Ilmuwan: Gletser di Dunia Akan Mencair dan Gletser Pertama yang Akan Mencair Adalah Puncak Jaya Papua

Mentari DP

Penulis

Karena berbagai masalah alam, gletser terakhir yang tersisa di dunia ada di deretan pegunungan tinggi antara Andes dan Himalaya.

Intisari-Online.com – Anda tahu gletser?

Gletser merupakan sebuah bongkahan es yang besar yang terbentuk di atas permukaan tanah yang merupakan akumulasi endapan salju yang membatu selama kurun waktu geologi.

Hingga saat ini, es abadi menutupi sekitar 10% daratan yang ada di bumi.

Hanya saja, karena berbagai masalah alam, gletser terakhir yang tersisa di dunia ada di deretan pegunungan tinggi antara Andes dan Himalaya.

Baca Juga: Awas, Makan Tempe Setiap Hari Ternyata Bisa Sebabkan Penyakit Mematikan Ini

Menurut sebuah studi, gletser ini diperkirakan akan hilang meleleh dalam rentan waktu kurang dari satu dekade.

Mengutip dari laman The Independent, seorang ilmuwan peneliti senior di Byrd Polar and Climate Research Centre Ohio State University, mengatakan, gletser di Papua (Indonesia) adalah "kenari di tengah batu bara."

"Gletser ini akan menjadi yang pertama menghilang. Setelah itu, gletser di puncak gunung lainnya pun akan mengikuti," kata Profesor Thompson.

Gletser Papua yang terletak di dekat Puncak Jaya, di bagian barat pulau Papua Nugini ini, telah mencair selama beberapa tahun.

Akan tetapi, pencairan ini terus meningkat dengan cepat setelah terjadi El Nino yang kuat pada tahun 2015 hingga 2016.

Fenomena iklim ini menyebabkan air laut dan suhu atmosfer menghangat. El Nino merupakan fenomena alam, tetapi efeknya diperkuat dengan pemanasan global yang berlangsung.

Studi yang dilakukan oleh Profesor Thompson dan sejumlah rekannya, mengungkapkan, gletser diprediksi akan menghilang dalam kurun waktu 10 tahun ke depan.

Prediksi ini dibarengi dengan proyeksi terjadinya El Nino yang lebih kuat di masa yang akan datang.

Profesor Thompson mengatakan, peristiwa tersebut juga akan terjadi di gletser-gletser tropis seperti Kilimanjaro (Tanzania) dan Quelccaya (Peru).

"Saya pikir Papua (Indonesia), gletser di sana adalah indikator dari apa yang akan terjadi di seluruh dunia," ungkap Profesor Thompson sebagaimana dikutip dari The Independent.

Baca Juga: (Foto) Seperti Ini Kehidupan Tradisional dari Suku Pedalaman Amazon yang Terancam Punah,

Gletser menyusut

Profesor Thompson dan timnya telah memantau gletser sejak tahun 2010.

Kala itu, mereka melakukan pengeboran terhadap inti es untuk memeriksa komposisi dan suhu atmosfer di sekitar gletser sepanjang sejarah.

Bahkan, saat itu, gletser telah menyusut. Pencairan terjadi sekitar 150 tahun yang lalu dan menjadi sangat cepat dalam dekade terakhir.

Peneliti menemukan tanda-tanda pencairan baik di bagian atas maupun bawah dari gletser.

Selama ekspedisi pengeboran tahun 2010, tim memasang kawat pipa PVC, yang dihubungkan menggunakan tali, ke dalam es.

Hal ini dilakukan untuk mengukur seberapa banyak es mencair dalam periode waktu tertentu. Pengukuran dilakukan dengan secara berkala mengecek bagian-bagian tali yang terbuka saat es mencair.

Ketika diukur kembali pada November 2015, sekitar 5 meter tali telah terbuka. Hal ini berarti permukaan gletser mencair dengan kecepatan sekitar satu meter per tahun.

Tim lain kemudian kembali pada Mei 2016 dan melihat adanya penambahan 4,26 meter tali yang terbuka, dan menunjukkan peningkatan pencairan dalam waktu 6 bulan saja.

Tim tersebut juga mengukur tingkat pencairan gletser dengan melihat area permukaannya, yang menyusut sekitar 75 persen dari 2010 hingga 2018.

Bagian es telah menyusut sedemikian rupa hingga pada 2016, gletser tersebut terpecah menjadi dua bagian yang lebih kecil.

Pada Agustus 2019, seorang pendaki mengambil foto gletser dan menunjukkan bahwa es tersebut hampir menghilang.

Dampak pencairan gletser

Pencairan gletser adalah penyebab utama dari kenaikan permukaan laut.

Menurut Profesor Thompson, gletser di puncak gunung seluruh dunia berkontribusi sekitar sepertiga hingga setengah dari jumlah total kenaikan permukaan laut tahunan saat ini di lautan Bumi.

Perubahan iklim telah meningkatkan suhu atmosfer, yang menyebabkan udara di sekitar gletser pun menghangat.

Baca Juga: DPR AS Sepakati Dua Pasal Pemakzulan Donald Trump: Jangan Sampai Salah, Begini Mekanisme Pemakzulan Presiden

Selain itu, mengubah ketinggian tempat di mana hujan berubah menjadi salju.

Artinya, ketika salju jatuh di puncak gletser, akan membantu kembali membangun es dari tahun ke tahun. Sementara, saat ini, justru hujan yang turun.

Air menyerap lebih banyak energi dan lebih banyak panas dari matahari daripada salju.

Oleh karena itu, peningkatan jumlah air di atas gletser akan semakin menghangatkan gletser dan mempercepat pencairan es yang tersisa.

"Air pada dasarnya seperti bor air panas bagi gletser. Ia menembus es ke batuan dasar. Jadi, ketika air menumpuk di atas gletser, ia akan meleleh lebih cepat," kata Profesor Thompson.

Ketika air mulai mengalir melalui celah-celah gletser menuju batuan dasar, akan mulai melelehkan gletser di sepanjang dasarnya.

Pada akhirnya, kondisi ini memunculkan suhu hangat tersendiri yang menyebabkan gletser meluncur, sangat lambat, menuruni gunung ke ketinggian yang lebih rendah di mana suhu lebih hangat.

Sama dengan kasus gletser ini, para peneliti juga menemukan hal yang sama pada pengeboran pertama tahun 2010.

Inti es yang mereka bawa ke permukaan menunjukkan adanya air lelehan di dasar gletser dan di bagian atas gletser.

Pencairan yang terjadi memengaruhi informasi yang dapat dipelajari oleh para peneliti dari inti es tersebut.

Biasanya, peneliti dapat memperoleh catatan data tahunan dari iklim di sekitar gletser. Namun, ketika gletser mencair, catatan-catatan tersebut menjadi kabur.

Dalam hal ini, inti es masih menunjukkan bukti terjadinya El Nino sepanjang sejarah inti es.

Profesor Thompson juga mengungkapkan, hilangnya gletser merupakan kerugian budaya. Ketika timnya melakukan pengeboran pada tahun 2010, sejumlah tetua adat memprotes.

Kondisi ini pun memunculkan debat di antara masyarakat adat, yang menimbang apakah tim ekspedisi diizinkan melanjutkan penelitiannya untuk mempelajari sejarah yang terkandung di dalam es, atau membiarkan gletser tidak terganggu.

Setelah itu, Profesor Thompson mengatakan, para tetua bersepakat menolak para peneliti.

Sementara, para pemuda menginginkan misi tersebut berlanjut. Para pemuda kemudian menang dan membiarkan para peneliti melanjutkan penelitiannya.

(Vina Fadhrotul Mukaromah)

(Artikel ini telah tayang diKompas.comdengan judul "Ilmuwan Prediksi Gletser di Dunia Akan Mencair, Pertama di Puncak Jaya Papua")

Baca Juga: Video Betrand Peto Diduga Sentuh Dada Sarwendah Viral, Ini Kata Psikolog Anak dan Keluarga

Artikel Terkait