Penulis
Intisari-Online.com – Berdasarkan data Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta, Gunung Merapi menyemburkan awan panas pada Senin (14/10/2019) pukul 16.31 WIB.
Dilaporkan awan panas menyembur sekitar 3.000 meter dari puncak dengan durasi 270 detik dan amplitudo 75 mm.
Akibatnya, terjadi hujan abu tipis yang melanda sejumlah wilayah di Boyolali dan Magelang di Jawa Tengah.
Tapi dari pantauan, hujan abu tipis tersebut tidak sampai menganggu aktivitas warga.
"Iya, hujan abu tipis. Hujan abu tipis berlangsung dari pukul 17.00 - 17.30 WIB," kata Maryanto, Kadus Stabelan, Boyolali saat dikonfirmasi Kompas.com pada Senin (14/10/2019) petang.
Saat terjadi semburan awan panas, tampak muncul titi api di kawasan Pasar Bubrah.
Warga menduga, api itu diduga kuat berasal dari luncuran material yang dimuntahkan Gunung Merapi.
"Di beberapa titik sebelah selatan Gunung Merapi tepatnya di bawah Pasar Bubrah muncul titik api.”
“Api terlihat setelah Gunung Merapi mengeluarkan awan panas tadi," kata Maryanto.
Walau dianggap tak berbahaya, namun suara gemuruh dari puncak Gunung Merapi yang meletus sempat membuat panik warga.
Seperti yang kita tahu, Gunung Merapi merupakan salah satu gunung api aktif di Indonesia dan pernah meletus besar pada tahun 2010.
Pada Selasa tanggal 26 Oktober 2010, letusan Gunung Merapi mengakibatkan sedikitnya 353 orang tewas, termasuk Mbah Maridjan.
Mbah Maridjan diketahui sebagai penjaga dan juru kunci Gunung Merapi.
Amanah sebagai juru kunci ini diperoleh dari Sri Sultan Hamengkubuwana IX.
Setiap gunung Merapi akan meletus, warga setempat selalu menunggu komando darinya untuk mengungsi.
Tak boleh pergi
Sebelum Mbah Maridjan, ada beberapa orang yang pernah menjaga Gunung Merapi. Salah satunya adalah Saechani.
Pada masanya, pegawai Jawatan Geologi urusan Volkanologi ini, punya peran penting dalam penjagaan gunung berapi.
Tahun 1961, saat Merapi meletus, ia pernah disangka sudah mati.
Kala itu, Saechani bertugas di Pos Plawangan. Suasana mengkhawatirkan.
Siang gelap bagaikan malam hari. Hujan abu tebal dan batu-batu kecil bertebaran.
"Para penjaga Gunung Merapi disangka sudah menjadi mayat semuanya," kisah Saechani, saat itu.
Seorang penjaga gunung berapi tak boleh lari menyelamatkan diri.
Penjaga gunung berapi bertugas mengamati perkembangan gunung, catatan suhu, dan pemetaan kawah.
Baca Juga: Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santosa, Jenderal yang Jujur dan Berani Hingga Akhir Hayatnya
Pada 1972, Saechani bertugas di Pos Babadan yang lokasinya termasuk dekat dari Puncak Merapi.
Di tahun itu, diperkirakan siklus Merapi mengeluarkan letusan tipe besar.
Dari penelusuran, pada tahun 1972-1973, Merapi meletus dengan tipe volkanian.
Materi yang dilontarkan membentuk awan bergumpal-gumpal seperti bunga coal yang tegak menjulang secara vertikal, serta menghasilkan semburan asap hitam setinggi 3 kilometer.
Terjadi hujan pasir dan kerikil, juga awan pijar guguran ke Kali Batang.
"Uang bahaya" Rp10
Pada masa itu, penjaga gunung berapi mendapatkan Rp10 per hari jika status gunung yang dijaganya dalam keadaan bahaya.
Uang ini dikenal dengan istilah "uang bahaya".
Selain gaji, para penjaga gunung kala itu mendapatkan uang makan yang besarnya sesuai jabatannya.
Dalam melakukan tugasnya, Saechani ditemani dua orang asisten yang mengurusi kebutuhannya sehari-hari.
Kehidupan Saechani tak bisa dipisahkan dari gunung berapi. Lahir dan besar di kawasan lereng Gunung Semeru adalah alasannya.(Artikel inidimuat Harian Kompas pada 15 September 1972)