Penulis
Intisari-online.com - Suasana di Mal Mangga Dua, Jakarta Utara, terlihat sepi pada Rabu (14/2/2018).
Lebih banyak toko yang tutup daripada yang buka.
"Hari-hari begini satu lantai paling hanya belasan (toko) yang buka, padahal jumlah tokonya ada ratusan," kata Endang, seorang petugas keamanan setempat.
Endang yang bekerja di Mal Mangga Dua selama empat tahun terakhir itu mengakui bahwa Mal Mangga Dua terasa lebih sepi dalam beberapa tahun terakhir.
BACA JUGA:Dijual Hingga Belasan Juta, Tas Gucci Hanya Gunakan Bahan Seharga Ratusan Ribu
"Ya setelah ada toko-toko online memang terasa lebih sepi ya, kurang lebih satu-dua tahun terakhir lah," kata Endang.
Namun, sepinya Mal Mangga Dua ini tak berarti toko-toko di sana kehilangan pembeli.
Sebab, rata-rata penjual juga memasarkan dagangannya secara online.
"Mereka ini kan main online juga. Jadi biarpun di sini sepi, tetapi mereka masih banyak pembelinya," kata Endang sambil menunjuk koridor yang sepi pengunjung.
BACA JUGA:Kisah Keanu Reeves yang Mengiris Hati, Anomali Selebritas Holywood
Pernyataan Endang ini dibenarkan Emu, seorang pegawai toko komputer rakitan.
Ia menyebut jumlah pelanggannya di dunia maya jauh lebih banyak dibandingkan jumlah pelanggan yang mendatangi tokonya.
"Kita malah lebih aktif di online. Lihat saja kalau offline mah sepi seperti ini, bisa enggak ada yang datang, tetapi kalau orderan online pasti jalan terus," kata Emu.
Lewat toko online, kata Emu, tokonya dapat memperoleh lebih banyak pelanggan.
"Jumlah pastinya enggak tahu ya, cuma kalau online orderannya pasti lebih banyak. Ada yang dari Papua, Kalimantan, banyak deh," ucap dia.
Menurut Emu, tokonya masuk ke pasar online sejak 2013. Kini, toko fisiknya yang terletak di Mal Mangga Dua itu difungsikan sebagai gudang atau tempat servis saja.
Berbeda dengan toko Emu, ada pula toko yang ditutup dan hanya membuka penjualan online dari rumah.
BACA JUGA:Belajar dari Ari Wibowo, Jangan Menyatukan Asuransi dan Investasi
Dibantu anak
Sementara itu, Heri, seorang pedagang mainan di Pasar Gembrong, Jakarta Timur, punya cerita berbeda. Dibantu anaknya, ia membuat sejumlah toko online di beberapa situs e-commerce.
"Itu anak saya yang bikin toko online. Kalau ada yang beli, nanti barangnya ambil di sini (di toko). Lumayan, seminggu bisa ada sepuluh pesanan," kata Heri di tokonya, Rabu (14/2/2018).
Kendati demikian, menurut Heri, penjualan online belum berpengaruh besar pada angka penjualan di tokonya.
Sebab, kata dia, pembeli mainan cenderung lebih suka melihat langsung barang dagangan sehingga perlu datang ke toko.
"Orang yang beli mainan itu lebih suka beli langsung, biar bisa dipegang, dicoba. Kalau online kan returnya lama," kata dia.
Namun, ia memprediksi, cepat atau lambat toko online akan menggantikan toko konvensional.
"Selama saya jualan, paling ramai itu sekitar tahun 2007-2010. Setelah itu perlahan mulai turun. Sekarang mungkin sudah turun 30 persen karena online," kata Heri yang telah berjualan di Pasar Gembrong selama belasan tahun itu. Oleh karena itu, ia tak menutup kemungkinan apabila harus menutup tokonya dan beralih ke perdagangan online.
Bertahan
Kisah berbeda disampaikan Acun, pedagang pakaian di Pasar Glodok, Jakarta Barat. Ia mengaku membuka toko online demi menambal kerugian yang dialami toko fisiknya.
"Wah kalau enggak ikut online, habislah kita," kata Acun saat ditemui di tokonya.
Pendapatan Acun dari jual-beli online nantinya dapat digunakan untuk menambal kerugian tersebut.
"Sekarang begini, saya tiap bulan keluar hampir dua juta untuk biaya sewa dan biaya perawatan, sedangkan pasar ini sepinya seperti di kuburan. Mau tidak mau ya ikut online," katanya. (Ardito Ramadhan)
Artikel ini pernah tayang di Kompas.com dengan judul ""Kalau Tak Buka Toko Online, Habislah Kita..."