Penulis
Intisari-Online.com – Tekanan darah (TD) yang terukur di tempat praktik dokter atau klinik, belum tentu TD sebenarnya. Bisa jadi, TD itu tergolong hipertensi, yakni di atas 140/90 mmHg, tetapi ketika diukur di rumah atau di lingkungan Anda sehari-hari ternyata normal (normotensi).
Fenomena seperti ini di kalangan medis disebut white coat hypertension (hipertensi jas putih). Disebut demikian karena dokter berjas putih itulah pencetus tekanan darah jadi tinggi. Pasien yang mengalami hipertensi jenis ini sedikitnya 20% dari pasien yang didiagnosis.
Pada seseorang yang memang menderita hipertensi, pengaruh jas putih dapat menjadikan dia didiagnosis hipertensi resisten, karena telah diberi tiga macam atau lebih obat antihipertensi, TD-nya tetap tidak mau turun.
Padahal, sebenarnya TD tersebut telah terkontrol bila diukur di rumah. Fenomena seperti ini disebut white coat effect. Sekitar seperempat penderita yang didiagnosis hipertensi resisten ternyata akibaf fenomena ini.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
(Baca juga:Inilah Prediksi Stephen Hawking tentang Sisa Waktu Manusia Menghuni Bumi, Tinggal Sebentar Lagi)
Pada saat seseorang bertemu dokter, disadari atau tidak, timbul kecemasan yang berimplikasi saraf-saraf simpatik terstimuli dan menimbulkan efek pembuluh darah perifer mengerut dan denyut jantung menjadi lebih cepat. Hasil akhirnya, TD meninggi.
Sebuah penelitian tentang fenomena hipertensi jas putih membuktikan, bila TD diukur oleh perawat, peninggiannya tidak sebesar bila diukur oleh dokter, meskipun tetap lebih tinggi dibandingkan dengan hasil pengukuran di rumah.
Ada dua cara untuk mengetahui apakah seseorang mengalami fenomena hipertensi jas putih. Pertama, dengan pengukuran TD sendiri di rumah menggunakan alat pengukur TD yang terstandarisasi.
Kedua, menggunakan alat monitor TD ambulatori (ABPM, ambulatory blood pressure monitoring) yang dipasang di rumah sakit dan selanjutnya dibawa pulang.
Secara otomatis alat ini akan merekam TD setiap periodik, tergantung setting, waktunya. Biasanya setiap 15 - 30 menit saat terjaga dan 30 - 45 menit saat tidur.
Pasien dianjurkan mencatat aktivitas sehari-hari karena hal itu berkaitan dengan variasi TD. Selanjutnya, dokter akan mengevaluasi hasilnya.
(Baca juga:(Foto) Perempuan Ini Bikin Foto Pre-wedding Bersama Kakeknya, Ini Bukan karena Ia Ingin Menikahi si Kakek)
Pada yang didiagnosis hipertensi resisten, sebaiknya mereka terlebih dahulu menjalani ABPM. Pertimbangannya, satu dari empat pasien yang dirujuk lantaran didiagnosis hipertensi resisten, ternyata TD mereka telah terkontrol dalam pemeriksaan ABPM, sehingga investigasi untuk mencari penyebab sekunder hipertensi yang berbiaya tinggi dapat dihindari.
Apakah penderita hipertensi jas putih perlu mendapatkan terapi antihipertensi?
Pertanyaan tersebut sejak dekade terakhir masih menjadi perdebatan klinis. Sebagian ahli menyatakan tidak perlu. Alasannya, hipertensi jas putih tidak memiliki risiko tinggi terhadap kejadian kardiovaskuler, seperti serangan jantung atau gagal ginjal.
Orang dengan fenomena ini juga tidak menunjukkan manifestasi perubahan fisiologis akibat hipertensinya. Untuk itu, mereka tidak menganjurkan terapi spesifik pada hipertensi jas putih.
Kelompok ahli lain berpandangan bahwa hipertensi jas putih harus diobati berdasarkan hasil pengukuranTD di klinik. Hal tersebut lantaran orang dengan hipertensi jas putih memiliki karakteristik morfofungsional bilik kiri jantung sangat berbeda dengan orang normal.
(Baca juga:Kisah Pilu Bayi-bayi dalam Inkubator di Suriah yang Terpaksa Disembunyikan di Bawah Tanah)
Cirinya mirip penderita hipertensi sebenarnya. Di antaranya penebalan otot bilik kiri jantung, penurunan fungsi diastolik, perubahan resistensi vaskuler.
Selain itu, hipertensi jas putih ternyata kerap berkaitan dengan peningkatan kadar trigliserida, peningkatan kadar kolesterol berdensitas rendah (LDL), penurunan kadar kolesterol berdensitas tinggi (HDL), resistensi insulin, dan kegemukan.
Semuanya merupakan faktor risiko terjadinya insiden kardiovaskuler.
Walhasil, orang dengan hipertensi jas putih dengan peninggian TD tingkat I (140-160/90-100 mmHg) dan tidak memiliki faktor risiko kardioyaskuler yang berarti seperti kencing manis (diabetes mellitus), riwayat penyakit jantung koroner, hiperlipidemia atau riwayat merokok, disarankan untuk terlebih dahulu menjalani modifikasi gaya hidup (penurunan berat badan, pembatasan garam, stop merokok, olahraga, dll.) selama 3 - 6 bulan.
Biasanya, sekitar 12% dari mereka akan menjadi normotensi. Namun, bila tetap tinggi dianjurkan untuk mendapat terapi obat dan modifikasi gaya hidup.
Pada mereka yang memiliki riwayat kencing manis atau penyakit ginjal tampaknya perubahan gaya hidup sulit menurunkan TD di bawah 140/90 mmHg. Karena itu, mereka sepatutnya langsung mendapat terapi obat-obatan. (dr. A. Fauzi Yahya – Intisari Februari 2003)