenuhi kebutuhan membentuk Badan Konstituante untuk menyusun konstitusi baru Bung Karno menyetujui penyelenggaraan Pemilu.

Hasil dari pemilu yang pertama sekaligus terakhir bagi Bung Karno itu memunculkan empat partai pemenang seperti PSI, Masjumi, NU serta PKI.

Ketika empat partai itu mulai bersidang untuk menyusun UUD baru yang terjadi justru konflik yang berkepanjangan dan mengancam kesatuan negara termasuk kredibilitas Bung Karno sendiri.

Untuk mengatasi kemelut dan negara yang berada di ambang perpecahan, dengan dukungan Angkatan Darat, Bung Karno mengumumkan dekrit 5 Juli 1959 yang isinya membubarkan Badan Konstituante dan kembali ke UUD 1945.

Bung Karno bahkan mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup sehingga memunculkan rasa ketidakpuasan, keadaan ekonomi yang morat-marit, dan pemberontakan PRRI/Permesta yang melibatkan tokoh-tokoh PS serta Masjumi.

Kedua partai ‘pemberontak’ itu lalu dibubarkan oleh Bung Karno dengan akibat sejumlah upaya pembunuhan terhadap presiden.

Sejumlah upaya pembunuhan itu antara lain pelemparan granat terhadap rombongan Bung Karno di Cikini, Jakarta (November 1957) dan penembakkan menggunakan jet tempur oleh Daniel Maukar (Maret 1960).

Upaya pembunuhan terhadap Bung Karno lainnya adalah penembakan di Rajamandala, Cianjur ( April 1960)), dan pelemparan granat di Makasaar (Januari 1962).

Penembakan terhadap Bung Karno yang gagal di komplek Istana Presiden, Jakarta (Mei 1962), serangan mortir saat Bung Karno berkunjung ke Sulawesi ( 1960), serta serangan granat rombongan presiden di Cimanggis, Bogor (Desember 1964).

(Baca juga:Realita Bekerja di Kapal Pesiar: Saat Beban Kerja Tidak Semanis Gajinya!)

Artikel Terkait