Berkat Pompa Air, ‘Inem’ pun Tak Lagi Bergoyang saat Mengambil Air di Sumur

Ade Sulaeman

Penulis

Pinggul si Inem, pembantu rumah tangga keluarga Darsono di Bojonegoro, pun ikut bergoyang kanan-kiri saat tangannya bergantian menarik tali kerek.

Intisari-Online.com – Dulu, di zaman purba, untuk memenuhi kebutuhan akan air, orang cukup mendatangi sumber air, termasuk mata air.

Dijamin, airnya masih bening-ning dan bebas dari pencemaran.

Begitu orang mulai hidup menetap, cara mendapatkan air pun berkembang.

Selain memanfaatkan mata air permukaan seperti yang dilakukan Kang Suparna yang hidup di kaki Gunung Pangrango, orang berusaha mendapatkan air dari sumber air tanah.

(Baca juga: 7 Desa Ini Tersembunyi di Tempat yang Tak Terbayangkan, Salah Satunya Ada di Kawah Gunung Berapi)

Caranya, dengan menggali sumur. Dari sinilah muncul metode menimba air dari sumur.

Semula orang menggunakan antara lain kerek dari sebatang atau beberapa batang bambu.

Prinsip kerjanya mirip jungkat-jungkit mainan anak-anak di taman bermain, menggunakan hukum keseimbangan.

Pada ujung bambu yang satu dipasangi tali atau bambu, tempat ember atau wadah lain dipasang untuk menimba air.

Lalu pada ujung yang lain diberi beban pemberat berupa batu, besi, dll. untuk meringankan kerja si pengambil air.

Kerek bambu itu lalu dipasang pada sebatang pohon atau tiang dengan mengambil titik tertentu pada batang bambu sebagai poros putarnya.

Setelah diciptakan roda kerek dari besi cor, orang lalu membuat alat penimba air dengan roda besi itu sebagai pemutar tali.

Tali yang digunakan biasanya berupa karet irisan ban bekas atau tali plastik.

(Baca juga: Menggemaskan! 8 Foto Bayi dan Hewan Peliharannya Ini Akan Menghangatkan Hati Anda !)

Sewaktu digunakan, alat itu mengeluarkan bunyi khas kreek ... kreek ....

Pinggul si Inem, pembantu rumah tangga keluarga Darsono di Bojonegoro, pun ikut bergoyang kanan-kiri saat tangannya bergantian menarik tali kerek.

Setelah era kerek, masuklah era pompa. Pompa pertama masih digerakkan dengan tangan.

Pak Bejo di Tegal menyebutnya pompa dragon, karena pompa air manual yang pertama kali dikenal orang bermerek "Dragon".

Pompa ini menghisap dan mendorong air menggunakan piston karet yang digerakkan secara manual dengan tangan melalui batang penggerak.

Saat ditarik ke atas, piston akan menarik air dari sumur untuk masuk ke dalam silinder pompa, sekaligus mendorong air dalam silinder keluar lewat saluran air keluar.

Untuk mencegah air yang sudah masuk ke dalam silinder dan pipa penghubung pompa dengan sumur keluar kembali, di bagian bawah silinder diberi katup.

Katup ini akan terbuka saat piston bergerak naik sehingga air bisa masuk dan menutup saat piston bergerak turun.

Saat piston turun inilah air berpindah dari bawah ke atas piston untuk dikeluarkan dari pompa ketika piston ditarik ke atas.

Prinsip kerja pompa ini sebenarnya sudah ada sejak abad pertengahan. Saat itu pompa piston digunakan di pertambangan yang membutuhkan alat untuk memindahkan air di areal tambang bawah tanah.

Bentuk pompa ini pernah digambar oleh Georgius Agricola dalam buku De re Metallica (1556).

Pompa bekerja berdasarkan perbedaan tekanan udara yang dihasilkan oleh gerakan piston.

Ketika piston dinaikkan, timbul kondisi hampa udara di dalam. Karena tekanan udara di luar lebih tinggi, air terdorong masuk ke dalam silinder pompa.

Dari sinilah air keluar dari pompa. Tekanan yang ditimbulkan piston dapat mendorong air hingga ketinggian 10 m.

Setelah ada listrik, pompa air listrik lambat laun menggusur "dragon". Di Indonesia pompa air jenis ini masuk di awal 1970-an.

Saat itu Sanyo sebagai pionir, sampai-sampai nama sanyo menjadi sebutan generik buat pompa air listrik.

Cara kerjanya dengan mengisap air menggunakan semacam baling-baling yang digerakkan motor listrik.

Dengan putaran itu pula air didorong keluar.

Pada pompa terbaru, air dialirkan ke tabung dan katup listrik otomatis.

Ketika keran dimatikan, tekanan air di dalam tabung menjadi tinggi yang menyebabkan katup listrik bekerja memutus arus listrik.

Begitu keran air dibuka lagi, tekanan di dalam tabung berkurang, sehingga katup listrik kembali menyambung aliran listrik dan motor berputar lagi menggerakkan baling-baling.

Kemampuan mengisap airnya cuma sampai kedalaman 10 m.

Makin hari ternyata permukaan air tanah bertambah dalam.

Pompa listrik biasa lalu digantikan jet pump, berdaya hisap hingga kedalaman lebih dari 10 m.

Ini berkat adanya eductor jet nozzle atau venturi nozzle.

Prinsip pompa jet sebenarnya sudah ditemukan dan digunakan sejak 1850.

Dengan pompa bertenaga listrik tentu tak lagi membuat si Inem repot menimba air dari sumur. (*/Gde)

(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi April 2006)

(Baca juga: Suherman, Pak Satpam yang Berhasil Raup Untung Besar dengan Bermain Saham)

Artikel Terkait