Serpihan Budaya dalam Perayaan Natal: Ayam Putih Sebagai Tanda Kesucian, Sukacita, dan Damai

Mentari DP

Penulis

Hewan memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Tuhan, alam, dan arwah di alam gaib.

Intisari-Online.com – Lain lagi cerita di Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Menurut kepercayaan masyarakat di daerah ini, segala jenis hewan adalah makhluk "sakral" yang memiliki roh.

Hewan memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Tuhan, alam, dan arwah di alam gaib. Karenanya, pada peristiwa-peristiwa penting, hewan (khususnya ayam, kerbau, kuda, kambing, dan babi) diperlakukan istimewa.

Hampir dalam setiap ritus keagamaan, hewan - terutama ayam dan kerbau – selalu dilibatkan sebagai makhluk “agung”.

(Baca juga:Serpihan Budaya dalam Perayaan Natal: Tablo dan Tetembangan Kelahiran Yesus di Jawa Tengah)

(Baca juga:Bagaimana Boneka Salju Menjadi Budaya dan Simbol Kegembiraan Musim Dingin, Juga Natal?)

Kedua hewan menjadi sarana kando ndekok (penebusan dosa) dan rekonsiliasi manusia dengan Allah Sang Pencipta.

Menurut cerita adat masyarakat ini, ayam diciptakan untuk “menebus dosa” manusia, sedangkan kerbau untuk “membentengi” agar manusia yang ditebus oleh ayam tidak jatuh lagi ke dalam kuasa kejahatan.

Khusus dalam perayaan Natal, ayam tidak sekadar sebagai penebus dan rekonsiliasi, tetapi juga penerima tamu agung yakni Yesus yang datang dari surga.

Pada perayaan Natal hanya digunakan ayam jantan berbulu putih yang tidak cacat. Di Manggarai, putih melambangkan kesucian, suka cita, dan kedamaian.

Maka melalui ayam berbulu putih itu, mereka menyambut kelahiran Yesus dengan hati yang suci, dalam suasana penuh suka cita dan kedamaian.

Tradisi ayam putih di Manggarai Flores.

Wie' Nggeluk Bail = Malam Kudus

Secara garis besar, perayaan Natal di Manggarai biasanya dibagi dalam dua tahap, yakni dalam bentuk tradisi masyarakat setempat dan liturgi yang lazim disebut misa.

Misa dipimpin oleh pastor paroki atau uskup (bila ada) dan mengikuti tata cara universal gereja Katolik.

Sedangkan perayaan Natal dalam bentuk tradisi dipimpin oleh tua (kepala) adat, tokoh masyarakat, atau salah seorang anggota dewan gereja yang benar-benar memahami tradisi Manggarai dan liturgi gereja Katolik.

Namun, dua bentuk perayaan tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang dirayakan secara bersamaan.

(Baca juga:Kehangatan Natal di Pedalaman Papua Bersama Suku Ekari: Antara Hidangan Sup Kelinci dan Musik Disko)

Biasanya, perayaan Natal diawali dengan melakukan Tanda Salib, dilanjutkan dengan pemberkatan, pembakaran dupa, serta penyalaan lilin Natal yang dilakukan di depan pintu gereja.

Kemudian pastor pemimpin misa beserta putra-putri altar berjalan berarakan menuju altar kudus (meja perjamuan).

Pada saat bersamaan, seluruh umat berdiri untuk memberikan penghormatan pada Yesus seraya menyanyikan lagu pembukaan, biasanya lagu Malam Kudus yang dalam bahasa setempat menjadi Wie' Nggeluk Bail.

Sebelum pastor resmi memimpin seluruh rangkaian misa, sebuah rombongan yang ditugaskan untuk memimpin perayaan Natal tradisi datang menyusul.

Mereka berarakan berjalan dari pintu gereja sampai depan altar kudus. Dalam prosesi itu mereka menyanyikan lagu daerah, biasanya lagu Nakata, dan terkadang disertai dengan sanda atau tarian.

Saat itulah tampak sang pemimpin rombongan membawa ayam jantan berbulu putih, diiringi anggota lain yang membawa sebotol anggur, buah-buahan dan segala sesuatu yang akan dipersembahkan di meja perjamuan kudus.

Setiba di depan altar kudus, pemimpin rombongan menyampaikan untaian doa dalam bahasa daerah.

Sambil menggenggam ayam, ia berdoa, "Io, Mori Yesus. Ui kin manuk bakok te tiba Ite dami mendit. Tegi dami, okes koe ndekok dami Lite ...."

Artinya kira-kira, "Ya Yesus. Inilah ayam putih untuk menerima kedatangan-Mu. Permintaan kami, buanglah segala dosa kami….”

Pemimpin rombongan juga menyampaikan doa permohonan untub para hierarki gereja Katolik, mulai Paus, Kardinal, Uskup, Pastor, Frater, Bruder, hirigga Suster, kesembuhan orang-orang sakit, penghiburan bagi prang yang miskin, pembebasan bagi para tawanan, perdamaian dunia, keberhasilan usaha, keselamatan arwah orang yang sudah meninggal, dll.

(Baca juga:‘Cedrus libani’, Pohon Natal Tulen yang (Nyaris) Hanya Ada di Tanah Palestina dan Lebanon)

Saat itu, suasana di dalam gereja benar-benar terasa sakral karena seluruh umat merasa ikut terlibat di dalam doa-doa tersebut.

Untaian doa itu disebut tokok atau rangkaian kata-kata magis untuk keperluan tertentu, sedangkan segala persembahan - ayam, anggur, buah-buahan, dan yang lainnya - disebut naka (pujian).

Dalam perayaan Natal bayi Yesus digambarkan sebagai tamu agung yang harus dihormati, disembah sujud, dipujimuliakan, dan diperlakukan secara istimewa.

Konon, menurut kepercayaan masyarakat daerah ini, tanda-tanda kehadiran Yesus akan terlihat di dalam hati ayam yang dipersembahkan itu.

Bila hati ayam menunjukkan tanda-tanda tiddk baik, berarti Yesus masih berada di tempat yang sangat jauh. la tidak mau datang karena umat yang dikunjungi-Nya masih berlumur dosa.

Sebaliknya, bila hati ayam menunjukkan tanda-tanda baik, berarti Yesus sudah datang.

Unik memang.

(Ditulis oleh G.Sujayanto/TimoTeweng. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 2001)

(Baca juga:Meski Selalu Ditunggu Kehadirannya saat Natal, Sinterklas Sejatinya Bukanlah Tokoh Natal)

Artikel Terkait