Penulis
Intisari-Online.com - Seorang penderita dewasa datang dengan keluhan batuk yang telah berlangsung selama beberapa minggu dan tidak kunjung sembuh meski telah berobat ke dokter A.
Ia memperlihatkan foto sinar X yang mencantumkan diagnosis hasil kesimpulan dokter rontgen, yakni bronkopneumonia.
Diagnosis itu dia teruskan begitu saja tanpa melalui konfirmasi ke dokter A, juga tanpa dirinya diperiksa. Antibiotik yang disarankan dokter dibelinya tanpa resep, berharap “sekarang saya akan sembuh”.
Sayangnya, harapan kandas. Dia masih batuk seminggu kemudian, malah lebih keras dan berlendir.
Akhirnya, ia mengunjungi kamar praktik saya. Dijelaskannya semua yang telah terjadi sambil menyatakan keheranannya mengapa tak juga sembuh.
Berapa banyak orang mengalami kesalahkaprahan seperti ini? Apa yang sebenarnya telah terjadi?
Seorang ahli rontgen tidak bisa (dan tidak boleh, bila tanda-tanda yang dilihat di foto sinar X tidak pasti) mencantumkan diagnosis klinis atas dasar pemeriksaan rontgen saja karena itu wewenang dokter yang mengobatinya.
Tugasnya terbatas pada melaporkan tanda-tanda yang dilihatnya dalam foto sinar X dan menguraikan kemungkinannya, bukan diagnosisnya.
Dokter yang mengobatinyalah yang kemudian harus menarik kesimpulan tentang diagnosis itu.
Mengapa begitu?
Pertama, karena seorang ahli rontgen hanya melihat gambar, dan untuk suatu penyakit yang seharusnya didiagnosis secara klinis, gambar hasil foto rontgen bisa (sangat) tidak spesifik.
Klinis di sini artinya penderita harus datang, ditanyai mengenai kejadian penyakitnya, dan digali cerita-cerita lain yang berhubungan dengan penyakit yang akan didiagnosis. Lalu si penderita diperiksa secara teliti.
Pada seseorang penderita pneumonia, pertama harus ada demam (tanpa demam, tidak ada pneumonia), lesu hingga tak berdaya, menggigil di tempat tidur, meski pada mulanya tidak selalu harus ada batuk.
Sedangkan penderita ini masih sanggup bepergian kemana-mana, sampai bermain golf. Memang ada batuk tapi tidak selalu. Kalau ahli rontgen menulis laporannya, “kesan”: bronkopneumonia, maka hal ini tidak boleh diinterpretasikan oleh penderita sendiri, apalagi minta obat melalui telepon.
Memang zaman sekarang ada “demokrasi”. Konsep mengobati diri sendiri sering diartikan secara luas sekali. Karea tidak ada waktu, orang berpikir, “Potong kompas saja, saya juga bisa ngobati diri sendiri.”
Pada orang tua, batuk dapat ditimbulkan oleh payah jantung (heart failure) yang ditandai dengan batuk yang timbul segera setelah rebah di tempat tidur (bila sudah lebih parah).
Pada permulaan hanya terasa sesak dan letih, tidak mampu jalan agak jauh, dan sering kedua kaki bengkak (edema) karena cairan tubuh berkumpul di tempat yang rendah. Bila tiduran, cairan berkumpul dalam paru-paru dan perut, dan menyebabkan batuk. Keadaan seperti ini perlu segera ditangani seorang dokter.
Gambaran rontgen untuk sakit jantung (heart failure atau payah jantung) memang bisa menyerupai pneumonia karena adanya bercak-bercak putih di foto itu.
Maka bila pada gambar rontgen seorang penderita dewasa terlihat bercak putih, selain bisa berarti kelainan paru primer (seperti radang paru-paru) juga bisa karena cairan yang berada di paru-paru akibat payah jantung.
Ternyata betul, penderita ini menderita payah jantung ringan. Dengan obat sederhana saja, semua gejala yang dideritanya menghilang dalam beberapa hari termasuk batuknya.
Foto rontgennya ternyata juga memperlihatkan jantung yang membesar. Jadi menyokong diagnosis payah jantung. Ketika 2 minggu kemudian dia difoto ulang, hasilnya menunjukkan perbaikan nyata (gambaran jantung mengecil).
Pelajaran yang dapat ditarik dari kasus ini ialah, batuk berkepanjangan (terutama bila sedang rebahan) janganlah selalu dianggap sebagai batuk biasa.
Masih banyak juga sebab lain dari batuk. Selain itu, proses mendiagnosis tidak boleh dilakukan melalui telepon.
Baca Juga: Campur Jahe dan Garam, Rasakan Khasiatnya untuk Obati Batuk Membandel!
Ditulis ulang dari buku Advis Medis Intisari, tulisanProf. dr. Iwan Darmansjah, Sp.Fk, Farmakolog, Jakarta.