Find Us On Social Media :

Perjanjian Giyanti, Perebutan Kekuasaan Kerajaan Mataram yang Melahirkan Kesultanan Yogyakarta

By Ade Sulaeman, Rabu, 21 Februari 2018 | 11:00 WIB

Intisari-Online.com – Pada tanggal 13 Pebruari tahun 1970 (saat tulisan ini dibuat), genap 215 tahun usia Kesultanan Yogyakarta dilihat dari segi formalnya, yakni penandatanganan Persetujuan Giyanti oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I dengan Nicolaas Hartingh selaku utusan Kompeni Belanda.

Itu artinya di tahun 2018 ini Kesultanan Yogyakarta genap berusia 263 tahun.

Persetujuan itu menurut rumusan di dalamnya sendiri, merupakan suatu "tractaat van reconciliatie, vreede, vriend-en bondgenootschap tusschen de dooriuchtige Nederlandsch Oost-Indische Compagnie ter eenre, en, den Sulthan Haming Coboeana Senopatty Ingalaga Abdul Rachman Sahidin Panata-gama kalifattolach ter andere zijde", jadi merupakan suatu perjanjin kerukunan-kembali, perdamaian dan persekutuan antara Sri Sultan dengan pihak Kompeni.

Dan memang, persetujuan itu ditandatangani pada akhir suatu perang yang cukup sengit dan lama, suatu perang yang oleh Rakjat Jawa Tengah sendiri  disebut "Perang Palihan Nagari" atau Perang Pembagian Negara, dalam hal ini negara Mataram yang dibagi dua atas kesunanan Surakarta dan kesultanan Yogyakarta.

(Baca juga: Wanita Ini Usir Anak dan Menantunya yang Baru Menikah, Tapi Malah Disebut Mertua Idaman. Kok, Bisa?)

Situasi sebelum perang pembagian negara

Pada akhir abad ke 17, situasi di Indonesia pada umumnya dan di pulau Jawa pada khususnya sudah sangat buruk bagi kemerdekaan kerajaan-kerajaan kita. Di pulau Jawa, kerajaan Mataram  yang pernah mencapai puncak kejayaannya di bawah pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo, telah diinfiltrasi oleh intrik-intrik pihak Kompeni Belanda, sehingga pemilihan raja yang baru sudah mulai dicampuri oleh mereka.

Seorang raja atau susuhunan yang baru haruslah seseorang yang disaksi oleh Kompeni, jika tidak, ia akan dirongrong dengan seorang calon tandingan.

Intrik-intrik itu menyebabkan dua kali Perang Intervensi  yang oleh sejarawan Belanda disebut “De eerste en de tweede Javaanse Successieooriogen”.

Perang Intervensi I timbul ketika Amangkurat III yang dikenal dengan sebutan Sunan Mas menaiki tahta kerajaan Mataram. Karena ia terkenal sebagai seseorang yang sangat anti-Belanda, maka pihak Kompeni menyokong calon susuhunan yang  Iain, yakni Pangeran Puger, seorang pamanda daripada Sunan Mas.

Pangeran Puger dinaikkan diatas tahta Mataram dengan kekuatan senjata Kompeni dan mengambil gelar Paku Buwono I. Sunan Mas ditangkap dan diasingkan ke Sailan.

Perang Intervensi II pecah ketika susuhunan Paku Buwono I mangkat. Kompeni mencalonkan seorang putranya yang menaiki tahta dengan nama Amangkurat IV, sedangkan para bangsawan mencalonkan seorang putra lain.