Wellywood, Hollywood Ala Selandia Baru dengan Karya Mendunia dan Tim yang Belajar Dunia Perfilman Otodidak

Tatik Ariyani

Penulis

Wellington, ibu kota Selandia Baru, juga dijuluki Wellywood atau Hollywoodnya setempat. Begini kisah para pelaku kreatifnya!

Intisari-Online.com - Industri perfilman Selandia Baru sedang bertumbuh dan berkembang.

Cabang industri kreatif ini kian mapan karena reputasi film seperti The Lord of The Rings yang dibuat di sana.

Tidak heran, iklim ini bagus bagi pembuat film muda untuk mau terlibat, untuk datang ke Selandia Baru dan menjadi bagian darinya.

Karenanya Wellington, ibu kota Selandia Baru, juga dijuluki Wellywood atau Hollywoodnya setempat.

Baca Juga: Bry Voydatch, Menjelajah Selandia Baru dan Menemukan Lokasi Shooting Film Trilogi Tersukses 'The Lord of The Rings'

Lokakarya hingga produksi profesional

Pergerakan perfilman di Wellywood tumbuh mulai dari edukasi seperti lokakarya.

Weta Workshop salah satu penggeraknya.

Materi yang diajarkan mulai dari proses kreatif hingga pembuatan properti film.

Terletak di Miramar Peninsula atau pusat pembuatan film di Wellington, tempat ini menjadi pusat dari proses kreatif dan pembuatan properti-properti film sejak 1987.

Lebih dari tiga dekade kemudian, lokakarya turut mengambil bagian dalam film-film Hollywood seperti Man of Steel (2013) dan Blade Runner 2049 (2017).

Properti-properti yang dirancang di antaranya palu, perisai, pedang, dan senjata.

Benda-benda yang diproduksi di sini bahkan sampai diekspor ke Inggris, Amerika Serikat, dan Afrika Selatan.

Federica Pieriste, sang pemandu menjelaskan segala tahapan produksi bermula dari departemen desain.

Fase ini tidak memungkinkan untuk dipercepat karena proses dialog antara sutradara dan kru film dilakukan bolak-balik.

Baca Juga: Sama-sama Berakhiran 'Wood', Inilah Industri Perfilman yang Terinspirasi dari Nama Hollywood, Sukseskah?

Armor sampai wajah palsu

Jika sudah disepakati gambarannya, segera dilakukanlah pemodelan tiga dimensi untuk menciptakan properti induk.

Pembuatan model memastikan keseluruhan detail telah sempurna.

Dalam proses ini dilibatkan computer numerical control (CNC) yang bekerja lebih cepat daripada cetakan tiga dimensi.

Ada pula properti jadi seperti pelindung kepala seorang petarung.

Properti itu terbuat dari silikon untuk bagian dalam dan fiberglass buat bagian luar yang berat.

Pencetakan, pengecoran, dan pengecatan dikerjakan kemudian.

Seluruh bagian dari silikon plus wajah palsu rupanya sangat tidak nyaman.

Untuk memastikan kostum bisa digunakan, kostum dipastikan muat dengan manekin terlebih dahulu.

Satu armor bisa terdiri atas 200 komponen berbeda.

Tidak boleh saling pinjam

Meskipun Weta Workshop mengerjakan juga film-film produksi lain, properti-propertinya tidak boleh saling bertukar pinjam.

“Karena hak cipta, (properti-properti) itu tidak pernah bisa digunakan (lagi),” ujar Federica.

Memang ada pengecualian seperti tengkorak dan tulang-belulang.

Seluruh kru pernah membuatnya dengan bentuk yang hampir mirip.

Baca Juga: Bak di Film Fiksi, Sipir di Penjara Ini Bantu Narapidana Gali Terowongan Rahasia untuk Meloloskan Diri

Tidak dari pendidikan formal

Menariknya, ternyata banyak pekerja di Weta Workshop tidak memiliki pelatihan maupun pendidikan formal di dunia perfilman.

Mereka kebanyakan belajar otodidak. Pengolahan ide juga dilakukan secara mandiri.

Contohnya Masayuki Ohashi, pengukir di Weta Workshop, yang mengatakan kalau ide yang disalurkannya dalam pembuatan film berasal dari pengalaman pribadi.

“Ide-ide muncul tiba-tiba,” kata Masayuki yang pernah terlibat dalam film Ghost in the Shell (2017).

“Itu terkait dengan apa yang telah saya lihat atau saya dengar sebelumnya.”

Para desainer di Weta Workshop boleh menuangkan ide mereka sendiri sampai taraf tertentu.

We employ total amateurs,” canda Federica soal kepanjangan Weta.

Meski “amatir”, akan tetapi bagi Federica, para seniman di sini memiliki talenta dan kemampuan untuk berkarya.

Efek khusus

Matt Hopkins merupakan sosok di balik pembuatan efek khusus dari film-film di Weta Workshop.

Dengan fokus utama di bidang pengecatan, ia telah mewarnai armor dan senjata untuk trilogi The Hobbit maupun peralatan prostetik untuk Ghost in the Shell.

Tahapan awal pembuatan film bermula ketika penciptanya datang dengan ide.

Matt pun harus mewujudkannya secara fisik.

“Dan tahap paling pertama dalam produksi (film) apa pun adalah desain,” kata Matt yang telah 6,5 tahun bergabung dengan Weta Workshop.

“Kamu harus mencari tahu itu akan terlihat seperti apa sebelum menjadikannya sesuatu yang nyata.”

Sebuah desain bisa saja disetujui dalam 2,5 jam atau bahkan sampai dua tahun.

Baca Juga: Kisah Kusni Kasdut, Seorang Pejuang yang Jadi Perampok, Akan Difilmkan

Karya yang detail

Menurut Matt yang membedakan Weta Workshop dengan lokakarya-lokakarya lain adalah karya mereka begitu detail.

Sang pendiri, Richard Taylor, memang bertekad untuk membuat setiap properti “a hero quality”.

Dalam industri film, ada istilah hero weapon atau senjata berkualitas tinggi untuk pengambilan gambar jarak dekat.

Senjata itu juga dibuat begitu baik, sekalipun hanya akan disorot kamera dari jarak seratus kaki (sekitar 30 m).

Menghindari plagiat

Dalam situasi itu, plagiarisme juga menjadi isu penting.

Matt bercerita, beberapa sutradara pernah meminta Weta Workshop untuk membuatkan robot-robot yang sepenuhnya mirip dengan Elysium (2013).

“Tapi kami tidak bisa meniru,” jelas Matt.

“Kami hanya menggunakannya sebagai inspirasi, tapi kami tidak pernah bisa melakukannya sama persis karena itu plagiarisme.”

Memang sih, tetap ada plagiarisme dalam dunia film, walaupun tidak terlalu mencolok.

Contoh, Matt sempat memergoki sebuah film dengan latar di luar angkasa dengan adanya makhluk-makhluk di akhir film.

Namun kalau diperhatikan benar, rias wajah para makhluk itu benar-benar mirip dengan orc, makhluk di The Lord of The Rings.

Mungkin karena perkara plagirisme itu pula, tur lokakarya bagi pengunjung umum kantor Weta Workshop tidak memperkenankan kita mengambil foto. (Randy Mulyanto)

Artikel ini telah tayang di rubrik Langlang Majalah Intisari dengan judul “Dunia Kreatif di Negeri Para Hobbit”

Baca Juga: Ed Sheeran Dituntut 260 Milyar Lebih karena Dituduh Melakukan Plagiat saat Membuat Lagu Photograph

Artikel Terkait