Find Us On Social Media :

Operasi Gagak, Agresi Militer Belanda di Yogyakarta yang Gagal Membunuh Bung Karno

By Moh Habib Asyhad, Senin, 19 Februari 2018 | 06:00 WIB

Intisari-Online.com - Pada 19 Desember 1948 Belanda melancarkan Agresi Militer II di Yogyakarta bersandi Operatie Kraai alias Operasi Gagak.

Tujuan utama operasi ini sebenarnya adalah untuk membunuh Presiden Soekarno.

Dokumen operasi rahasia militer Belanda ketika menyerbu Yogyakarta dengan mengerahkan pasukan payung (airborne) dan bertujuan membunuh Presiden Soekarno memang nyata.

Isi dokumen itu termaktub dalam catatan harian komandan Operatie Kraai bernama Kolonel  Dirk Reinhard Adelbert van Langen.

Dalam catatan harian Kolonel van Langen dokumen itu tertulis secara jelas.

(Baca juga: Melalui Stasiun Radio AURI di Playen, Berita Serangan Umum 1 Maret 1946 Sampai ke Telingan PBB)

Dijelaskan bahwa van Langen telah mendapat perintah dari Jenderal Simon Spoor, Panglima militer Belanda di Hindia Timur (Indonesia).

Isi perintahnya adalah untuk menghabisi para pemimpin Indonesia lewat serbuan kilat Operatie Kraai, khususnya Presiden Soekarno.

Tapi perintah itu tidak dapat terlaksana secara mulus.

Pasalnya saat itu di Yogyakarta sudah hadir saksi dari delegasi Komite Tiga Negara untuk memantau perjuangan kemerdekaan Indonesia, yakni AS, Belgia, dan Australia.

Ketika Agresi Militer II berlangsung beberapa menteri sedang berada di luar Yogyakarta.

Mereka adalah Menteri Dalam Negeri Dr Sukiman, Menteri Persediaan Makanan IJ Kasimo, Menteri Kehakiman Susanto, dan lainnya sehingga mereka luput dari penangkapan tentara Belanda.

(Baca juga: Misteri Hubungan Bung Karno Dengan Ibu Terkasihnya)

Namun kemudian para menteri tersebut terus diburu oleh militer Belanda dan seorang di antaranya, yaitu Supeno Menteri Pembangunan dan Pemuda tewas tertembak.

Bung Karno sendiri sebenarnya paham jika dirinya dalam Operatie Kraai akan dijadikan sebagai sasaran pembunuhan.

Oleh karena itu Bung Karno dan Bung Hatta memilih bertahan di Istana Negara.

Kebetulan pada hari itu Istana Negara juga merupakan tempat berkumpul orang-orang dari delegasi Komite Tiga Negara.

Pasalnya jika Bung Karno dan Bung Hatta memilih meninggalkan Istana Negara dengan pengawalan kurang memadai dan bertemu pasukan payung Belanda mereka pasti ditembak mati.

Jika kemudian Komite Tiga Negara menanyakannya, pasukan Belanda cukup berdalih bahwa Bung Karno dan Bung Hatta tewas akibat terjebak dalam aksi tembak menembak.

Kolonel van Langen sebenarnya sangat frustrasi ketika mengetahui Bung Karno dan Bung Hatta masih bertahan di Istana Negara.

(Baca juga: Keajaiban Turun ke Bumi, Bayi Ini Pernah Mengalami Dua Kali Proses Kelahiran Dalam Hidupnya)

Oleh karena itu ketika menangkap Bung Karno dan Bung Hatta yang sudah menyerah di Istana Negara, pasukan Belanda sengaja membawa keduanya menggunakan kendaraan jeep yang terbuka.

Tujuannya agar dalam perjalanan, jeep yang sengaja dijalankan secara pelan, diserang para pejuang RI sehingga mengakibatkan Bung Karno tewas.

Pasukan Belanda bahkan berharap Bung Karno melompat dari jeep untuk melarikan diri sehingga pasukan Belanda memiliki alasan untuk menembaknya.

Tapi Bung Karno ternyata tidak terpancing oleh tipu daya militer Belanda.

Demikian pula para pejuang RI, mereka tidak melakukan serangan dan memilih mundur ke luar kota untuk melancarkan perang gerilya.

Bung Karno sendiri kemudian diasingkan ke Bangka dan para pejuang RI yang melancarkan perang secara gerilya akhirnya berhasil memperoleh kemenangan.

Bung Karno pun dibebaskan dan kembali memimpin RI sebagai Presiden.

(Baca juga: Menggemaskan! Bayi Perempuan Ini Cium dam Peluk Manja Wajah Ibunya Sesaat Setelah Dilahirkan)