Dari Fidelis hingga Pengakuan Penghayat Kepercayaan: Inilah 5 Isu HAM yang Menuai Kontroversi di Indonesia Selama 2017

Muflika Nur Fuaddah

Penulis

Banyak kasus berkenaan dengan Hak Asasi Manusia yang diperhatikan lebih baik namun banyak juga yang terkesan diabaikan oleh negara.

Intisari-Online.com- Indonesia sepanjang tahun 2017 mengalami berbagai macam pergerakan dinamis dalam perjalanannya.

Banyak kasus berkenaan dengan Hak Asasi Manusia yang diperhatikan lebih baik namun banyak juga yang terkesan diabaikan oleh negara.

Inilah lima kasus keputusan berkaitan dengan HAM di Indonesia sepanjang tahun.

1. Februari: Pemenjaraan Fidelis Penanam Ganja untuk Pengobatan Istri

Fidelis Arie Sudewarto (36) ditemani anak pertamanya Yuvensius Finito Rosewood dan kakak kandungnya Yohana LA Suyati.
Fidelis Ari Suderwato divonis 8 bulan penjara dan denda Rp 1 miliar dan resmi ditahan pada 19 Februari 2017 oleh BNNK Sanggau, Kalimantan Barat.

Baca Juga:Katyusha, ‘Rudal Bodoh’ Andalan Pejuang Hizbullah yang Kerap Bikin Pasukan Israel Kalang Kabut

Meski Fidelis beralasan menanam ganja sebagai racikan obat untuk istrinya yang sakit, tetap tiada ampun baginya oleh ketua BNN, Budi Waseso.

Istri Fidelis kemudian meninggal pada 25 Maret 2017 ketika Fidelis dalam tahanan.

Mulai 15/10/2017 Fidelis bebas bersyarat dan kini dapat kembali menghirup udara setelah hampir 8 bulan mendekam di penjara.

Baca Juga:(Video) Kasihan, Singa Ini Panik Gara-gara Kepalanya Terperangkap di Tong Plastik

2. Juli: Penetapan Perppu Ormas No.2 th 2017

Presiden Joko Widodo pada 10 Juli 2017 menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor: 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Perppu Ormas ini kemudian disahkan oleh DPR sebagai undang-undang pada 24/10/2017.

Melalui regulasi ini, pemerintah berwewenang membubarkan sebuah ormas yang mengancam NKRI dan bertentangan dengan Pancasila. Perppu ini menghapus pasal yang menyebut bahwa pembubaran ormas harus melalui pengadilan.

Namun, PPP mendorong revisi UU Ormas masuk program legislasi nasional (prolegnas) 2018.

Arsul Sani, Sekjen PPP, ingin merevisi salah satu pasal.

Menurutnya pelibatan pengadilan tidak boleh dihilangkan seperti dalam Perppu Ormas.

Baca Juga:3 Fakta Unik Dari Permainan Kelereng, Salah Satunya Harga Kelereng yang Capai Rp54 Juta per Butirnya

3. Juli: Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) oleh AHU Kemenkumham

Aksi itu menolak Pemerintahan Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) tentang pengaturan organisasi kemasyarakatan atau ormas
19 Juli 2017 HTI resmi dibubarkan mengacu pada Perppu Ormas No.2 th 2017.

Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM mencabut status badan hukum ormas ( HTI).

"Maka dengan mengacu pada ketentuan Perppu tersebut terhadap status badan hukum HTI dicabut," ujar Freddy Harris Dirjen AHU Kemenkumham.

Pencabutan status badan hukum itu berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan HTI.

Baca Juga:Tanpa Sadar, Ternyata Kita Sering Menyebut Nama Dewa-Dewa Pagan Tiap Hari

4. November: Penghayat Kepercayaan Diakui Dalam Kolom Agama KTP

Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa status penghayat kepercayaan dapat dicantumkam dalam kolom agama di kartu keluarga dan kartu tanda penduduk elektronik tanpa perlu merinci aliran kepercayaan yang dianut.

Pengesahan MK ini diputuskan Ketua MK Arief Hidayat, di Gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Selasa (7/11/2017).

Selama ini, para penghayat kepercayaan, seperti Sunda Wiwitan, Batak Parmalim, dan Sapto Darmo, mengalami diskriminasi dalam mengakses layanan publik karena kolom agama dalam KK dan KTP mereka dikosongkan.

Sekarang mereka memiliki hak yang sejajar dengan penganut Agama resmi negara lainnya.

Baca Juga:Wow! Para Peneliti Berhasil Buktikan Teori Bahwa Waktu Benar-benar Dapat Berjalan Mundur

5. Desember: LGBT Bukan Kriminalitas

Pengajuan kriminalisasi lesbian, gay, biseksual, dan transgender serta hubungan di luar nikah ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.

Putusan MK pada kamis 14/12/2017 oleh LBH Masyarakat dianggap menjaga hak atas privasi warga negaranya, tidak menambah overpopulasi penjara, mencegah terjadinya persekusi terhadap kelompok minoritas gender dan perempuan, menjauhkan regulasi yang memungkinkan mundurnya kesuksesan intervensi HIV, serta menjaga keberadaan pasal yang melindung anak-anak dari hubungan seksual yang terjadi karena relasi kuasa dari orang yang lebih dewasa secara usia.

Artikel Terkait