Halliburton, Industri Tentara Bayaran Termakmur di Dunia karena Paling Dimanja Amerika tapi Juga Paling Banyak Kehilangan Nyawa

Moh Habib Asyhad

Penulis

Intisari-Online.com -Di antara Private Military Company (PMC) atau pemasok tentara bayaran di dunia, Halliburton boleh jadi adalah yang termakmur dan yang paling dimanjakan.

Dalam megaproyek membangun kembali Irak misalnya, Pemerintah AS memilihnya sebagai rekanan utama dengan kontrak mencapai sekitar Rp100 triliun.

Banyak pihak mengatakan, nasib baik ini berbau kolusi.

Pasalnya, Wapres AS Dick Chaney, yang dianggap ikut melapangkan kontrak menggiurkan tersebut, adalah mantan CEO Halliburton.

Chaney memegang Halliburton tak lama setelah menuntaskan jabatannya sebagai Menlu AS pada 1989 hingga 1993.

(Baca juga:Vinnell Corporation, Produsen Tentara Bayaran Paling Mematikan di Dunia)

(Baca juga:DynCorp, Pabrik Tentara Bayaran yang Memproduksi Manusia Penjual Nyawa

Ia bahkan memegang perusahaan ini bersama deputinya semasa di Pentagon, David Gribbin.

Kedua orang ini pulalah yang ditengarai menyerahkan megaproyek di Balkan senilai sekitar Rp25 triliun kepada Kellog Brown and Root, anak perusahaan Halliburton.

Kontrak-kontrak itu dikategorikan besar karena nilai kontrak untuk PMC pada umumnya “hanya” berkisar ratusan miliar rupiah.

Sebagai perusahaan jasa pengolahan minyak dan gas bumi, Halliburton sebenarnya sudah berdiri sejak 1919.

Namun, reputasinya di bidang PMC baru mencuat dan jadi pembicaraan setelah AS menuntaskan invasi pertamanya di Irak.

Kala itu sekitar tahun 1992, Pentagon mengontrak perusahaan ini untuk menyiapkan program dukungan bagi militer AS di luar negeri.

Meski hanya dalam bentuk studi, mereka sudah diberi dana ratusan miliar dolar.

(Baca juga:Kisah Tragis Para Tentara Bayaran AS yang Terbunuh di Fallujah Irak: Sudah Dibakar, Digantung Pula di Jembatan)

(Baca juga:Sepak Terjang Tentara Bayaran, Selalu Bergelimang Uang Namun Harus Selalu Siap Menumpahkan Darah)

Halliburton pula yang jadi rujukan pertama tatkala Washington memangkas jumlah tentaranya dari 1,5 juta orang menjadi setengahnya akibat meredanya Perang Dingin.

Mereka ingin Halliburton bisa menciptakan wadah mirip legiun asing bagi para mantan tentara itu.

Masalah ini dinilai krusial karena salah dalam menangani mantan tentara yang doyan perang sama saja artinya dengan bencana.

Tugas tersebut ternyata berhasil dikerjakan dengan baik. Alhasil, sejauh ini mereka selalu jadi rujukan utama manakala Pemerintah AS punya gawe besar di negeri orang.

Tak lama setelah mengantongi kontrak ratusan miliar itu mereka mendapat lagi dana senilai sekitar Rp50 miliiar untuk proyek pendirian pangkalan militer di sejumlah tempat rahasia.

Kedekatan Halliburton dengan kalangan militer rupanya banyak dipengaruhi oleh latar-belakang pemimpinnya sendiri.

Tak lama setelah Cheney meninggalkan perusahaan ini, posisinya digantikan oleh seorang perwira tinggi, yakni Admiral Joe Lopez.

Lopez adalah mantan komandan pasukan AS untuk wilayah Eropa Selatan.

Irak sendiri bukanlah wilayah genting pertama yang pernah digarap, antara 1962 sampai 1972 Pentagon pernah menugaskan mereka membuat jalan, lapangan terbang, dan pangkalan militer di Vietnam Selatan.

Mulai dari daerah demiliterisasi sampai ke Delta Mekong.

Kala itu mereka dibayar sampai sekitar Rp130 miliar.

(Baca juga:Qalatga Darband, Kota di Irak yang Hilang 2.000 Tahun Lalu Kini Ditemukan Kembali)

(Baca juga:(Video) Mengharukan! Kisah Anak Yang Kembali Bertemu Ibunya Akibat Konflik di Irak)

Dalam proyek membangun kembali Irak, mereka memang terbilang ikut menikmati emas hitam negeri tersebut.

Mereka menerjunkan sampai 24 ribu personel atau tiga perempat dari total pekerja asing yang dipekerjakan di sana.

Hallliburton mengerjakan apa saja, mulai dari menggali jamban, mengantar logistik, mencukur rambut, menyiapkan makan, dan melayani jasa surat-menyurat untuk kepentingan tentara AS.

Ribuan pekerja yang dikerahkan umumnya berasal dari kota-kota miskin di AS.

Mereka rata-rata tak peduli dengan risiko kehilangan nyawa karena sejak mendaftar sudah silau dengan iming-iming upah yang mencapai lebih Rp1,3 miliar setahun.

Buntutnya, hingga kini tercatat sudah ratusan personel Halliburton tewas terbunuh.

Korban tewas para tentara bayaran Halliburton bahkan merupakan yang terbesar dibandingkan sejumlah industri pemasok tentara bayaran lainnya.

Semula keluarga yang ditinggalkan diam saja.

Namun, keadaan berubah setelah kantor pengacara terkenal Lopez, Hodes Restaino, Milman & Skikis mengajukan gugatan keluarga mendiang Tony Johnson, satu dari enam sopir truk Halliburton yang tewas disergap militant Irak pada 9 April 2004.

(Baca juga:Ditangkap Pasukan Irak, Gadis 16 Tahun yang Pernah Kabur dari Rumah untuk Gabung ISIS Ini Hanya Ingin Ini, Ayahnya pun Pingsan)

Peristiwa ini terjadi di jalur genting Kamp Anaconda-Bandara Internasional Baghdad.

Penyergapan terhadap konvoi truk pengangkut minyak dengan 19 sopir yang juga menelan dua korban (satu diculik, satu hilang) tersebut, diklaim sebagai kelalaian dari manajer Halliburton.

Mereka dinilai tak becus memberikan perlindungan terhadap konvoi truk yang amat mencolok perhatian itu.

Di AS, simpati yang dicurahkan kepada keluarga pekerja di Irak terus mengalir.

Apalagi karena apa yang dialami pekerja Halliburton bukanlah yang pertama.

Pada Maret 2004, empat personel Blackwater Security Consulting malah mengalami hal yang amat memilukan.

Mereka dicegat masa di Falujah, dikeluarkan paksa dari kendaraan, dibunuh secara biadab, untuk kemudian jenazahnya digantung di tiang jembatan.

Kasus-kasus tersebut tak ayal mencuatkan kritik tentang standar perlindungan yang buruk untuk para pekerja PMC.

(Baca juga:Wildan Mukhollad, Pemuda Lamongan Aktor Bom Bunuh Diri ISIS di Irak (2))

Artikel Terkait