Dua Keunikan Pasar Bandeng Rawabelong Jakarta

Ade S

Penulis

Ada pemandangan unik di wilayah Rawabelong, tak jauh dari pasar kembang Rawabelong menjelang Imlek: pasar bandeng.

Intisari-Online.com - Hanya empat hari dalam setahun pasar bandeng Rawabelong ini dibuka. Lokasinya di ujung Jalan Sulaeman, Rawabelong, yang mengarah ke pasar kembang.

Sesuai namanya, yang dijual di sini hanya bandeng saja. Mereka dihamparkan di meja-meja yang bersusun berjajar di kiri kanan ujung jalan itu.

Ya, hanya empat hari pasar ini buka. Selalu dibuka lima hari menjelang Imlek.

Baca Juga: Ikan Bandeng yang Populer Saat Imlek, Ternyata Tak Cuma Enak Tapi Punya Segudang Manfaat untuk Tubuh

Bandeng berbagai ukuran dipajang rapi. Dari yang berat 1,5 kg sampai dengan 5 kg tersedia di sini. Kisaran harga antara Rp70 ribu dan Rp90 ribu per kilogramnya. Bandeng-bandeng ini didatangkan dari tambak-tambak di daerah Muaraangke, Jakarta Utara.

Bandeng yang dijual di sini bukan sembarang bandeng. Menurut para pedagang, bandeng untuk Imlek ini memperoleh perlakuan khusus selama pemeliharaannya, yakni diberi makan roti.

“Jadi banyak lemak di rongga perutnya,” kata Samson (35), salah seorang pedagang.

Pedagang bandeng di sini mayoritas orang Betawi dari beberapa kantong kampung Betawi di Jakarta seperti Petukangan, Meruya, Kemanggisan, dan Bintaro.

Pedagang-pedagang ini untuk sementara menggusur pedagang nasi uduk dan lontong sayur yang biasanya buka di sore hari.

Selain keunikannya yang buka cuma empat hari dalam setahun, ternyata mayoritas pembelinya adalah orang Betawi juga. Lokasinya di Rawabelong sendiri sudah menjadi pertanyaan karena di seputar itu bukan daerah Pecinan.

Baca Juga: Hari Raya Imlek 2017: Ketika Tionghoa dan Betawi Berinteraksi

“Ada kali ya 80 persen pembeli orang Betawi,” kata Simin (75) yang telah berjualan di sini sejak 1970.

Apakah masyarakat Betawi ikut Imlekan? Masih perlu digali lagi informasi ini. Namun, ada tradisi orang orang Betawi Rawabelong berkaitan dengan bandeng ini: memasak bandeng untuk dihantarkan kepada mertua dan sanak saudara.

“Zaman dahulu bila tidak ada hantaran ke mertua bisa menimbulkan ribut antara suami istri. Tapi itu dulu,” ujar H. Zaenal (62), salah seorang pembeli yang datang bersama istrinya. (Teguh Wiarso)

Artikel Terkait