Find Us On Social Media :

Semua Orang Bisa Meramal Masa Depan

By T. Tjahjo Widyasmoro, Sabtu, 17 Agustus 2019 | 18:15 WIB

Pendulum yang digunakan oleh para radiestasi.

Di benak para peramal ini tetiba ada sekelebat gambaran tentang peristiwa yang akan terjadi. Dan tugas merekalah untuk mengungkapkannya kepada orang lain, jika memang diminta. Inilah dunia para peramal alias pembaca masa depan yang diam-diam selalu dibutuhkan orang.

Seorang perempuan, usia 30 tahunan, membuat janji untuk bertemu dengan Madam Arra, di sebuah kafe di Jakarta Pusat. Sekilas dari penampilannya, dia terlihat modern, cukup berpendidikan, dan memiliki kemampuan finansial yang baik.

Namun siang itu hatinya tampak begitu gundah, hingga merasa perlu menemui peramal. Dia ingin sebuah jawaban.

Tanpa banyak berbasa-basi, pembicaraan siang itu langsung ke persoalan. Rupanya perempuan itu adalah janda satu anak yang sedang menjalani sebuah hubungan dengan seorang pria. Namun dia ragu tentang keseriusannya. Selain itu ada masalah lain, pria itu sudah berkeluarga!

Dengan ekspresi yang datar, Arra membaca perjalanan hidup perempuan itu melalui kartu-kartu tarotnya. Arra melihat, pria itu terlihat serius ingin menjalin hubungan.

“Ya, saya sampaikan saja seperti adanya, kalau pria itu serius,” tutur Arra. Meski hatinya agak gundah, perempuan itu menerima informasi itu dengan hati terbuka.

Sekitar enam bulan setelah pertemuan tadi, perempuan itu kembali menelepon Arra. Dia sekadar ingin mengabarkan akan segera menikah dengan pria itu secara siri.

Arra yang sudah agak lupa dengan pertemuan itu, merasa surprise. Memang kartu-kartu tarotnya berbicara soal adanya kemungkinan pernikahan. Tapi kalau boleh dia menyarankan, sebaiknya jangan diteruskan.

Kalau boleh? “Ya, di sinilah dilematisnya,” tutur Arra. Jika bertindak sebagai pribadi, dia sebenarnya ingin melarang.

“Tapi kalau pathway-nya dia memang akan menjadi istri kedua, kita bisa apa? Walau ujung-ujungnya akan pisah juga dan hubungan itu enggak lama.”

Jangankan orang lain, Arra sendiri bahkan tak kuasa mencegah dirinya mengalami sesuatu yang buruk, kalau memang pathway-nya mengharuskan begitu. Begitulah kira-kira “nasib malang” para peramal.

Bukan hasil akhir

Di masa silam, orang menyebutnya peramal atau ahli nujum. Lalu di zaman modern, populerlah profesi ini dengan sebutan fortune teller.

Arra tak menolak disebut sebagai apa pun, namun di kartu namanya tertulis pekerjaannya motivator.

Sederhana saja alasannya, dia selalu memberi motivasi seseorang untuk berbuat yang terbaik dalam kehidupannya.

Klien Arra hadir dari beragam kalangan, dengan beragam usia pula. Namun ada kesamaannya, mereka ingin mendapat jawaban atas kebingungannya.

Persoalannya bisa sangat beragam, mulai dari asmara, bisnis, pekerjaan, hubungan sosial, dsb. Masalahnya mereka ragu untuk mengambil suatu keputusan dan merasa harus bertanya dulu.

Atau jika sudah mengambil keputusan, mereka mengkonfirmasi tindakannya itu ke Arra. Seorang peramal seperti Arra pada umumnya mengerti betul kondisi psikologis klien itu.

Dengan alasan itu pula, dia tidak pernah memberi tahu hasil akhir sebuah ramalan, melainkan bagaimana prosesnya.

Sebab Arra berpendapat, hasil akhir bisa saja berubah jika memang prosesnya juga berubah. Sejauh itu bukan menyangkut hidup-mati seseorang, Tuhan akan mengizinkan untuk berubah. Tak terkecuali untuk urusan rezeki dan jodoh sekalipun.

Contohnya begini, seorang klien bertanya, kapan dia akan menikah. Bisa jadi latar belakangnya dia sudah jenuh men-jomblo.

Melalui penerawangan, Arra sebenarnya tahu “hasil akhirnya”. Tapi dia hanya akan menjelaskan hal-hal yang harus dilakukan si klien untuk mencapai pernikahan.

Mungkin ada sifat-sifatnya yang harus diubah, harus lebih ramah, lebih terbuka, atau memperluas pergaulan.

Jika si klien menjalani petunjuk tadi, mungkin saja dia akan segera bertemu dengan pasangannya lalu menikah. “Padahal mungkin saja dari kartu tarot yang dibacakan tidak berbicara soal kemungkinan pernikahan,” tutur Arra.

Tapi itu bukan berarti kartu tarot berbohong atau kurang akurat. “Tarot hanya berbicara apa adanya. ”

Sugesti kata-kata

Dibandingkan dengan di masa silam, menurut Honga, seorang peramal asal Jakarta, kini umumnya cara berkomunikasi terhadap klien telah mengalami banyak perubahan.

Jika dulu peramal terkesan selalu memberi kata-kata yang lugas apa adanya, kini lebih memberikan alternatif solusi.

Sebab Honga meyakini kata-kata dari peramal dapat memberi sugesti pada seseorang. Sekitar 80 persennya akan benar terjadi pada orang itu.

Dalam suatu permasalahan, peramal mengedepankan alternatif penyelesaian atas hasil penerawangan. Baik itu untuk menghindari potensi kejadian yang buruk maupun memaksimalkan peluang yang ada.

“Di sinilah letak tanggung jawab atas permasalahan kliennya,” tutur perempuan keturunan Hongaria berusia 42 tahun ini.

Penjelasannya, kata Honga, terkait dengan hukum tarik-menarik bahwa segala pikiran kita akan diamini oleh semesta. Kenyataan inilah yang membuat peramal modern, cenderung berhati-hati dengan penyampaiannya.

Sebab menurut dia ada banyak kejadian, klien benar jatuh sakit, benar dia dipecat, atau dia kehilangan uang, jika memang diungkapkan hal-hal seperti itu.

“Kalau saya judge, maka orang akan kepikiran dan benar akan terjadi seperti itu,” tutur peramal yang sudah 17 tahun menekuni profesi ini.

Soal sugesti itu pula yang membuat seorang peramal memilih untuk tidak memberi tahu apa yang kemungkinan terjadi terhadap klien di masa depan. Yang mereka beritahu bukan hasilnya apa, tapi prosesnya bisa bagaimana.

“Lebih ditekankan pada ‘kenapa’, bukan ‘kapan’,” kata Arra.

Diharapkan dari penjelasan itu, klien tidak terpaku pada apa yang akan terjadi nantinya, tapi melakukan hal-hal terbaik yang bisa mereka lakukan.

Ingin privasi

Hilangkan pandangan Anda bahwa seorang peramal mirip seperti dukun yang bekerja menggunakan asap kemenyan, mengucap mantra dan di ruangan penuh aksesori serba gaib.

Kini para peramal modern sudah bekerja dengan manajemen profesional.

Arra dan Karahiyang misalnya, keduanya tergabung dalam satu manajemen di Street Fortune Teller, justru ingin menghilangkan kesan “mistis” dari penampilan mereka saat bekerja.

“Ini pekerjaan yang harus dijalani serius,” tegas Arra yang juga sempat berkarier di kantoran sebelum menjadi peramal.

Hanya saja, terkadang beberapa klien merasa rikuh jika terlihat berada di tempat umum dengan peramal yang sedang menerawang nasibnya. Untuk itu Arra punya cara tersendiri untuk “menutup” perhatian dari orang-orang di sekitar. Sayangnya, dia enggan menjelaskan caranya.

Saat berkonsultasi, klien bebas bertanya apa pun, sebatas waktunya masih mencukupi. Untuk menerawang kliennya, Arra maupun Karahiyang menggunakan berbagai cara seperti kartu tarot, runes, tea/coffee readingnumerology, fengshui, clairvoyance, baca tanda tangan, palmistry, oracle, aura, ceki, pendulum, baca wajah, atau bola kristal.

“Terserah klien tapi biasanya yang dipilih tarot. Kalau alternatifnya bisanya kami tawarkan oracle,” kata Karahiyang.

Klien-klien orang Indonesia umumnya memilih tarot karena mereka mengenal ramalan dengan cara itu.

Meski sebenarnya tarot sendiri begitu banyak jenisnya. Arra sendiri misalnya lebih menyukai menggunakan manga tarot untuk membaca relationship atau dark angel tarot yang terasa lebih “straight to the point” dalam mengungkapkan sesuatu.

Selain pilihan dari klien sendiri, menurut Karahiyang, berbagai pilihan cara dalam meramal tegantung juga pada faktor interaksi energi dengan klien.

“Kalau kita sudah dekat dengan energi klien, maka bisa saja terjadi tidak nyaman dan harus diganti dengan media lain,” tuturnya.

Ibaratnya begini, jika kita sudah ngobrol berjam-jam dan jenuh minum kopi, maka bisa diselingi dengan air putih untuk penyegaran.

Cuma iseng, jangan deh

Dengan menerapkan manajemen yang profesional, menurut Arra, kini kliennya lebih jelas dan terseleksi. Meski tidak pernah membatasi klien, namun Arra melakukan “seleksi” juga.

Dari penerawangannya, ia memilih antara mereka yang memang perlu dibantu dengan mereka yang diperkirakan hanya akan merepotkan saja.

“Siapa tahu nantinya bisa jadi teman,” tutur Arra tentang pentingnya hubungan berkelanjutan dengan klien.

Peramal umumnya paling kesal jika mendapat klien yang cuma iseng. Memang tak semua orang berniat meminta tolong. Ada yang cuma seakan-akan melakukan tes atau sekadar main-main saja.

Biasanya orang semacam itu memulai percakapan dengan, “Iseng-iseng ramal saya dong.”

Cuma iseng? No way lah ya. Karahiyang juga menyatakan sering kesal menghadapi klien yang tertutup.

Misalnya klien sering menyangkal dan tidak mengakui, meski sebenarnya betul. Menurut Karahiyang, ulah klien ini akan membuat penerawangan menjadi buntu.

Peramalnya juga jadi kesal, ujung-ujungnya bete. Lebih baik konsultasi itu dibatalkan saja. Keterbukaan informasi ternyata juga tak membuat persepsi sebagian klien terhadap profesi ini membaik.

Ada saja yang menganggap peramal ini selayaknya dukun atau paranormal. Arra misalnya pernah diminta untuk memasang susuk, mengirim ilmu pelet, atau minta menjauhkan seseorang dari selingkuhan, dan semacamnya.

Jelas permintaan itu tidak dilayani. “Kalau saya jujur mengatakan, memang tidak bisa,” tutur Arra.

Tidak melibatkan ilmu gaib, tapi justru pernah kena dampaknya. Arra bercerita, ada kliennya yang mengeluh soal kelakuan suaminya.

Setelah melihat fotonya, orang itu memang tampak sering berbuat kurang baik terhadap istrinya.

Dan mungkin juga ketika orang itu sadar ada yang mencoba menolong istrinya, dia juga tidak rela. 

Walhasil, Arra dan Karahiyang mendapat serangan-serangan tak kasatmata. Beruntung dampaknya tak terlalu parah, hanya seperti masuk angin saja.

Terhadap klien yang mengajukan permintaan khusus, Arra akhirnya menyarankan untuk kembali ke agama masing-masing. Misalnya bagi Muslim akan diminta salat hajat serta berpuasa, bagi yang Katolik diminta berdoa novena, atau Buddha diminta berdoa liam keng.

“Kalau kita mintanya sungguh-sungguh dan berikhtiar juga pasti jalannya dimudahkan,” tutur Arra.

Cerita berbeda dituturkan Honga yang beberapa tahun terakhir ini memilih berpraktik di rumah saja. Kliennya lebih beragam, mulai dari kalangan kelas bawah sampai atas, dari tukang sayur, anak malam, hingga pejabat.

Kebanyakan kliennya perempuan yang umumnya bercerita tentang masalah rumah tangga dan cinta. Sementara klien pria lebih suka bertanya terkait bisnis dan rezeki.

Honga membenarkan ada klien yang sekadar iseng. Jumlah penanya iseng bahkan mencapai 40%. Selain mereka yang memang hanya ingin main-main, orang-orang yang hanya ingin mendengar apa yang ingin didengar juga masuk di golongan iseng ini.

Pada dasarnya mereka ini tidak ingin mendengar masukan dari orang lain dan hanya meyakini apa yang dianggapnya benar.

Awalnya menolak

Dari penuturan para peramal ini, sesungguhnya semua orang bisa meramal . Namun ada persamaan cerita, baik Arra, Karahiyang, maupun Honga. Ketiganya kebetulan sudah memiliki bakat itu sebelum terjun menjadi peramal. Belakangan ternyata bakat ini justru membantu dalam pekerjaan mereka selanjutnya.

Arra menuturkan, bakat untuk membaca garis tangan sudah dimilikinya sejak remaja. Ternyata setelah dia secara serius mempelajari teorinya lewat buku, semuanya cocok. Dia hanya tinggal mendalami saja.

Adapun soal kemampuan mata batinnya juga sudah dirasakan sejak lama, hanya saja Arra semula menampiknya.

Penolakan pada tahap awal itu juga terjadi pada Honga. Semata karena dia ada perasaan tidak percaya pada ramalan dan selalu ingin berpikir logis.

Namun kini justru dia merasakan kemampuannya ini sebagai anugerah. Setelah memperlajari secara serius pada 1998, baru pada 2002 Honga yang tidak mau ditulis nama aslinya ini menjalani pekerjaannya secara profesional.

Sementara Karahiyang, justru awalnya menekuni ilmu penyembuhan. Awalnya dia memakai medium air, kemudian beralih ke telur ayam kampung.

Belakangan setelah berkenalan dengan kartu tarot dia merasa cocok untuk menekuni dunia ramalan. “Intinya sih panggilan dan memang karena ingin menolong orang lain,” begitu tutur dia.

Menolong sesama memang bisa beragam cara, salah satunya bisa jadi dengan ramalan.

Ivan Sujana M.Psi, Psikolog Klinis: “Semua Takut Akan Ketidakpastian”

Orang-orang yang pergi ke peramal sesungguhnya sangat bisa dipahami.

Pada dasarnya semua manusia mencari kepastian dan tidak ada yang suka dengan ketidakpastian. Dunia ini makin uncertain, sehingga dapat dipahami jika orang ke peramal untuk mendapat hint, “what should I do”.

Sebenarnya bukan masa depannya yang ditakutkan, tapi ketidakpastiannya. Sesuatu di masa depan, karena belum terjadi, maka sifatnya tidak pasti.

Nah, untuk mengurangi kecemasan itu orang-orang ini berusaha memperjelas uncertainty-nya dengan mencari certainty lewat peramal.

Kecemasan bisa dihilangkan dengan membuat pengalihan. Hedonism misalnya. Dengan mencari entertainment, juga merupakan salah satu yang digunakan masyarakat untuk “melupakan sesaat” kecemasan mereka.

Antara ke entertainment dengan peramal memang sama-sama bertujuan “melupakan sesaat” kecemasan. Bedanya, kalau ke entertainment si pelaku tidak menghadapi masalah yang dipikirkan dan sifatnya hanya pengalihan.

Sementara kalau ke peramal, mereka berusaha in touch dengan masalah tersebut.

Misalnya mereka bertanya: bisnis apa yang baik tahun ini? Itulah keresahan mereka. Jadi mereka deal dengan masalah itu meskipun deal-nya dengan melihat masa depan.

Yang dilakukan peramal – juga psikolog - hanya memberikan petunjuk. Penentuan tetap di orang itu, karena pada dasarnya setiap orang punya

kapasitas untuk membuat keputusan, dengan atau tanpa peramal. Terkadang kita tidak yakin dengan keputusan kita, apalagi kalau menyangkut keputusan besar.

Sehingga yang dibutuhkan adalah assurance, peneguhan. Kalau sudah ada assurance, tanpa ke peramal sekalipun dia akan memilih itu.

Antara assurance dan uncertainty ini terkait. Semakin merasa tak pasti kita semakin membutuhkan assurance.

Jika tidak ada assurance kita makin cemas. Berputar-putar di situ saja.

Semua Orang Bisa Meramal

Anda boleh percaya, sesungguhnya semua orang bisa meramal. Menurut Arra caranya kita hanya tinggal menangkap “kata-kata” yang terlintas di pikiran kita. Namun semua itu hanya bisa ditangkap dengan kepekaan kita.

“Untuk tahu kita harus memakai intuisi, feeling. Tapi masalahnya mereka tidak menemukan itu di dalam dirinya,” tutur Arra.

Karahiyang menambahkan, masalahnya dalam tahap pengujian untuk meramal, terkadang terjadi kesalahan karena ada keraguan.

Padahal jangan pernah memaksakan diri untuk berbicara sesuatu, karena nanti justru akan bertabrakan dengan ego kita. Kuncinya sesungguhnya adalah pasrah tapi tetap ada keyakinan diri.