Kisah Dokter Kurang Ajar Sekaligus yang Terhebat di Indonesia, Tjipto Mangunkusumo

Yoyok Prima Maulana

Penulis

Orang-orang kulit putih di Demak berang hatinya, setiap kali mendengar bisikan orang: Helmhoed, topi kehormatan mereka, di rumah dokter Tjipto dijadikan pot bunga!

Intisari-online.com - Tjipto Mangunkusumo lahir di Ambarawa, jawa Tengah pada 4 Maret 1886.

Tjipto masuk sekolah dokter (STOVIA) di Jakarta, usianya baru 13 tahun. Gurunya mengakui Tjipto sebagai een begaafd leerling, murid yang berbakat

Setelah berdinas setahun di Banjarmasin, dokter Tjipto (20 tahun) pindah ke Demak. Di kota tersebut semakin masak pendiriannya bahwa dia hidup dalam masyarakat palsu.

Nasib rakyat banyak, kedudukan istimewa kaum bangsawan, kedudukan yang dipertuan orang-orang Belanda, semua itu menggelisahkan jiwa mudanya.

BACA JUGA:Misteri Hubungan Bung Karno Dengan Ibu Terkasihnya

Jarum suntik saja tak memuaskan hatinya. Dia mengangkat pena. Memaparkan pendapatnya dalam Harian De Lokomotief terbitan Semarang, menyerang kolonialisme dan feodalisme.

Tjipto seorang dokter pemerintah. la dilarang menulis dalam surat kabar, apalagi tulisan yang hendak menggoyahkan sendi-sendi kekuasaan pemerintah.

Orang-orang kulit putih di Demak berang hatinya, setiap kali mendengar bisikan orang: Helmhoed, topi kehormatan mereka, di rumah dokter Tjipto dijadikan pot bunga!

Tjipto akhirnya mengambil keputusan. la minta berhenti dari dinas pemerintah. Dalam kondisi demikian Tjipto menerima undangan untuk menghadiri Kongres Pertama Boedi Oetomo di Yogyakarta tanggal 3-4 Oktober 1908.

BACA JUGA:Misteri Jam Raksasa di Candi Borobudur

la paparkan pendiriannya. Hendaknya Boedi Oetomo menjadi organisasi politik, terbuka untuk setiap orang, menjadi pemimpin rakyat banyak dan jangan berhubungan dengan kaum feodal.

la mendapat tantangan keras dari Radjiman Wediodipuro. Ternyata Tjipto justru 20 tahun mendahului zamannya. Keras sama keras, dia langsung mengundurkan diri.

Boedi Oetomo dia tinggalkan, begitu pula Demak. Tjipto pindah ke Solo, buka praktik sebagai dokter swasta. Bendinya keluar-masuk kampung. Tetapi juga dia pacu mondar-mandir di sekitar Alun-alun Keraton tanpa seizin Susuhunan Paku Buwono.

Dokter kurang ajar tersebut dengan sendirinya tidak disukai oleh sang raja. Agaknya jiwa si Kromo yang berontak mendapat kenikmatan dengan perbuatan itu.

Tentang praktiknya di Solo, dr. Soetomo menulis, "Sebagai dokter partikelir di Solo tidak sedikit kesenangan dan pendapatannya.Para pasien dari bermacam-macam golongan menaruhkepercayaan kepadanya. Hingga bertambah hari, bertambah banyaklah bilangan handai tolan."

Wabah pes mengamuk di daerah Malang. Tjipto langsung menawarkan diri sebagai sukarelawan, sekalipun dia dokter swasta.

Keluar masuk pondok-pondok bambu - tanpa mengenakan masker dan sarung tangan - yang sebentar lagi akan dibakar untuk mencegah wabah. la dapati gadis kecil seorang diri. Orang tuanya sudah meninggal. Gadis tersebut dia angkat menjadi anak sendiri. Sebagai kenangan dia beri nama Pesjati.

BACA JUGA:(Foto) Kisah Memilukan dari Jasad-jasad 'Abadi' para Pendaki Everest

Untuk jasanya memberantas wabah pes, Tjipto dianugerahi Bintang Ridderorde.

Sial nasib penerima bintang dari Sri Ratu Wilhelmina tersebut. Di Malang dokter Jawa ini bertengkar dengan kontrolir. Tanpa diusut siapa yang benar, siapa yang salah, keputusan segera jatuh; Tjipto dipindahkan.

Ini membuat hatinya berontak. Semakin panas lagi ketika permintaannya untuk kembali ke Solo ditolak. la ingin ke Solo sebenarnya bukan untuk membuka kembali praktiknya yang telah lalu, melainkan untuk memberantas wabah pes yang ganti berkecamuk di sana.

Kali ini pun reaksinya khas Tjipto. Bintang kehormatan dari ratu Belanda tersebut dia ambil dari lemari. la pasang di pantat celana, dan dibawanya ke Jakarta untuk dikembalikan kepada yang memberi.

Banyak orang girang sekali mendengar keberanian eksentrik tersebut. (Disadur dari Buku Sketsa Tokoh tulisan Jakob Oetama)

BACA JUGA:Jalan Sunyi Jenderal Hoegeng, Jalannya Para Pemberani

Artikel Terkait