Kasus Bupati Kudus Terancam Hukuman Mati Karena 2 Kali Korupsi: Detik-detik Saat Seseorang Menjalankan Hukuman Mati, Ngeri dan Pilu!

Mentari DP

Penulis

Bupati Kudus Muhammad Tamzil mendapat tuntutan hukuman mati karena sudah dua kali terjerat kasus korupsi.

Intisari-Online.com – Bupati Kudus Muhammad Tamzil menjadi tersangka dalam kasus dugaan jual-beli jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kudus.

Tak hanya itu, dia juga dituntut hukuman mati.

Menurut Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan, tuntutan hukuman mati dapat dikenakan terhadap Tamzil karena sudah dua kali terjerat kasus korupsi.

"Apakah nanti ada hukuman khusus?”

Baca Juga: Mahasiswa yang Sidang Skripsinya Diuji Menteri Sri Mulyani, ‘Ayah Saya Hanya Lulusan SD dan Saya Sarjana Pertama di Keluarga'

“Ini sebenarnya sudah kita bicarakan tadi pada saat ekspos karena memang kalau sudah berulang kali, bisa nanti tuntutannya sampai dengan hukuman mati," kata Basaria dalam konferensi pers seperti dilansir dari kompas.com pada Sabtu (27/7/2019).

Namun, Basaria belum bisa memastikan hal tersebut.

Menurut dia, kemungkinan tuntutan hukuman mati masih dalam pengembangan.

"Nanti putusannya masih dalam pengembangan terus nanti akan kita umumkan setelah ini," ujar Basaria.

Terlepas dari kasus Muhammad Tamzil dan soal keadilan, proses kematian pada hukuman mati memang terkadang menimbulkan kengerian dan kepiluan.

Oleh karena itu, di AS terpidana bisa memilih cara kematiannya.

Tulisan ini pernah dimuat diIntisariedisi April 2003 dengan judul asliHukuman Mati: Kengerian di Ujung Ajal, yang ditulis oleh G. Sujayanto.

Simak bagaimana detik-detik ajal orang menjalankan hukuman mati.

--

Waktu menunjuk pukul 04.30. Suasana gelap dan sunyi masih menyergap kota Pamekasan di awal Januari 1980. Namun, ketegangan sudah terasa di dalam bui kota itu.

Para petugas tengah sigap menggelandang seorang pesakitan ke luar kota untuk dihadapkan ke depan regu tembak. Bobby, begitulah nama yang sengaja disamarkan.

Ia diikat pada dua buah tiang yang di tengahnya diberi celah selebar 10 cm. Tepat di belakang celah tiang itu ditumpuk karung-karung pasir.

Dua bola matanya sudah ditutup kain merah. Sementara kepalanya diselubungi dengan kantung.

Pada telapak kaki diletakkan sebilah papan. Dedaunan kelor sengaja disebarkan sebagai penawar seandainya sang terhukum menggunakan jimat.

Regu tembak yang terdiri atas 12 orang tamtama dan seorang bintara pun sudah menempati posisinya.

Jarak yang memisahkan mereka 6 m. Salah seorang dari mereka berdiri di belakang regu tembak sambil memegang lampu senter untuk menerangi terhukum.

Baca Juga: Kisah Robinson Sinurat, Anak Petani yang Berhasil Lulus S2 di Columbia Univesity dan Bertemu Barack Obama

Tak jauh dari mereka, berdiri dokter, dan petugas penjara.

Komandan regu tembak berdiri agak ke samping dengan memegang sebilah pedang. Dari tempatnya, sang komandan memberi aba-aba siap tembak dengan ayunan sebilah pedang.

Dor …. dor… dor! Berondongan senapan menyalak di pagi buta.

Kepala Bobby langsung menunduk. Suasana kembali sepi. Dokter yang sudah disiapkan memeriksa si terpidana mati. Bobby pun dinyatakan telah meninggal.

Begitulah seorang saksi mata yang ikut dalam keseluruhan proses eksekusi itu menceritakan peristiwa itu kepadaIntisari.

Tiga kombinasi obat

Sesuai ketentuan, hukuman mati dengan cara ini dilakukan dengan menyuntikkan cairan yang merupakan kombinasi tiga obat.

Pertama,sodium thiopentalatausodium pentothal, obat bius tidur yang membuat terpidana tak sadarkan diri.

Lantas disusul denganpancuronium bromide, yang melumpuhkan diafragma dan paru-paru. Ketiga,potassium chlorideyang membikin jantung berhenti berdetak.

Pada saat eksekusi, terpidana dibawa ke ruangan khusus; ditidurkan, serta diikat pada bagian kaki dan pinggang. Sebuah alat dipasang di badan untuk memonitor jantung yang disambungkan denganpencetak yang ada di luar kamar.

Ketika isyarat diberikan, 5 gsodium pentothaldalam 20 cc larutan disuntikkan lewat lengan. Lalu diikuti oleh 50 ccpancuronium bromide, larutan garam, dan terakhir 50 ccpotassium chloride.

Kelihatannya mudah. Namun, banyak hal tak terduga bisa terjadi. Dalam beberapa kasus pembuluh darah sukar didapat atau peralatan tidak pas menembus pembuluh darah.

Untuk mengurangi penderitaan banyak negara bagian mengizinkan pemberianthorazinesebagai obat penenang dalam suntikan.

Selain suntikan, hukuman mati dengan kursi listrik juga banyak dipilih. Terpidana diikat pada kursi listrik yang terbuat dari kayu oak yang diletakkan di atas bantalan karet tipis dan dibaut pada ubin cor.

Pangkuan, leher, lengan, dan lengan bawah terhukum diikat dengan tali kulit. Gelang kaki sampai betis diikat dengan tali sepatu berspons tempat elektrode dipasang.

Wajah terdakwa disembunyikan dengan tutup kepala yang tersusun atas dua lapis logam dan kulit.

Baca Juga: Tidak Mewah dan Masuk Gang, Barbie Kumalasari Diduga Berbohong Soal Rumahnya: 7 Hal yang Terjadi Jika Anda Berbohong, Salah Satunya Dikucilkan

Bagian logam dibikin seperti saringan kawat tempat elektrode dipasang. Spons basah ditempatkan antara elektrode dan kulit kepala.

Eksekusi dijalankan dalam tiga tahap. Pertama dengan mengalirkan listrik berkekuatan 2.300 V (9,5 A) selama delapan detik, dilanjutkan 1.000 V (4 A) selama 22 detik, dan diakhiri dengan gelontoran arus 2.300 V (9,5 A) dalam delapan detik.

Ketika satu tahapan itu dinyatakan selesai, tombol utama dilepas. Bila terpidana belum juga meninggal, maka tahapan itu diulang sekali lagi.

Gantung lebih cepat

Pada hukuman gantung mula-mula tali gantungan disiapkan lengkap dengan talinya. Panjang tali gantungan diukur menurut bobot badan, umur, serta besar tubuh korban.

Biasanya antara 1,5 – 2 m. Di bagian bawah tiang gantungan atau alasnya, yang dibuat lebih tinggi dari lantai, terdapat papan yang bisa membuka ke bawah dengan tiba-tiba.

Menjelang eksekusi, ujung tali dilingkarkan ke leher korban dengan kuat, tapi tidak mencekik, dan simpul besarnya terletak pada sudut dagu.

Pada keadaan ini, panjang tali jauh melebihi jarak antara leher dengan pangkal tali di atas, sehingga korban tidak dalam posisi tergantung.

Begitu eksekusi dilaksanakan, alas akan membuka secara cepat. Korban meluncur ke bawah dan terhenti secara tiba-tiba akibat entakan tali yang telah teregang.

Menurut Dr. Djaja Surya Atmadja padaIntisariApril 1990, entakan yang kerasnya sudah diperhitungkan itu akan membuat korban meninggal seketika akibat patahnya tulang leher dan putusnya sumsum tulang belakang.

Soalnya, sumsum tulang belakang merupakan penghubung otak sebagai pusat koordinasi seluruh aktivitas tubuh dengan tubuh yang diaturnya.

Seluruh saraf kita melewati jalur tunggal ini, termasuk saraf pengatur denyut jantung dan pernapasan. Jika jalur ini putus, maka hilang juga koordinasi otak, sehingga jantung, dan paru-paru akan terhenti.

Patahnya tulang leher biasanya terjadi antara ruas ke-2 dan 3 atau ke-3 dan 4.

Kadang-kadang pembuluh nadi leher dalam (karotis interna) akan terobek melintang dan bagian rawan gondok di leher pun bisa patah.

Dengan demikian, kematian pada korban hukuman gantung biasanya akan lebih cepat dan relatif tanpa penderitaan jika dibandingkan dengan gantung diri.

Bagitulah, hukuman mati terasa kejam dan memilukan. Tapi itu pasti tidak terpikirkan tatkala mereka melakukan kejahatan. (K. Tatik Wardayati)

Baca Juga: Barbie Kumalasari Diduga Berbohong Soal Rumah Mewahnya: Suka Berbohong Terus-menerus? Bisa Jadi Anda Mengidap Penyakit Mythomania

Artikel Terkait