Penulis
Intisari-online.com - Hubungan antara Iran dan Amerika baru-baru ini semakin memanas.
Setelah jenderal tertinggi Iran, Qassem Soleimani dibunuh oleh pesawat tak berawak milik Amerika Serikat.
Akibatnya kedua negara ini dalam situasi memanas dan kondisinya semakin genting.
Menurut Daily Mirror, pada Senin (6/1/20) para pejabat di Teheran mengatakan mereka mulai tidak mematuhi peraturan yang diberikan oleh AS.
Setelah kematian Qassem Soleimani, Iran berencana kembali melakukan program berbahayanya yang ditentang AS pada 2015 silam.
Iran dikabarkan akan memulai kembali membangun senjata nuklirnya.
Pada hari Minggu para pejabat Iran mengatakan tidak akan lagi mematuhi batas kesepakatan dalam perjanjian nuklir 2015.
Sementara itu, negara itu ingin memulai pengayaan bahan bakar yang penting untuk senjata nuklir.
Sedangkan pertempuran melawan ISIS akan dihentikan.
Parlemen Irak juga telah mendukung undang-undang yang menyerukan pengusiran, semua pasukan AS dari tanah Irak.
Artinya upaya untuk menghentikan pasukan ISIS yang tersisa akan terhenti.
Sedangkan hari ini Senin (6/1) AS mengumumkan bahwa mereka menghentikan upaya "Anti-ISIS-nya"
Hal itu terjadi setelah pengumuman pemerintah Inggris mendesak Irak agar mengizinkan tentara Inggris yang melanjutkan pertempuran di sana melawan kelompok itu.
Sekitar 400 tentara Inggris ditempatkan di Irak dalam perang melawan IS.
Sementara AS memiliki 5.200, memicu kekhawatiran penarikan yang dapat melumpuhkan pertempuran melawan kelompok teror itu.
Sejauh pengusiran itu, pasukan AS juga dalam masalah yang mendesak.
Usai kesepakatan nuklir 2015 mulai diabaikan akan menyebabkan konsekuensi yang jauh lebih dasyat.
AS mulai menjaga jarak di wilayah Timur Tengah, sementara Iran mulai mencangkan senjata kiamat, yang dulu dikecam oleh AS.
Ini memicu kekhawatiran bahwa Iran semakin dekat untuk menciptakan Bom Atom yang sangat ditakuti dunia.
Pada 2015 silam setelah negosiasi panjang pemerintah presiden Barack Obama, berhasil membujuk Iran membatasi kegiatan nuklirnya yang sensitif.
Dan menarik pencabutan sanksi ekonomi yang melumpuhkan Iran.
Tetapi Presiden Donald Trump menolak perjanjian itu tiga tahun kemudian, dan mengklaim ingin memaksa negara itu melakukan sesuatu yang baru.
Iran menolak tuntutan itu dan sejak itu perlahan mulai mengembalikan komitmennya.
Seandainya bukan karena komitmen para penandatangan kesepakatan lainnya di Inggris, Prancis, Rusia, Cina, Jerman dan Uni Eropa, langkah-langkah inspeksi internasional yang ditingkatkan kemungkinan telah dihapuskan.