Penulis
Intisari-Online.com - Di sekitar kita banyak sekali masjid-masjid baru yang dibangun dengan sangat megah.
Jauh sebelum peradaban menjadi modern seperti saat ini, sebuah masjid besar dibangun dari tanah liat di Djenne, Mali, Afrika.
Masjid Djenne dibangun sekitar abad ke-13 dengan gaya arsitektur dari Sudan-Sahel.
Masjid ini diakui menjadi situs warisan dunia oleh UNESCO pada tahun 1998.
(BACA JUGA :Aneh Tapi Nyata! 5 Tempat di Bumi Ini Seperti Kehilangan Gravitasinya)
Dinding masjid terbuat dari batu bata tanah liat yang dijemur di bawah sinar matahari, yang biasa disebut ferey oleh warga setempat.
Setelah itu dilapisi dengan tanah liat berlumpur untuk memberi kesan halus bagi dinding-dindingnya.
Pada dinding bangunan juga terlihat pipa-pipa yang disebut toron, terbuat dari kumpulan batang pohon palem, fungsinya untuk dekorasi dan perancah (tangga pijakan) saat orang-orang melakukan perbaikan tahunan pada bangunan ini.
Masjid ini memiliki tiga menara besar yang menghadap ke pasar besar kota Djenne.
(BACA JUGA :Tidak Ada yang Boleh Masuk kecuali Orang-orang Tertentu! Inilah 6 Lokasi Paling Rahasia di Dunia!)
Masjid ini terletak di daratan yang dekat dengan sungai Bani, Mali yang selalu mengalami banjir tahunan.
Meski sudah didirikan dengan pondasi yang cukup tinggi, yaitu 3 meter di atas tanah, namun tteap saja air banjir akan merusak beberapa bagian masjid.
Bangunan asli masjid ini yang berasal dari tahun 1200-1300 sudah rusak karena terkena erosi dan hujan besar terus-menerus.
Bangunan yang bisa kita kunjungi saat ini adalah masjid tiruan yang dibuat semirip mungkin dengan bangunan aslinya.
Ketika Prancis menguasai Mali pada tahun 1907, kekaisaran Prancis dengan perintah dari Katedral Notre-Dame memerintahkan untuk membangun ulang masjid Djenne di tempat aslinya.
Renovasi telah mengembalikan struktur yang serupa dengan bangunan aslinya, tetapi juga dari waktu ke waktu telah mengubahnya lebih halus.
Dengan rekonstruksi bangunan yang baik, masjid tanah liat di Djenne ini menjadi makin kokoh namun tetap pada hakikat aslinya.
Sayangnya, kondisi cuaca di Djenne berdampak buruk pada bangunan ini.
Setiap tahun hujan deras dan banjir menyebabkan kerusakan kecil maupun besar pada masjid ini.
Seluruh komunitas Djenne mengambil peran aktif dalam pemeliharaan masjid melalui festival tahunan yang unik.
(BACA JUGA :Misteri Kubah Batu Yerusalem: Sumur Jiwa, Pusat Dunia, dan Tempat Disimpannya Tabut Perjanjian)
Festival ini juga termasuk pertunjukan musik dan makanan, tetapi memiliki tujuan utama untuk memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan pada masjid dalam satu tahun terakhir.
Kerusakan ini sebagian besar erosi yang disebabkan oleh hujan tahunan dan retak yang disebabkan oleh perubahan suhu dan kelembaban.
Pada hari-hari menjelang festival, plester tanah liat untuk lapisan dinding masjid dipersiapkan di sebuah ember besar .
Perlu beberapa hari untuk mengaduk plester tanah liat supaya memiliki ketebalan dan tekstur yang pas untuk lapisan dinding.
Setelah plester siap digunakan, para pria akan naik melalui tangga bantuan (perancah) untuk mulai menempelkan plester ke bagian-bagian menara masjid yang mengalami keretakan.
Sementara itu, anak-anak kecil berpartisipasi dalam lomba lari yang sangat unik.
Mereka berlomba untuk menjadi yang paling pertama membawa ember kecil berisi plester untuk diserahkan pada para petugas di masjid.
Perempuan ikut bekerja dengan cara menyiapkan air untuk mengaduk plester, sementara itu para anggota masyarakat yang sudah tua dan dihormati bisa menonton dari pasar di seberang masjid Djenne.
Masjid Agung Djenne masih rutin digunakan sebagai tempat sholat dengan bagian dalam masjid yang sederhana.
Tikar-tikar sederhana disusun di sepanjang ruangan untuk para jamaah yang ingin beribadah.
Masjid ini menjadi bagian penting dalam pertumbuhan Islam di Afrika selama abad pertengahan, madrasah untuk mempelajari Al-Qur'an juga dibangun di tempat ini.
Masyarakat di sekitar masjid Djenne menolak untuk melakukan modernisasi masjid lebih jauh lagi.
Menurut mereka, mereka ingin masjid ini tetap melambangkan Djenne seperti apa adanya.
Pada tahun 1996, majalah Vogue pernah melakukan pemotretan di dalam bangunan masjid.
Namun, masyarakat setempat menganggap pakaian yang dikenakan oleh model Vogue kurang sopan, sehingga sejak saat itu, pengunjung non muslim tidak diperbolehkan masuk ke dalam bangunan.
Masjid Agung Djenne juga pernah menjadi latar belakang pada film Sahara, tahun 2005.
Pada tahun 1930, replika dari Masjid Djenne dibangun di kota Fréjus di selatan Perancis .
Replikanya dinamakan Mosquée Missiri , dibangun dengan semen dan dicat dengan warna merah serupa bata untuk meniru warna aslinya.
Jika Anda memiliki kesempatan berkunjung ke Mali, cobalah untuk beribadah di masjid ini.
(BACA JUGA :5 Hotel Paling Unik di Bali, Ada Yang Tidur Di Alam Terbuka! Berani Coba?)