Penulis
Intisari-Online.com – Peluncuran rudah Musudan akhir Mei 2016 lalu dari negaranya Kim Jon-Un ini telah memperuncing ketegangan di wilayah Asia Timur.
Hampir semua media menulis, Korea Utara telah memprovokasi konflik dengan Jepang.
Mengapa negeri ini gencar mengembangkan dan menembakkan rudal?
Berikut ini tulisan Adrianus Darmawan, yang dimuat di Majalah ANGKASA edisi Juli 2016 Tahun XXVI, dengan judul asli Fakta di Balik Peluncuran Rudal Korut.
Meski telah berkali-kali ditekan Amerika Serikat, bahkan oleh sekutunya sendiri yakni Rusia dan China; Korea Utara tak jengah mengembangkan rudal-rudal balistik yang dinilai sangat berbahaya.
Antara April- Mei 2016, negeri ini setidaknya telah meluncurkan empat rudal balistik jenis baru yang membuat pemerintah Jepang meradang dan bergegas memerintahkan pasukan bela dirinya untuk menyiagakan jajaran rudal pertahanan udaranya.
Salah satu sistem pertahanan udara yang disiagakan adalah jajaran rudal antirudal PAC-3 Patriot yang memang dirancang untuk mengendus dan menjatuhkan rudal.
Terhadap uji coba rudal jarak menengah Musudan yang diluncurkan dari pantai timur Korut, Selasa, 31 Mei lalu; Jepang tegas mengutuk semua rencana pengembangan arsenal itu.
Dari keempat rudal yang diluncurkan ke arah Jepang, untungnya semua mengalami kegagalan. Rudal-rudal itu meledak hanya beberapa detik setelah diluncurkan.
Bagi Jepang bahkan AS dan tetangganya Korea Selatan, peluncuran rudal sudah menjadi masalah menahun yang tak henti dilakukan Korut.
“Sudah amat jelas, upaya peluncuran rudal balistik yang dilakukan Korea Utara telah menodai resolusi Dewan Keamanan PBB."
"Peluncuran rudal-rudal ini merupakan upaya provokatif yang bisa mengganggu keamanan regional,” demikian kata Perdana Menteri Shinzo Abe di hadapan parlemen Jepang.
Di bawah kepemimpinan Kim Jong Un (32 tahun), faktanya, Korut memang kian gencar melakukan pengembangan dan peluncuran roket serta rudal.
Dalam enam bulan terakhir saja, selain empat Musudan, Pyongyang juga telah meluncurkan Unha-3, yang dibangun dengan basis roket terbesar tiga tingkat yang pernah mereka kembangkan, yakni Taepodong-2.
Tapi kali ini bukan sebagai rudal, melainkan sebagai pelontar satelit observasi Bumi, Kwangmyongsong-4.
Pada rentang waktu yang sama, Korea Utara juga dilaporkan telah meledakkan bom hidrogen yang pertama di bawah tanah.
Getaran sebesar 5,1 skala richter yang tercipta sampai-sampai terbaca oleh Badan Survei Geologi AS.
Salah satu varian dari bom nuklir ini, seperti dikatakan sejumlah ahli, memiliki daya ledak jauh lebih tinggi dari bom atom yang pernah memusnahkan kota Hiroshima dan Nagasaki di Jepang, di penghujung Perang Pasifik, Agustus 1945.
Belum lama ini Kantor Berita Korea Utara juga mengabarkan, angkatan perangnya telah berhasil menguji coba rudal jarak pendek dari basis peluncuran kapal selam.
Dengan demikian, jika digabung dengan kemampuan tertingginya membangun roket Taepodong-2 yang bisa mengusung muatan seberat 500 kilogram ke sasaran sejauh 6.000 kilometer, negara komunis yang selalu merasa dirinya disudutkan dunia ini memang layak diberi predikat berbahaya.
Sejumlah sumber menyatakan, Korut diyakini telah menangguk lebih dari 800 rudal balistik buatan sendiri dari berbagai tipe, mulai dari jarak pendek hingga jarak jauh yang bisa mencapai daratan Amerika.
Hal ini memunculkan pertanyaan, mengapa Korut gencar membangun kemampuannya di bidang peluru kendali dan roket balistik?
Jawabannya boleh jadi akan membawa kita pada pemahaman atas latar-belakang kebijakan pertahanan yang dipegang teguh Kim Il-sung, putranya Kim Jong-il, lalu kini cucunya: Kim Jong-Un.
Baca Juga: Disebut Anak Ajaib Karena Bisa Mengemudi di Usia 3 Tahun, Apa Lagi 'Keajaiban' Kim Jong Un?
Decisive factor
Sedikit membalik sejarah, sejumlah beban politik tampaknya telah “memaksa” pemimpin pertama Republik Demokratik Rakyat Korea (nama resmi Korea Utara), Kim Il-sung, untuk memilih rekayasa rudal dan nuklir sebagai sistem pertahanan terdepan sekaligus opsi industri penopang perekonomian yang dinilai realistis.
Setelah Perang Korea dihentikan oleh genjatan senjata pada 1953, negeri ini pada kenyataannya memang tak banyak memiliki potensi ekspor di tengah sektor pertanian dan perikanannya yang terlihat lemah.
Di lain pihak, dua prahara besar telah membuat negeri ini benar-benar terpuruk sekaligus tertutup dari dunia sekitarnya.
Penjajahan Jepang yang berlangsung antara 1910 sampai 1945 hanya menyisakan dendam kesumat terhadap tetangganya yang berada di sebelah Timur itu.
Sementara pertikaian senjata dengan Korea Selatan yang berlangsung antara 1945 sampai 1950 justru telah memisahkan negeri ini dengan saudara dekatnya di Selatan.
Konflik di semenanjung ini pulalah yang kemudian menciptakan permusuhan yang berkepanjangan dengan kekuatan ekonomi dunia, AS.
Bagi Kim Il-sung, selain dapat membentengi negerinya dari ancaman dunia luar, rudal yang dikembangkan juga dapat di ekspor ke sejumlah negara.
Peluang terbuka pada 1960-an, ketika sebagai sekutu Uni Soviet menyuplai roket artileri 9K52 Luna-M atau FROG-7 berdaya jangkau kurang dari 100 kilometer, rudal 2K6 Luna (FROG-3) berdaya jangkau kurang dari 50 kilometer, rudal darat ke udara (SAM), rudal antikapal, berikut enjinir di bidang motor roket dan sistem penuntun.
Berbekal itu, Korut kemudian mendirikan Akademi Militer Hamhung yang didedikasikan sebagai pusat riset dan pengembangan rudal dan roket.
China juga turut memberi “angin” dengan mengikutsertakan enjinir Korut dalam pembuatan rudal berbahan bakar cair DF-61 yang bisa menjangkau jarak 600 kilometer yang bisa melontarkan hulu ledak seberat 1.000 kilogram.
Baca Juga: Dikenal Lucu, Ternyata Beginilah Kepribadian Kim Jong-Un saat Sekolah, 'Sempat Ketahuan Bawa Majalah Dewasa'
Kemampuan mereka semakin tak terbendung setelah Soviet ikut menambah inventori mereka dengan puluhan rudal Scud-B.
Kerja keras dan tekanan dunia luar juga lah yang membuat negeri ini mampu menyelesaikan Hwasong-5, rudal balistik jarak pendek yang sedikit lebih galak dari Scud-B.
Jika Scud-B bisa menjangkau tempat sejauh 300 kilometer, Hwasong-5 lebih jauh 20 kilometer.
Kelebihan ini dimungkinkan berkat keberhasilan enjinir Korut mengembangkan sistem propulsi baru.
Rudal yang menyedot perhatian dunia pada pertengahan 1980-an ini kemudian dibeli Iran untuk memerangi Irak.
Hwasong-5 pulalah yang memantik laju industri rudal Korut lebih cepat berkembang.
Satu demi satu penguasaan know-how enjiniring roket tak ayal mengantar mereka ke pembuatan Hwasong-6 (serupa Scud-C) dan Nodong-1 yang berdaya jangkau lebih jauh, lalu roket dua tingkat Taepodong-1 dan 2 yang mestinya memiliki teknologi yang jauh lebih rumit, serta Musudan yang beberapa waktu lalu gagal meluncur.
Pemanfaatan roket balistik jarak jauh Taepodong-1 dan 2 untuk melontarkan hulu ledak tak ayal ikut meresahkan dunia.
Pasalnya, dengan jarak jangkau antara 6.000 sampai 10.000 kilometer, roket-roket ini sudah masuk dalam kategori roket balistik antar-benua yang bisa menjangkau tempat mana saja di dunia.
Tanpa kekuatan udara dan laut yang memadai, dapat dimengerti jika Korut menjadikan kemampuannya ini sebagai alat diplomasi yang kritikal.
Sadar bahwa teknologi dirgantara telah membuktikan diri sebagai kekuatan yang amat menentukan kemenangan dalam berbagai peperangan, maka lumrah saja jika Korut menggunakan kemampuan rudalnya sebagai decisive factor.
Puluhan tahun dijajah dan ditekan dunia dengan sendirinya memang telah membuat negeri ini antipati terhadap tetangga-tetangganya, juga dunia.