Penulis
Intisari-Online.com - Data Badan Pust Statistik per Februari 2017 menunjukkan jumlah petani Indonesia tinggal 36 juta orang. Turun 1,2 juta sejak Februari 2014.
Berdasarkan data sejak tahun 2010 sampai 2017 memang terus terjadi penurunan sebesar 1,1% per tahun. Namun, menurut Rektor IPB, Arif Satria, penurunan jumlah petani sesuatu yang biasa. Yang menjadi persoalan adalah jika petani yang ada tidak produktif.
Di era ketika generasi langgas (milenial) mulai masuk ke generasi produktif, ada kekhawatiran sektor pertanian tak menarik minat generasi langgas. Terbatasnya lahan, penghasilan kecil, susah mencari modal menjadi beberapa alasan generasi langgas emoh menekuni pertanian.
“Karena itu, pemerintah perlu bekerja keras. Harus menanamkan mindset bahwa bekerja di sektor pertanian lebih besar penghasilannya bila dibandingkan bekerja di perusahaan,” kata Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, Agung Hendradi di Pontianak beberapa waktu silam.
Toh, ada juga beberapa generasi langgas yang menekuni dunia pertanian. Salah satunya Jovian Agustinus (32), pengusaha muda di bidang agribisnis dari Bandung.
Bermula dari bisnis pupuk cair organik saat masih kuliah di ITB, kini ia menjadi pemasok sayuran di Bandung ke beberapa pasar tradisional dan modern. Sebulan, ia bisa menghasilkan sayur yang kebanyakan berupa sayur daun sekitar tiga ton.
Awalnya dari pupuk
Menurut Jovian, prospek dunia pertanian sangat menjanjikan. Karenanya ia mendorong generasi langgas untuk tidak ragu terjun di bidang agrobisnis. ”Permintaan akan bahan pangan sangat besar,” katanya saat Intisari bertemu di kedai kopi waralaba di seputaran Harmoni Jakarta Pusat.
Hanya saja, ia menegaskan untuk total terjun di bidang itu. Jangan dijadikan sebagai sambilan. Jovian bercerita tentang rekan bisnisnya yang mampu menghasilkan rata-rata 30 ton per bulan untuk memasok supermarket. Terlihat banyak kan? Padahal itu baru memenuhi 60% kebutuhan!
Jovian menemukan passion-nya di dunia pertanian justru setelah duduk di bangku Sekolah Farmasi ITB tingkat akhir (2016). Saat itu ia suka jalan-jalan ke wilayah pinggiran Bandung. Ia melihat potensi besar di pangan. Dari buku-buku yang ia baca, Jovian pun jadi tahu soal krisis pangan yang sudah muncul di awal 2010.
“Kemudian ada teman yang sudah masuk di bidang ini.Ia memproduksi pupuk organik yang dipasarkan ke petani-petani di Lembang. Saya bergabung untuk mengembangkan pupuk organik tadi. Saya di bagian pemasaran, teman saya tetap di bagian formulasi dan produksi,” tutur Jovian.
Bisnis pupuk hanya bertahan sekitar dua tahun karena ternyata tak bsia bersaing dengan pemain-pemain besar. Padahal sempat berkembang dengan memasok secara rutin ke petani-petani kentang di Garut, Jawa Barat.
Memang, perusahaan besar belum banyak yang main di pupuk organik. Baru ada beberapa seperti Petrokimia Gresik yang membuat pupuk organik dari kotoran sapi.
“Persoalannya, varian pupuk kimia di pasar itu kan banyak. Dan kalau mereka bikin acara promo ke petani enggak tanggung-tanggung. Dananya besar. Sementara kami hanya bisa mengumpulkan beberapa petani dan bagi-bagi doorprize semampunya.Jadi ya akhirnya kalah juga,” kata Jovian.
Jovian dan temannya kemudian beralih menanam tanaman sayuran. Mereka sewa lahan di Lembang seluas kurang lebih 2.000 m2. Tentu saja menggunakan pupuk yang sebelumnya mereka jual. Dua jenis tanaman, brokoli dan terung jepang, menjadi awal mereka terjun ke budi daya sayur.
Mengapa memilih dua jenis sayuran itu? “Brokoli karena daerah situ sudah dikenal sebagai pemasok brokoli. Sementara terung jepang, ada pembeli pupuk kami yang punya pasar terung jepang,” kata Jovian sambil menambahkan mereka masih menjual pupuk namun hanya ke pelanggan saja.
Jovian memilih sistem hidroponik yang ramah lingkungan. Budidaya tanaman dengan air sebagai media tanam. Sistem ini menekankan pada pemenuhan kebutuhan nutrisi (unsur hara) tanaman. Pestisida dihindari. Dengan cara ini, pertumbuhan tanaman relatif lebih cepat dengan hasil yang lebih bagus.
Di lahan yang kemudian menjadi mitranya itu Jovian fokus pada sayuran daun dan tomat. “Sayuran daun seperti caisim, pakcoy, kangkung, bayam.Ada juga jenis selada.Yang banyak permintaan sayur kale. Katanya ini makanan sehat.” Kale ini menjadi primadona di kebun Jovian. Dari total produksi bulanan tadi, 70% didominasi kale.
Baca Juga : Banyak Milenial Indonesia Terkena Hipertensi, Apakah Sebabnya?
Kendala di pemasaran
Dari pengalaman selama ini, Jovian memetakan dua kendala yang dihadapinya. Produksi dan pemasaran.
Dalam permasalahan produksi, Jovian mencermati perubahan cuaca. Misal penyakit tanaman yang dulu tidak ada. Selada contohnya, pada usia 2 minggu terkena penyakit akibat suhu yang terlalu tinggi.
“Penanaman hidroponik memang butuh air. Nah, di suhu tinggi ini ada jamur yang tumbuh.Padahal, menurut penuturan beberapa petani, dulu sepanas-panasnya udara, enggak ada tuh jamur kayak gitu.”
Masalah akibat perubahan cuaca itu bisa merembet ke penanggulangan hama yang makin sulit. Ujung-ujungnya, biaya produksi membengkak.
Di sisi pemasaran, Jovian juga melihat dua permasalahan. Pertama, biaya distribusi masih tinggi. Kedua, fluktuasi harga sayur. Kalau ikut harga pasar dan dijual ke pasar tradisional menurut dia kurang menguntungkan. Jovian merasakannya ketika menanam brokoli dan menjualnya ke pengepul.
Akhirnya solusinya jual ke pasar modern (supermarket). “Masalahnya, di sini kita tidak bisa menyuplai hanya satu jenis. Jadi waktu itu kami ikut pengepul juga. Cuma kali ini ke pengepul yang memasok ke supermarket,” kata Jovian.
Keuntungan memasarkan lewat supermarket, harga tidak terlalu fluktuatif. Ikut fluktuasi harga pasar juga tapi ketika anjlok tidak terlalu banyak. Begitu juga ketika naik.
Biasanya supermarket terikat kontrak per bulan. Misal bulan ini kontrak cabe harga 40ribu/kg. Kalau harga pasar naik, selisih harga dari harga kontrak (yang berarti keuntungan – Red.) dibagi kedua belah pihak. Begitu juga ketika harga pasar turun. Kerugian ditanggung berdua.
“Mereka lebih mementingkan kontinuitas.Asumsinya, kalau harga kontinu, suplai juga gitu,” terang Jovian. Hanya saja, pembayaran dari supermarket biasanya mundur beberapa bulan. Kalau modal awalnya cupet, bisa repot juga.
Dari semula sewa lahan di Lembang kemudian jadi mitra, bisnis Jovian kian berkembang. Ia mendapat mitra di kawasan Bogor, Jawa Barat, hingga total lahan yang dikelolanya 1 hektare.
Jovian juga bermitra dengan 10 petani di sekitar kebun, terutama untuk memenuhi permintaan untuk jenis sayuran yang belum diproduksi, termasuk buah-buahan. “Kami beri pendampingan dan penyuluhan terlebih dulu, sebab supermarket menuntut kualitas tinggi juga kemasan yang baik,” tuturnya.
Seluruh produk petani mitra dipasarkan langsung ke supermarket. Cara ini memperpendek rantai distribusi sehingga harga jual di petani bisa lebih tinggi. Keuntungan dan kesejahteraan petani pun terdongkrak.
Belakangan Jovian juga merambah daring (online), antara lain lewat Facebook dan Instagram. Label produk mereka GreGonic.id dengan slogan ”Good Product, Good Process, and Good Service”. ”Penjualan secara daring juga memotong jalur distribusi sehingga keuntungan lebih besar,” ujarnya.
Tahun 2016, luas lahan yang dikelola bertambah sekitar 5 hektare di kawasan Ciwidey, Kabupaten Bandung. Sayur-mayur produksi Jovian dan mitranya selalu terserap pasar. Sayuran yang kualitasnya tidak memenuhi standar pasar swalayan dijual ke pasar tradisional. Namun, jumlahnya tak sampai 10% dari total produksi.
Baca Juga : Kisah Belle Gunness, Gadis Petani yang Menjelma Jadi Psikopat Pembunuh Pria-pria Kesepian Demi Harta Warisan
Mengangkat citra pisang lokal
Selain menanam sayur-mayur, Jovian dan temannya kini sedang mengembangkan penanaman pisang. Ini memang cita-citanya sudah sejak pertama terjun ke bisnis agri. Selain karena secara pribadi ia menyukainya, pisang menurutnya juga tanaman komoditas asli Indonesia.
Dari data di tangan Jovian, dari 300 varietas pisang di Indonesia, baru sekitar 20 yang dibudidayakan. “Yang booming sekarang itu cavendish. Ini bibit dari kita, dikembangkan di luar, lalu dijual kembali ke kita,” katanya.
Pisang juga cocok dikembangkan karena bisa ditanam di mana pun, bernilai tinggi, bukan barang murah. Produk turunan juga banyak. Ada tepung pisang. Bisa dibikin cemilan. Kandungan karbohidrat juga tinggi, sehingga jika dikaitkan dengan ketahanan pangan pisang bisa menjadi salah satu alternatif pengganti nasi.
Yang jadi masalah, budidaya pisang di Indonesia umumnya masih tradisional. Artinya, masih mengandalkan anakan pisang untuk regenerasi pohon.“Padahal kalau sudah tiga kali anakan, kualitas dan kuantitas buahnya sudah menurun. Mereka (para petani tradisional – Red.) berpikir asal enggak mati ya tanam terus,” kata Jovian.
Pisang ditanam di daerah Sukabumi, Jawa Barat. Tidak jauh dari Geopark Ciletuh. Wilayah itu sendiri selama ini dikenal sebagai sentra pisang juga.Di Sukabumi ia merencanakan membuat semacam desa binaan khusus pisang. Bibitnya dari kultur jaringan sehingga tahan penyakit. Kualitas juga terjaga.
Pembinaan dilakukan mulai dari prapanen sampai pascapanen. Yang jadi masalah biasanya saat pascapanen. Saat dipetik bagus, tapi handling dan proses seterusnya bikin kualitas pisang kurang bagus. Sunpride bisa bagus karena penanganan pascapanen bagus,” kta Jovian.
Jenis pisang yang sudah dikembangkan ada tiga jenis.Yakni pisang tanduk, rajabuluh, dan ambon. “Kami mencoba mengangkat pisang lokal. Kami juga berencana mengembangkan jenis barangan dan emas. Fokus di lima jenis itu dulu,” tutur Jovian sambil bercerita bahwa di ITB ternyata sudah ada pusat riset khusus pisang, Banana Center, bekerja sama dengan Universitas Udayana, Bali.
Melihat hasil yang diperoleh dan rencana ke depan Jovian, siapa bilang pertanian tak bisa diandalkan secara materi?