Penulis
Banyak dipercaya, untuk mencegah penyakit jantung koroner, seseorang perlu memperhatikan kondisi kolesterol darah di dalam tubuh. Kita kemudian mengenal apa yang disebut kolesterol "baik" dan kolesterol "jahat".
Kolesterol "baik" dalam bentuk high density lipoprotein (HDL) dipercaya mampu menetralkan lawannya, kolesterol "jahat" yang berupa low density lipoprotein (LDL). LDL berasal dari otot jantung dan dikenal sebagai pembawa risiko penyakit jantung koroner.
Upaya pencegahan penyakit jantung koroner pun mengindahkan hukum baik-buruk tadi. Misalnya, seseorang dianjurkan tidak meminum obat tertentu yang secara langsung dapat menurunkan kadar kolesterol. Sebab, lipoprotein dalam darah yang selama ini disebut masyarakat sebagai kolesterol sebenarnya kolesterol total, gabungan kolesterol "jahat", kolesterol "baik", dan kolesterol-kolesterol lainnya.
Sementara, risiko penyakit jantung koroner tidak hanya disebabkan tingginya kadar kolesterol total, tapi juga rasio kolesterol total dibandingkan dengan kadar kolesterol "baik". Jika jumlah kolesterol "baik" terlampau kecil, risiko datangnya penyakit jantung koroner menjadi lebih tinggi.
Jika kita main hantam kromo dengan menelan obat-obatan penurun kadar kolesterol, dikhawatirkan ada kolesterol "baik" ikut jadi korban. Padahal mereka dibutuhkan untuk mengurangi risiko penyakit jantung koroner.
Para peneliti juga pernah melakukan pengujian biokimia perihal dua molekul "baik" dan "jahat" itu. Hasilnya, mereka memang menemukan adanya "cara kerja" yang berseberangan. Meski kedua molekul sama-sama bekerja mengangkut kolesterol, arah yang mereka tuju ternyata berlawanan. "Si jahat" membawa kolesterol menuju pembuluh darah koroner, berbaur, dan tumbuh menjadi kepingan yang berpotensi memicu sakit jantung koroner.
Sebaliknya, "si baik" mengangkut kolesterol keluar dari pembuluh darah, mengangkatnya menuju hati, kemudian membuangnya seperti kita membuang sampah. Kabarnya, satu molekul baik HDL sanggup menumbangkan satu molekul jahat LDL. Tapi itu cerita masa lalu. Sekali lagi, masa lalu.
Dr. Daniel Rader yang melakukan penelitian paling akhir ternyata mulai meragukan peran penting kolesterol "baik" itu. "Masalahnya tak sesederhana itu," kata peneliti kolesterol di Universitas Pennsylvania, AS ini. "Benar, HDL tinggi memang menguntungkan, tapi tidak membuatnya mutlak melindungi dan membuat tubuh kebal terhadap penyakit jantung koroner," jelasnya.
Rader memberi contoh sejumlah pasiennya. "Mereka punya HDL tinggi, tapi tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Ujung-ujungnya, mereka juta terserang penyakit jantung," imbuh Rader, seraya menambahkan, "Makanya saya benar-benar tidak habis mengerti, jika pengobatan untuk menurunkan tingginya jumlah LDL, ditundah hanya karena HDL-nya tinggi juga."
Untuk menyembuhkan pasien jantung koronernya, Rader kini mulai mengesampingkan peran sang kolesterol "baik". Dia betul-betul berkonsentrasi pada upaya mengusir kolesterol buruk. Soalnya, menghilangkan kolesterol "jahat" butuh usaha yang jauh lebih besar ketimbang memperbanyak kolesterol "baik. Kolesterol "jahat" hanya bisa dikurangi lewat upaya medis.
Sedangkan kolesterol "baik" bisa ditingkatkan dengan pola hidup sehat, tidak merokok, berolahraga teratur, menjaga berat badan dan pola makan, serta mengonsumsi vitamin dalam buah dan sayur yang kaya antioksidan. Tingkat HDL rata-rata untuk pria biasanya 40 - 50 mg/dl, sedangkan wanita 50 - 60 mg/dl.
Di Amerika Serikat, jika kolesterol "buruk" seseorang masih sekitar atau mendekati 100 mg/dl, masih dibilang aman. Tapi jika mencapai 100 - 129 mg/dl, sudah masuk kategori di atas angka optimal.
Terakhir, kalau peningkatannya jauh lebih pesat, sampai di atas 130 mg/dl, sebaiknya berhati-hati, karena sudah kelewat tinggi. Apalagi jika kadar kolesterol "baik"-nya juga lebih kecil. Atau, jumlah sama, tapi seperti disitir Rader, cuma bisa "menonton"dari kejauhan. Segera datangi dokter!
(Sumber: Intisari)