Find Us On Social Media :

Kisah Cinta Pak Harto dan Bu Tien, Saling Mencintai Tanpa Hiruk pikuk

By Intisari Online, Kamis, 28 Februari 2019 | 11:30 WIB

Intisari-online.com - Indonesia semasa zaman Perang Kemerdekaan.

Pemuda Soeharto menjadi tentara dan pemudi Siti Hartinah aktif di Laskar Wanita (Laswi) dan Palang Merah Indonesia.

Namun jangan pernah membayangkan mereka bertemu di medan juang.

Si tentara terluka dan sang wanita PMI membalut lukanya dengan selendang laiknya film-film romantis.

Baca Juga : Malangnya Nasib Pasangan Lansia Ini, Tak Bisa Berjalan dan Hanya Tidur Beralaskan Tanah

Kisah cinta Soeharto, presiden kedua republik ini jauh dari itu semua. Toh tak berarti romansa mereka biasa-biasa saja.

Mereka saling mencintai tanpa hiruk pikuk. Cinta yang mewujud dalam setiap laku dan napas.

Hingga akhir hayat, hanya ada satu nama wanita di hati Soeharto, juga hanya ada satu nama pria di hati Tien, sapaan Siti Hartinah.

“Kami, istri saya dan saya, memang sama-sama setia, saling mencintai, penuh pengertian, dan saling memercayai” -  Soeharto.

MEMORI BANGKU SEKOLAH

Soeharto dan Hartinah sudah saling kenal sejak kanak-kanak.

Keduanya sama-sama bersekolah di satu SMP, di Wonogiri, Jawa Tengah.

Di sana, Hartinah merupakan adik kelas Soeharto. Kebetulan dia satu kelas dengan Sulardi, sepupu Soeharto.

Soeharto sendiri diceritakan tak pernah menunjukkan tanda-tdanda naksir kepada Hartinah.

Justru Hartinah yang sempat berkelakar kepada Sulardi bahwa suati saat nanti dirinya akan menjadi kakak ipar Sulardi.

Selepas sekolah, keduanya berpisah. Soeharto melanjutkan ke PETA dan terjun ke dunia ketentaraan. Sementara Hartinah  aktif di Laswi dan PMI.

KETIKA NYALI SOEHARTO CIUT

Yogyakarta,  1947.

Suatu hari, Soeharto yang sudah menginjak 27 tahun, bertandang ke kediaman keluarga Prawirowiardjo yang lama mengasuhnya.

Keluarga bibi dan pamannya itu belum lama pindah ke Yogyakarta dari Wuryantoro, Wonogiri.

"Harto," kata Bu Prawiro, adik Pak Karto, ayahanda Soeharto.

"Sekarang umurmu sudah 27 tahun," lanjutnya.

"Sekalipun engkau bukan anakku sendiri, aku sudah mengasuhmu sejak ayahmu mempercayakan engkau pada kami.  Aku pikir, sebaiknya segera mencarikan istri untukmu."

Baca Juga : Tragis, Tentara Temukan 50 Kepala Budak Seks ISIS di Tong Sampah

O.G. Roeder dalam Soeharto--Dari Pradjurit Sampai Presiden, buku  biografi pertama presiden kedua RI, mengisahkan, bahwa Soeharto sempat ngeles menyikapi tawaran bibinya.

Dia beralasan masih ingin berkonsentrasi di dunia militer. Tapi setelah dibujuk terus menerus, akhirnya Soeharto luruh juga.

Dia pun berkata, siapa kiranya yang akan dijodohkan dengan dirinya.

Bu Prawiro tersenyum. Dia berkata pelan bahwa Soeharto sebenarnya sudah kenal dengan gadis tersebut.

“Masih ingatkah kamu dengan Siti Hartinah,” kata Bu Prawiro eperti dikisahkan di buku Falsafah Cinta Sejati Ibu Tien dan Pak Harto.

Soeharto mana mungkin lupa. Adik kelas manis yang suka mengolok-olok sepupunya sebagai adik ipar.

Mendadak nyali Soeharto menciut. Hartinah adalah keluarga ningrat. Putri RM Soemoharjomo dan Raden Ayu Hatmati Hatmohoedojo, wedana dari Kraton Mangkunegaran, Surakarta. Mana mungkin pria dari kelas bawah macam dirinya, bisa bersanding dengan putri  ningrat. Begitu pikir Soeharto.

"Tapi bu, apakah orangtuanya akan setuju? Saya orang kampung biasa. Dia orang ningrat…"

Bu Prawiro meyakinkan bahwa dirinya cukup dekat dengan keluarga Soemoharjomo. Selain itu, “Keadaan sudah berubah,” terang Bu Prawiro.

Hartinah sendiri dikabarkan sempat membuat pusing keluarganya. Sebab berkali-kali dia menolak lamaran banyak pria yang meminangnya.

CINTA DATANG KARENA TERBIASA

Tak lama setelah pertemuan itu, Soeharto dan keluarga bibinya berkunjung ke rumah Soemoharjomo di Solo, dipertemukan untuk pertama kalinya dengan Hartinh, calon istrinya.

Dalam pertemuan yang dalam adat Jawa disebut “nontoni” itu pun Soeharto masih belum percaya diri, “apakah dia akan benar-benar suka kepada saya?” Soeharto membatin.

Kenyataannya, keluarga Soemoharjomo menerima pinangan Soeharto.

Pernikahan dilakukan pada 26 Desember 1947.

Resepsinya sangat sederhana. Pada malam hari hanya bercahayakan temaram lilin. Tak dihadiri banyak tamu. Saat itu Soeharto berumur 26 tahun dan Hartinah 24 tahun.

Baca Juga : Benarkah Gigi Bungsu Tidak Memiliki Fungsi dan Hanya Sebabkan Rasa Sakit?