Tidak Hanya Memonopoli Perdagangan, VOC pun Gila Hormat, Sampai-sampai Dibuat Peraturan tentang Cara Menghormati Mereka

Moh Habib Asyhad

Penulis

Konon, Gubjen van Hoorn sempat menumpuk harta senilai 10 juta gulden saat kembali ke Belanda pada 1709. Padahal, gaji resminya cuma 700 gulden sebulan.

Intisari-Online.com – Untuk berani menghujat atau membela, kita tentu harus sedikit tahu sepak terjang VOC di Indonesia. Jauh sebelum VOC muncul ke dunia, Cornelis De Houtman sudah memimpin pelayaran sebuah liga pedagang Belanda yang mendarat di Banten pada 22 Juni 1596.

Sejak itu, makin banyak kapal Belanda singgah dan bertransaksi di wilayah Nusantara.

Besarnya perhatian mereka pada Nusantara yang kaya rempah-rempah merupakan suatu keniscayaan. Seperti dijelaskan di muka, saat itu Nederland (terdiri atas 17 provinsi) sedang terlibat perang 80 tahun (1566 - 1648) dengan Spanyol.

Tahun 1580, saat Raja Spanyol Philip II dinobatkan juga sebagai Raja Portugis, ia melarang orang londo bertransaksi di Lisbon dan kota-kota lain di Portugal.

Nah, menguasai jalur laut menuju Nusantara, menjadi strategi Belanda untuk mempertahankan stabilitas perekonomiannya yang terancam.

(Baca juga:Pesona Janda-janda Muda di Batavia, Lebih Menarik Ketimbang Gadis Perawan)

Buku Menjadi Indonesia karya Parakitri T. Simbolon memberi catatan: Kurang dari lima tahun sejak kembalinya De Houtman, sekitar 65 kapal dagang Belanda singgah di Nusantara. Persaingan antarnegara bagian pun makin ramai.

Setiap wilayah, seperti Friesland, Holland Utara, Holland Selatan, memberangkatkan rombongan sendiri. Guna mencegah kerugian dan perseteruan, dibentuklah VOC pada 20 Maret 1602.

Dalam octrooi pendiriannya yang dirumuskan Staten Generaal (Parlemen), disebut dengan jelas alasan pembentukan VOC: untuk mencegah kerugian, kesulitan, dan bahaya akibat persaingan antarkelompok dagang.

Pemegang saham VOC terdiri atas para pedagang di negara-negara bagian dan masyarakat sebagai pemilik saham pasif. VOC juga dibekali kekuasaan memaksakan monopoli.

Octrooi pasal 34 dan 35 menyebut, kecuali VOC, siapa pun dilarang melayari lautan antara Tanjung Harapan sampai Selat Magelhaens.

Uniknya, Parlemen Belanda juga membekali organisasi itu dengan kekuasaan mengadakan perjanjian dengan semua penguasa, mendirikan benteng, memelihara angkatan bersenjata, dan melaksanakan pemerintahan.

(Baca juga:Di Balik Nama Gang Dolly yang Melegenda, Siapakah Sebenarnya Dolly?)

Antara 1602 -1619, kapal-kapal VOC di Nusantara masih mondar-mandir dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain. Sementara itu, loji mereka di Banten dan Maluku mulai terancam oleh Inggris, Portugis, dan Spanyol.

De Heeren XVII (17 orang pengurus VOC di Belanda) mulai gerah dan sadar, VOC harus punya pangkalan tetap buat kapal-kapalnya.

Pieter Both, gubernur jenderal (gubjen) VOC pertama yang dilantik 27 November 1609, ditugasi merayu penguasa Jayakarta.

la pun menandatangani kontrak dengan penguasa Jayakarta, Wijaya Krama, pada Januari 1611. Klausul kontrak menyebutkan, VOC diberi hak memakai sebidang tanah seluas 50 x 50 vadem (1 vadem = enam kaki, 182 cm), dengan pembayaran 1.200 rijksdaalder (1 rijksdaalder = dua setengah gulden).

Dengan catatan, dilarang mendirikan benteng. Wilayah itu kini ada di sekitar kawasan Pasar Ikan, Jakarta Utara.

Tapi janji tinggal janji. Gubjen VOC keempat, Jan Pieterszoon Coen (dilantik 1618), mengkhianati perjanjian ini. Tak puas hanya mendirikan benteng, ia membawa pasukannya menyerbu istana Wijaya Krama.

Malah ia mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia setahun kemudian. Maka, VOC mulai menjalankan fungsi sebagai negara berkedok kongsi dagang.

(Baca juga:Duh, Istilah Hidung Belang Ternyata Lahir Karena Kasus Gubernur Batavia Pieterzoon Coen)

Sembari "membangun" Batavia, yang tempat tinggal penduduknya dikelompokkan menurut daerah asal, warna kulit, dan agama (agar tak gampang membaur), VOC berekspansi. Dalam 30 tahun, mereka berhasil melemahkan pengaruh Spanyol dan Portugis di Nusantara dan sekitarnya.

Termasuk aksi tahun 1621, yang membawa VOC menghancurkan pangkalan Spanyol di Banda Neira. Sedangkan Malaka direbut dari Portugis tahun 1641, disusul pengusiran Spanyol dari Ternate pada 1689.

Penguasaan penuh atas Maluku tahun 1655 membuat monopoli cengkeh VOC tak lagi mendapat halangan berarti. Penduduk dipaksa menjual cengkeh dengan harga miring, hanya pada VOC. Jika menolak, nyawa taruhannya.

Di Banda Neira, karena ditolak membangun benteng, J.P. Coen memerangi rakyat di sana selama empat hari (8 - 11 Maret 1621). Ratusan rakyat tewas, puluhan desa dibakar, 44 pemimpin rakyat dipenggal, sisa rakyat yang masih hidup dibawa ke Batavia untuk dijadikan budak.

Sementara itu, perlawanan Banten dan Makassar yang sebelumnya amat kuat, terus melemah. Gara-garanya, VOC menyibukkan mereka dengan perebutan kekuasaan dan peperangan antarsaudara.

(Baca juga:Dari Korupsi Hingga Rangkap Jabatan, Inilah Daftar ‘Warisan’ Terburuk VOC untuk Birokrasi Indonesia)

Sedangkan Mataram, yang di zaman Sultan Agung sempat dua kali menyerang Batavia, dipaksa berdamai menyusul wafatnya Sultan Agung pada 1646.

Masa kemasan VOC sebagai negara, diyakini terjadi tahun 1755 – 1799. Saat itu, sejumlah kerajaan lokal tak lagi punya gigi, sementara jalur laut antara Maluku – Amsterdam lewat Tanjung Harapan amat terjamin keamanannya.

Gila hormat

Ironisnya, di saat bersamaan, sebagai sebuah kongsi, VOC justru memasuki babak paling suram. Korupsi, penyalahgunaan jabatan, dan nafsu kemewahan merasuki para pemimpinnya.

Konon, Gubjen van Hoorn sempat menumpuk harta senilai 10 juta gulden saat kembali ke Belanda pada 1709. Padahal, gaji resminya cuma 700 gulden sebulan.

Kekayaan itu didapat dari memotong kas VOC, upeti, manipulasi setoran hasil bumi, hingga menerima sogokan calon pegawai VOC. Gubemur jenderal lain pun setali tiga uang.

Sialnya, kenakalan mereka tak gampang diketahui pengurus di Belanda. Soalnya, banyak laporan keuangan VOC yang dirahasiakan, dengan dalih akan membahayakan keamanan negara jika dipublikasikan.

(Baca juga:Mantan Bodyguard Selebritas Ini Hidup dengan ‘Hernia Terbesar di Dunia’, Dokter pun Takut Mengoperasinya)

Makin tak mencurigakan, karena VOC tak pernah absen membayar dividen buat para pemegang saham.

Padahal, kas VOC selalu gali-lubang-tutup-lubang, dengan meminjam uang dari bank-bank di Amsterdam. Di sisi lain, sama sekali tak ada kesadaran untuk membayar jerih payah para petani dengan harga pantas.

Kemiskinan pun merajalela, karena selain menyetor pada kumpeni, kadang rakyat masih harus memberi upeti pada raja.

Pengurus VOC di Batavia hidup bak bandit tanpa bos, semisal soal pengangkatan gubernur jenderal. Dahulu, mereka dipilih oleh de Heeren XVII. Tapi lama-kelamaan cuma diangkat oleh de Hooge Regeering, pengurus VOC di Batavia.

Jabatan ini sebagian besar digenggam seumur hidup. Selain gila uang, mereka juga gila pangkat dan kehormatan. Pada 24 Juni 1719 misalnya, Gubjen Henricus Zwaardecroon mengeluarkan ordonansi yang mengatur secara rinci penghormatan terhadap para pejabat.

Jika sang Gubernur lewat, warga keturunan Eropa harus menunduk sedikit, sedangkan bukan Eropa kudu menyembah. Aturan ini membuat pejabat "eselon" di bawahnya berlomba-lomba menciptakan cara penghormatan "paling keren".

Keadaan menjadi kacau. Sebelum kian parah, Gubjen Jacob Mossel (1754) mengeluarkan aturan yang merinci penghormatan terhadap pejabat.

(Baca juga:6 Gejala Sederhana Ini Bisa Menjadi Tanda Anda Terkena Leukemia, Salah Satunya adalah Sering Demam!)

Salah satunya, kereta kaca dengan dua jalur kursi, ditarik enam ekor kuda, berhias warna emas, dan dikusiri orang Eropa hanya boleh dinaiki gubjen.

Di sisi lain, meluasnya sejumlah kekuatan luar yang berhasil ditaklukkan, membuat biaya untuk mempertahankan hegemoni menjadi sangat besar. Ini diperparah dengan masuknya orang-orang pemerintahan dalam kepengurusan de Heeren XVII.

Sejak 1749 Staten Generaal menetapkan Raja Willem IV sebagai pemimpin dan panglima tertinggi VOC. Sejak itu, banyak pejabat pemerintah jadi anggota de Heeren.

Sayangnya, "Mereka yang dipilih kebanyakan orang-orang tua yang punya vested interest. Akibatnya, fungsi pengawasan terhadap organisasi VOC di Batavia, yang mestinya dilakukan dengan ketat, justru menjadi ajang mencari keuntungan pribadi," ulas Mona Lohanda.

Ini berbeda dengan pola kolonialisme Inggris. Kongsi dagang mereka, EIC, hanya berperan dalam urusan maupun monopoli perdagangan. "Jika sudah menyangkut kekuasaan dan pengaturan pemerintahan, diserahkan pada pejabat yang langsung didatangkan dari Inggris, yang menguasai bidang pekerjaannya," imbuh Mona.

Alhasil, begitu pecah perang melawan Inggris (1778), VOC keteteran. Semua kantornya di pantai India direbut Inggris. Tiga tahun mereka gagal mengirim dagangan ke Belanda. Seiring dengan macetnya volume dan jalur perdagangan mereka, terungkaplah segala borok VOC.

(Baca juga:Bermodal Kaleng Kosong, Pasukan Jepang Berhasil Bikin Pasukan Belanda di Subang Kocar-kacir, Ini Ceritanya)

Pada 6 Februari 1781, para pemegang saham mulai panik setelah VOC tak lagi membagi deviden. Sebagian menuntut agar kongsi ini dibubarkan.

Tapi VOC masih dipertahankan, karena banyak orang belum bisa membayangkan pengadaan barang dari Nusantara tanpa perusahaan ini.

Saat utang VOC makin membengkak, Raja Belanda Willem V tak lagi membiarkan kelakuan para koruptor itu. Tepat 8 Agustus 1799, pengambilalihan VOC oleh Pemerintah Belanda diumumkan di Batavia. Puncaknya, 31 Desember 1799, VOC dibubarkan.

(Ditulis oleh Muhammad Sulhi. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Februari 2002)

Artikel Terkait