Find Us On Social Media :

Kisah di Balik Tangan yang Berdoa

By Ade Sulaeman, Kamis, 15 Maret 2018 | 21:00 WIB

Intisari-Online.com – Kembali ke abad kelima belas yang silam. Di sebuah desa kecil dekat Nuremberg, tinggallah sebuah keluarga dengan delapan belas anak-anak. Delapan belas!

Agar tetap tersedia makanan di atas meja untuk mereka, ayah dan kepala rumah tangga, yang berprofesi sebagai tukang emas, bekerja hampir delapan belas jam sehari di pasar emas dan bekerja di tetangganya.

Meskipun kondisi yang jauh dari harapan tersebut, dua dari anak tertuanya bermimpi. Mereka berdua ingin mengejar bakat mereka dalam bidang seni.

Tetapi mereka tahu bahwa ayah mereka tidak akan pernah mampu secara finansial untuk mengirim salah satu dari mereka untuk belajar di sekolah.

(Baca juga: Benarkah Emoji Ini Bukan Berarti Berdoa? Lalu Apa Arti Sebenarnya dari Emoji Ini?)

Setelah diskusi panjang di malam hari di tempat tidur yang penuh sesak, kedua anak laki-laki itu akhirnya saling bersepakat.

Mereka akan melemparkan sebuah koin. Yang kalah akan bekerja di pertambangan dekat situ, untuk mendukung biaya saudaranya belajar di sekolah.

Ketika saudaranya yang memenangkan lemparan menyelesaikan belajarnya selama empat tahun, ia akan membantu saudara lainnya bersekolah, baik dengan penjualan karya seninya, atau jika perlu, bekerja di pertambangan.

Mereka melempar koin setiap hari Minggu pagi. Albrecht Durer memenangkan lemparan koin dan pergi ke Nuremberg. Sementara saudaranya, Albert, pergi ke pertambangan yang berbahaya.

Selama empat tahun ke depan, ia membiayai saudaranya, yang bersekolah. Lukisan Albrecht, hasilnya bahkan lebih baik daripada sebagian besar maha gurunya.

Dan pada saat ia lulus, ia mulai mendapatkan biaya yang cukup besar atas penjualan karya-karya lukisnya.

Ketika seniman muda itu kembali ke desanya, keluarga Durer mengadakan pesta makan malam di halaman rumah mereka untuk merayakan kembali ke rumah Albrecht.