Penulis
Intisari-online.com -Memasuki Februari 1949 atau tepatnya 69 tahun lalu, akibat aksi Agresi Militer II oleh Belanda di Yogyakarta, kondisi makin tidak menentu dan keadaan rakyat juga makin menderita.
Apalagi perlawanan dari pasukan RI yang dilancarkan secara gerilya belum memberikan hasil yang bisa menjadi perhatian dunia internasional.
Namun begitu akibat peperangan telah jatuh korban dari kedua belah pihak dalam jumlah yang cukup besar.
Sebagai raja Yogyakarta, Sultan HB IX sangat prihatin terhadap kondisi rakyat dan para pasukan gerilya RI yang daya juangnya makin turun.
BACA JUGA: Dulu Dicampakkan, Kini Buah Ceplukan Harganya Selangit
Untuk mengatasi semangat juang yang makin kendor itu dan sekaligus menarik perhatian dunia internasional bahwa pemerintah RI dan tentaranya masih ada, Sultan HB IX merasa harus berbuat sesuatu.
Sultan lalu mencetuskanagar pasukan gerilya RI melancarkan serangan dadakan bak pasukan siluman yang bertempur di siang bolong.
Tapi serangan militer secara terencana dan bersifat sangat rahasia itu harus segera dilaksanakan mengingat waktunya tinggal dua minggu.
Untuk mewujudkan rencananya Sultan HB IX lalu secara rahasia mengirim kurir untuk menemui Panglima Besar Jenderal Soedirman yang sedang memimpin pasukan di daerah selatan Yogyakarta (Gunung Kidul).
BACA JUGA:11 Tahun Menikah Tanpa Berhubungan Intim, Pasangan Berberat Badan Ekstrem Ini Akhirnya Lakukan Ini!
Pangsar Soedirman ternyata menyetujui rencana Sultan lalu mengirimkan komandan pasukan gerilya RI, Letkol Soeharto untuk berunding dengan Sultan HB IX secara sangat rahasia.
Letkol Soeharto yang kelak menjadi Presiden RI kedua, kemudian menyusup ke kota Yogyakarta untuk menemui Sultan HB IX di keraton.
Untuk menyamarkan diri Soeharto berpura-pura sebagai pedagang.
Lalu dengan perantaraan kurir yang juga sedang menyamar sebagai pedagang, Soeharto diantar ke rumah adik Sultan HB IX, GBPH Prabuningrat saat malam tiba.
Pada tengah malam keduanya berangkat menuju rumah GBPH Prabuningrat dengan mengenakan pakaian abdi dalem (pelayan keraton) sehingga tidak mengundang kecurigaan terhadap patroli pasukan Belanda.
Di kediaman GBPH Prabuningrat, Soeharto secara rahasia kemudian bertemu dengan Sultan HB IX.
Keduanya lalu merundingkan rencana operasi Serangan Umum 1 Maret yang juga merupakan serbuan ‘’pasukan siluman’’ di siang hari terhadap kedudukan militer Belanda.
BACA JUGA:Kisah Bung Karno di Akhir Kekuasaan, Sekadar Minta Nasi Kecap Buat Sarapan pun Ditolak
Serangan Umum 1 Maret 1949 akhirnya bisa dilaksanakan secara lancar dan mampu menaikkan moril tempur pasukan gerilya RI dan sekaligus mengundang perhatian internasional.
Kota Yogyakarta berhasil dikuasai oleh ‘’pasukan siluman’’ selama enam jam dan setelah itu semua pasukan menghilang menuju pos-pos gerilya masing-masing.
Tapi Serangan Umum 1 Maret itu sendiri harus dibayar mahal karena sekitar 300 personel pasukan gerilya RI telah gugur, belum termasuk warga sipil yang ikut jadi korban.
Sedangkan di pihak Belanda, sebanyak 6 tentara tewas.
Kendati korban jiwa akibat Serangan Umum 1 Maret cukup besar namun serangan frontal yang membuat pasukan Belanda di Yogyakarta kocar-kacir itu berhasil menguatkan posisi tawar RI di dunia internasional.
Belanda yang telah mengklaim negara RI lemah dan tidak punya pasukan untuk mengamankannya negaranya jadi buyar.
Apalagi selama bulan Maret 1949, pasukan gerilya RI yang terus melancarkan serangan bahkan telah mengakibatkan 200 tentara Belanda gugur.
PBB pun kemudian turun tangan dan berakibat pada hengkangnya pasukan Belanda dari Indonesia.