Penulis
Intisari-Online.com- Jika Anda memiliki limbah elektronik, jangan terburu-buru membuangnya.
Hasil penelitian ini mungkin akan mengejutkan Anda.
Dalam pengolahan bijih emas ternyata ada beberapa jenis bakteri yang berperan penting dalam pemrosesannya.
Penelitian yang telah berjalan selama sepuluh tahun di Universitas Adelaide, Australia, ini telah membuktikannya.
Baca Juga:Mengapa Tubuh Kita Tersentak Saat Kita Sedang Tertidur?
Baca Juga:Megawati Genap Berusia 71 Tahun, Inilah 5 Fakta Perjalanan Hidup Anak Presiden Pertama RI
Penelitian ini dipublikasikan di jurnal Chemical Geology, dengan judul “Secondary gold structures: Relics of past biogeochemical transformations and implications for colloidal gold dispersion in subtropical environments”.
Fokusnya adalah bagaimana dengan pengolahan biogeokimia, emas dapat dipisahkan, dileburkan, dan kembali terkonsentrasi menjadi bongkahan emas dari limbah elektronik.
"Di lingkungan alami, emas primer masuk ke tanah, mengandap dan melalui pelapukan biogeokimia larut mengalir ke lautan," ucap profesor Frank Reith sebagaimana dilansir Digitaljournal.com (7/5).
Dia juga mengatakan bahwa dalam limbah elektronik pun mengandung banyak emas.
Pengolahan dengan bantuan bakteri ditujukan melacak jejak-jejak emas dalam limbah elektronik dan memurnikannya kembali menjadi emas.
Bakteri yang dapat melakukan proses ini secara efisien adalah Delftia acidovorans.
Emas terlarut adalah zat beracun bagi bakteri ini, sehingga sebagai mekanisme pertahan diri, ia mengubah ion beracun menjadi partikel emas.
Partikel emas itu terakumulasi di luar sel bakteri yang menjadikannya tidak berbahaya bagi Delftia acidovorans.
Reith bersama dengan perusahaan rintisan baru Mint Innovation di New Zealand sekarang tengah menjalankan projek ini.
Mereka mencoba mengekstrak emas dari limbah elektronik yang rencananya akan diluncurkan pada 2019.
Baca Juga:Lewat Tulisan Tangan, Terungkap Karakter 'Memilukan' dari Sosok Melania, Istri Donald Trump!
Proses daur ulang emas dapat memakan waktu 17 hingga 58 tahun.
Secara geologi, rentang waktu tersebut termasuk cepat.
Namun masih terlalu lama bagi seseorang untuk membuatnya efektif secara komersial.
Reith juga mengatakan kemungkinan untuk mempercepat proses tersebut hingga 10, 20, atau 30 tahun.
Baca Juga:Shell Shock, 'Kegilaan' para Tentara Perang Dunia I yang Justru 'Diobati' dengan Hukuman Mati