Penulis
Intisari-Online.com – Perlu langkah bijak dalam menjaga si buah hati melewati fase emasnya. Paparan informasi yang kini mengalir bak air bah bisa mengantar anak ke pelimbahan.
Simak tulisan Rusman Nurjaman, Hati-hati Besarkan Buah Hati dengan TV, seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Mei 2013.
“It takes a village to raise a child”. Begitulah amsal yang hidup di masyarakat Nigeria dan dipopulerkan kembali oleh mantan Ibu Negara Amerika Serikat, Hillary Clinton. Maknanya, pengasuhan anak adalah upaya komunal.
Berbagai literatur psikologi anak, di antaranya A To Z The Golden Age (MT. Indiarti, 2007), menyebut usia 0-5 tahun sebagai masa pertumbuhan yang paling penting. Pada fase ini anak-anak dapat menangkap segala macam informasi dengan cepat.
Baca Juga : Kurangi Aktivitas Menonton TV Jika Anda Peduli dengan Kesuburan
Meski belum tentu mengerti dengan segala yang didengar dan dilihatnya, seperti spons, mereka menyerap informasi dan selanjutnya menerjemahkannya melalui perilaku dan sikap.
Anna Surti Ariani, psikolog anak dan keluarga dari Klinik Terpadu Universitas Indonesia, mengatakan perilaku meniru menunjukkan bahwa anak menangkap informasi yang diserapnya. Inilah yang seharusnya menjadi perhatian serius para orangtua.
Di luar orangtua, lingkungan sekolah, teman bermain, dan media menentukan arah perkembangan karakter anak.
Pengaruhnya sangat tergantung pada sejauh mana tingkat interaksi anak dengan ketiga faktor tersebut. Jadi memang benar, anak dibesarkan oleh upaya “sekampung”.
Baca Juga : Inilah 8 Alasan Mengapa Membaca Lebih Baik Ketimbang Menonton TV
Belakangan ini peran media patut dicermati lebih jauh. Semula media tidak dikategorikan sebagai entitas terdekat anak. Tapi kini media, terutama TV dan gadget, memainkan peran penting karena intensitas penggunaannya kian meluas.
Di bawah dua tahun dilarang keras!
Mengacu pada perkembangan psikomotorik anak, TV dan gadget sebenarnya hanya boleh digunakan oleh anak di atas dua tahun.
Pasalnya, di bawah dua tahun, anak masih harus belajar meningkatkan kemampuan motorik dasarnya. Berjalan, berlari, naik tangga, berguling, merangkak, menangkap bola, dan lain-lain.
Baca Juga : Menonton TV, Salah Satu Kebiasaan yang Bikin Seseorang Sulit untuk Kaya
“Secara alamiah, anak seusia itu dituntut aktif karena ia harus menguasai kemampuan motorik dasarnya,” tutur psikolog yang kerap disapa Nina ini. “Bayangkan jika ia hanya duduk menonton tv atau bermain gadget. Pertumbuhannya akan terhambat.”
Sementara itu, balita usia 2-5 tahun boleh menonton tayangan televisi asalkan durasinya dibatasi, yaitu cukup 4x15 menit. Jadi, dalam sehari si kecil hanya boleh nonton televisi satu jam. Setelah selang 15 menit menonton, anak harus dibiarkan kembali bermain.
Sedangkan untuk anak di atas enam tahun, waktu menonton bisa lebih lama lagi, yaitu dua jam sehari. Dengan durasi yang relatif singkat ini, orangtua masih bisa membatasi atau mengontrol dampak dari muatan tayangan televisi.
“Sebenarnya, pada usia di atas dua tahun pun dampak negatif paparan televisi terhadap anak itu tetap ada. Tapi, masih bisa diminimalisasi,” jelas Nina.
Baca Juga : 9 Alasan Kenapa Menonton TV Tidak Baik untuk Kesehatan (1): Bikin Gemuk dan Mengganggu Reproduksi
Penelitian Kaiser Family Foundation (2010) mengenai dampak media terhadap anak menunjukkan efektivitas pembatasan ini.
Anak-anak yang orangtuanya berusaha untuk mengekang penggunaan media, biasanya lebih terhindar dari paparan buruk.
Jika tidak ditempuh upaya-upaya antisipatif, bakal berdampak negatif terhadap perkembangan karakter anak. Nina mengemukakan, setidaknya ada tiga efek negatif kalau anak dibiarkan terus-menerus menyerap informasi dari tayangan di televisi.
Pertama, perkembangan dan pertumbuhan fisiknya kurang terstimulasi. Sebab, koordinasi unsur-unsur sensorik-motoriknya berjalan kurang optimal. Akibatnya, menjelang masuk SD ia akan mengalami kesulitan belajar.
Baca Juga : 9 Alasan Kenapa Menonton TV Tidak Baik untuk Kesehatan (1): Bikin Gemuk dan Mengganggu Reproduksi
Kedua, terganggunya perkembangan kecerdasan anak. Ketika tontonannya penuh dengan adegan-adegan agresif, anak akan menjadikannya sebagai referensi dalam berperilaku.
Namun, hal ini juga tergantung dengan pilihan tontonannya. Jika tayangan yang ditonton anak memiliki jalan cerita dan pesan yang bagus, efeknya justru akan merangsang perkembangan otak anak.
Ketiga, pengaruh terhadap sisi sosial dan emosi anak. Anak akan cenderung lemas dan malas berjuang. Kurang tangguh.Tontonan yang bersifat horor, agresif, dan porno membuat pelepasan emosi anak saat marah cenderung tak terkendali.
Spongebob tak cocok
Baca Juga : Studi: Anak yang Menonton TV Berjam-jam Kemungkinan Mengalami Bully
Anak-anak memang cenderung menirukan apa yang dilihatnya. Padahal dimensi kognitif anak di bawah tujuh tahun belum bisa membedakan antara fakta dan fiksi. Di sinilah bahayanya.
Sebab, apabila tontonannya memuat banyak adegan agresif, anak bisa tumbuh dengan toleransi yang tinggi terhadap kekerasan. Sebaliknya, empatinya terhadap korban kekerasan berkurang.
Biasanya anak gemar menonton film kartun. Meski begitu, tontonan tersebut belum tentu aman bagi perkembangan anak. Contoh, film kartun seperti Spongebob, Naruto, dan Tom and Jerry yang banyak disukai anak. Karakter binatang atau gambaran penokohan yang lucu memang cukup menarik perhatian si kecil. Penayangannya pun di jam tayang anak-anak.
Namun dari sisi konten, jelas tayangan itu untuk orang dewasa karena memuat adegan kekerasan dan jalan cerita yang belum bisa dinalar oleh anak-anak. Karenanya, orang tua harus mengawasi. “Film kartun tak selalu cocok buat anak-anak,” kata Nina.
Baca Juga : Anak yang Sering Menonton TV Lebih Rentan Terkena Bullying
Orangtua juga harus belajar
Alissa Wahid, psikolog anak dan keluarga, mengingatkan agar orangtua segera mawas diri. Orangtua yang baik harus mampu mengendalikan aktivitas keseharian anak. Sejak dini mereka mesti menyiapkan langkah antisipatif untuk si buah hati. Bukan justu bertindak reaktif ketika hal buruk sudah telanjur menimpa anak.
Jika anak mengucapkan kata-kata tidak pantas yang ditirunya dari lingkungan, orangtua wajib memperjelas konteks pemakaian kata tersebut. Niat yang melatari pengucapannya pun diperjelas agar tidak terjadi kekeliruan persepsi.
Selain itu, ada teknik “aksi-konsekuensi”. Artinya, setiap kali anak mengucapkannya, ada konsekuensi yang terkait dengan kejadiannya langsung. Contoh, anak menirukan adegan agresif dari sebuah tayangan sinetron. Maka, konsekuensinya, dia tidak boleh menonton lagi tayangan bersangkutan dalam jangka waktu tertentu.
Cara lainnya bisa ditempuh dengan mengurangi privilege yang didapat anak. Misal, tidak dibelikan mainan. Tentu saja langkah-langkah seperti ini harus mempunyai alasan dan konsekuensi yang jelas.
Misalnya: mainan rusak atau hilang karena keteledorannya. “Jadi harus ada semacam rules-nya,” terang putri sulung mendiang Gus Dur ini.
Kuncinya, orangtua juga harus belajar dan mau berjuang untuk menjadi orangtua yang baik bagi anak-anaknya.
Baca Juga : Tak Hanya Ponsel, Xiaomi Juga Usung TV Cerdas, Harganya Murah Meriah Fiturnya Lengkap!