Penulis
Intisari-Online.com – Orang-orang yang tertimpa malapetaka cenderung untuk menyalahkan dirinya sendiri. Pada suatu hari saya pergi ke dua tempat kematian.
Di rumah yang satu, putra almarhumah berkata, "Kalau saja saya mengirim Ibu ke Florida, ia terhindar dari kedinginan di sini. Ia pasti masih hidup sekarang. Ya, saya salah."
Di rumah yang lain, orang yang meninggal seorang wanita juga dan putranya berkata kepada saya begini, "Kalau saja saya tidak menyuruh Ibu berlibur ke Florida, ia masih hidup sekarang. Perubahan suhu dan perjalanan yang jauh dengan pesawat terlalu berat buat dia."
Anehnya, kita yang melayat atau yang datangpada orang-orang yang sedang mengalami kesusahan sering menganggap orang yang malang itu memang pantas menerima bencana.
Sebagai orang yang tidak berada dalam posisi si malang, sebetulnya sangat tidak menolong kalau kita meminta agar orang yang kena musibah itu untuk tidak menangis atau tidak mengeluh.
Mereka memerlukan orang yang memperbolehkan mereka untuk marah, menangis, berteriak, bukan orang yang menganjurkan, "Sudah, sudah, jangan menangis. Nanti anak-anak ikut sedih."
Atau yang mengecilkan penderitaan dengan berkata, "Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Tuhan tentunya mencintai kamu, maka kamu dipilihnya untuk memikul beban ini."
Atau, "Ia sudah senang di sana sekarang." Bukan itu yang mereka butuhkan.
Baca Juga : Berkah di Balik Musibah, Kebakaran Hutan di Irlandia Ungkap Pesan Perang Dunia II yang Tersembunyi
Jadi apa yang bisa kita lakukan untuk berbagi penderitaan dengan mereka? Kita bisa datang untuk mendengarkan mereka mengeluarkan isi hatinya sambil menahan diri untuk tidak memberi nasibat.
Paling-paling kita bilang, "Ya, memang menyakitkan."
Saya pernah mendengar seorang wanita berkata kepada keponakannya, "Ya, Barry. Jangan sedih. Ibumu dipanggil Tuhan karena la lebih membutuhkannya daripada kamu."
Barry jadi berpikir, "Mengapa Tuhan tega mengambil ibu yang kubutuhkan? Apakah Tuhan menghukumku?"
Baca Juga : Warga yang Terkena Banjir Mendadak Kaya Ini Mengajarkan Kita bahwa Selalu Ada Hikmah di Balik Musibah
Mengapa tidak kita katakan saja yang sebenarnya kepada Barry bahwa ibunya meninggal karena leukemia? Kita bisa mengatakan bahwa kita tahu Barry terpukul dan marah, tetapi itu bukan hukuman dari Tuhan.
Kadang-kadang untuk menyalurkan kemarahan kita mencari kambing hitam: istri, suami (umpamanya saja dikatakan sebagai pembawa gen yang menyebabkan anak mereka menjadi cacat), anak, boss.
Kalau tidak ada yang bisa dijadikan kambing hitam, kita merusak diri sendiri dengan depresi, bercerai, berhenti bekerja, tidur sampai tengah hari, membiarkan penampilan acak-acakan, menghindari teman-teman.
Atau kita marah kepada Tuhan, bukan kepada situasi.
Rasa iri kepada orang lain yang lebih beruntung pun sulit dihindari, walaupun kita tahu bahwa iri hati hanya akan merusak diri sendiri.
Obat anti iri hati mungkin keinsafan bahwa orang yang kita cemburui mempunyai kekurangan dan kesusahan sendiri. Mungkin mereka juga iri kepada kita. (Intisari November 1986)
Baca Juga : (Foto) 8 Musibah Dalam Pesta Pernikahan Ini Mungkin Bakal Jadi Kenangan Terindah, Nomor 7 Lucu Banget