Penulis
Intisari-Online.com -Peternak ayam asal Jawa Tengah (Jateng) sedang mengalami kerugian sayang sangat besar sejak awal 2019.
Hal ini dipicu oleh harga jual ayam ras yang mengalami penurunan sangat drastis dari harga pokok penjualan (HPP).
Tak sedikit yang akhirnya memilih untuk mengklaim dirinya pailit, bahkan tak sedikit yang mengaku sampai menjual rumah dan mobil demi menutupi kerugian yang dialaminya.
Padahal, sebenarnya, sejak awal Januari, kondisi harga jual yang jeblok tersebut sudah diprediksi olehPerhimpunan Insan Perunggas Rakyat Indonesia (Pinsar).
"Kami sudah peringatkan kalau semester satu ini kemungkinan over supply, sayangnya tidak percaya," ungkap Parjuni, Ketua Pinsar Jawa Tengah, Senin (1/7).
Sejak januari tahun ini setidaknya ada 15%-20% produksi ayam ras yang menumpuk, hal ini kata Parjuni terus berlanjut hingga bulan-bulan berikutnya sampai over supply berada pada angka 30%-40%.
Peningkatan ini tak terlepas dari konsumsi yang tidak banyak berubah, namun persediaan ayam terus bertambah.
Untuk harga jual sendiri sempat jatuh hingga Rp 6000 per kilogram nya, dimana HPP per kilogram menyentuh level Rp 18.500.
Baca Juga: Cuci Ayam Mentah dengan Air Diklaim Berbahaya, Lalu Seperti Apa Cara Terbaik Mengolah Daging Ayam?
"Di bulan Juni tahun ini saja persentase kerugiannya bisa diatas 50% dibandingkan Juni tahun lalu," beber Parjuni.
Tak heran, sejak Maret kemarin beberapa usaha peternakan mandiri ada yang memilih istirahat atau benar-benar tutup.
Pada puncaknya tanggal 5 Maret kemarin, peternak lokal Jateng melakukan demonstrasi hingga akhirnya membagikan ayam secara cuma-cuma ke tengah masyarakat.
Hal itu menjadi bentuk protes, sekaligus membuka mata khalayak umum betapa murahnya harga ayam tersebut, dimana harga di tangan konsumen tak banyak berubah justru malah sampai naik hingga Rp 30.000 per kilogram nya.
Baca Juga: Jangan Lagi Cuci Daging Ayam Mentah Sebelum Masak, Bahayanya Sangat Fatal!
Parjuni mengakui bahwa rantai distribusi ayam cukup kompleks dan indirect ke tangan konsumen.
Peternak yang memiliki populasi ayam besar mengandalkan pedagang alias broker yang membeli langsung ke mereka.
Rantai broker ke pengecer pun melalui beberapa tangan, kata Parjuni, dengan harga beli Rp 9.000 per kilogram dan harusnya sudah untung jika menjual ke pengecer Rp 17.000 per kilogram nya, namun banyak pedagang yang tampaknya ingin ambil profit tinggi.
"Cuma konsumen terbiasa dengan harga ayam di level Rp 30 ribu, tak ada komplain, konsumen tidak protes dan menganggap hal itu biasa. Ini jadi masalah, karena ketidaktahuan harga di peternak seperti apa," jelas Parjuni.
Selain itu harga Day Old Chicken (DOC) alias bibit ayam juga tidak punya acuan.
Parjuni melihat tidak ada pengendalian yang tegas di bagian ini menyebabkan sewaktu-waktu harga gampang jatuh.
Sebelumnya pihak Pinsar dan asosiasi peternakan sempat mengusulkan harga acuan untuk DOC sejak tahun lalu ke Kementerian Perdagangan (Kemendag), namun sampai saat ini belum ada realisasinya.
(Agung Hidayat)
Artikel ini sudah tayang di Kontan.Co.Id dengan judul "Ini sebab harga ayam jatuh, rantai distribusi rumit & tidak ada harga acuan DOC".
Baca Juga: Beda dengan Ayam Kampung, Mengapa Daging Ayam Broiler Warnanya Pucat?