Anwar Saddat, Presiden Mesir yang Dibunuh Tentaranya Sendiri Karena Berjabat Tangan dengan PM Israel

Ade Sulaeman

Penulis

Tanpa berat hati Saddat ternyata mau berjabat tangan dengan PM Israel saat itu, Manachem Begin setelah menandatangani Perjanjian Perdamaian Mesir-Israel pada 1978.

Intisari-Online.com - Ketika berlangsung Perang Yom Kippur (1973) antara Isreal dan Mesir, perang itu bagi Presiden Mesir Anwar Saddat, adalah segala-galanya.

Lewat perang itu nama Anwar Saddat menjadi populer di mata negara-negara Arab.

Tapi akibat ingin mengakhiri perang itu pula nyawa Anwar Saddat harus berakhir di ujung peluru.

Perseteruan antara Mesir dan Israel diwarisi Saddat dari pendahulunya, Presiden Gamal Abdel Nasser.

(Baca juga: Luar Biasa! Bermodal Satu Tangan, Mantan Nelayan Ini Borong 5 Emas dan Pecahkan 3 Rekor ASEAN)

Nasser yang merasa tidak berhasil dalam Perang Enam Hari di tahun 1963 mencoba mengindoktrinasi bawahannya untuk tetap memerangi Israel.

Saddat yang dipilih menjadi wakil presiden oleh Nasser, cukup terpengaruh.

Ia menjadi wakil presiden hingga Nasser wafat di tahun 1970.

Setelah itu barulah dirinya diangkat menjadi Presiden Mesir.

Dalam beberapa hal, Saddat sebenarnya tidak sependapat dengan Nasser.

Terutama dalam hal memilih para komandan militernya.

Pasalnya tak peduli apakah secara pribadi mereka cakap atau tidak. Nasser cenderung menyalahkan mereka secara kolektif.

Dengan cerdik Saddat lalu memilah-milah kembali para veteran Perang Enam Hari tersebut.

(Baca juga: Operation Badr, Kisah Kemenangan Perang Atas Israel Lewat Pertempuran Brutal Satu Lawan Satu)

Beberapa diantaranya adalah teman seangkatan di akademi militer. Misalnya saja Jenderal Ahmed Ismail Ali.

Ali adalah teman seangkatan Saddat di Akademi Militer Mesir dan sama-sama lulus 1938.

Saddat berpendapat, para veteran pasti memiliki pengalaman perang yang amat berharga dan dendam yang bisa dikobarkan kembali dalam perang mendatang.

Semua itu bagai kekuatan tersembunyi. Untungnya lagi, beberapa diantara mereka punya hubugan dengan Uni Soviet.

Jika memang Perang Arab –Israel jadi dikobarkan kembali, dukungan Soviet tentu akan sangat krusial.

Tanpa bantuan militer Soviet, Saddat sangsi Mesir tak akan mampu menghadapi Israel.

Apalagi, bukan rahasia lagi, Israel mendapat dukungan dari AS.

Walaupun banyak yang mempertanyakan siapa sesungguhnya pemenang perang Yom Kippur, Saddat dan rakyat Mesir mengklaim bahwa merekalah pemenangnya.

Alasan mereka cukup masuk akal karena Mesir kemudian berhasil membuat wilayah Sinai sebagai bufferzone.

Sejak itu moral rakyat Mesir dan Arab yang pernah dipecundangi Israel kembali terangkat.

Anwar Saddat pun diangkat menjadi pahlawan oleh negara-negara Arab.

Lima tahun setelah perang usai, Saddat ternyata mulai bersikap pragmatis dan cenderung melunak kepada Israel.

Teman-temannya di AB Mesir pun mulai menjaga jarak.

Beberapa persoalan pun mulai terjadi terutama karena wilayah Sinai belum sepenuhnya kembali ke pangkuan Mesir.

Di lain pihak, tentara Israel juga belum sepenuhnya kembali keluar dari wilayah tersebut.

Pamor Saddat selanjutnya melorot setelah pada 1977 dirinya merespon undangan PM Israel Menachem Begin.

Pertemuan di Israel ini sejatinya adalah atas saran Presiden AS Jimmy Carter.

Carter sendiri sebenarnya telah memiliki agenda khusus terhadap Mesir dan Saddat.

Pasalya saat itu AS sedang mendapat embargo minyak dari negara-negara Arab dan Mesir diyakini oleh Carter masih bisa dilobi.

Ia memerlukannya karena memang hanya Mesir dan Anwar Saddat lah satu-satunya tumpuan AS dan sekutunya untuk keluar dari jeratan embargo minyak Arab.

Sesungguhnya akal bulus AS itu bukan tak disadari oleh Saddat.

Untuk sementara waktu ia pun menikmati betul posisi kunci itu.

Saddat sudah lama ingin menyingkirkan Soviet, beralih ke AS dan pada waktu itulah saatnya.

Mesir lewat Saddat kemudian meminta bantuan persenjataan ke AS, suatu tindakan yang sebenarnya telah membuat negara-negara Arab berang.

Yang membuat Saddat semakin gembira, adalah ketika Washington ternyata mengabulkan permintaan bantuan militer yang diajukan Mesir.

Ibarat pepatah “siapa memanfaatkan siapa”, kedekatan Saddat dengan AS pun sontak membuat hubungan luar negeri Mesir dengan negara-negara Arab guncang.

Hubungan Saddat dengan rakyatnya bahkan kian memburuk.

Apalagi setelah tahu bahwa Saddat ternyata mau diajak berdamai dengan Israel, melalui Carter sebagai mediatornya.

Proses mediasi itu kemudian bertempat di rumah peristirahatan Presiden AS, Camp David.

Dalam acara mediasi yang menjadi perhatian dunia internasional khususnya negara-negara Arab, Saddat kemudian melakukan tindakan yang menimbulkan goncangan hebat.

Tanpa berat hati Saddat ternyata mau berjabat tangan dengan PM Israel saat itu, Manachem Begin setelah menandatangani Perjanjian Perdamaian Mesir-Israel pada 1978.

Perasaan bangga Saddat semakin melambung, apalagi setelah perjanjian ini berbuah Hadiah Nobel Perdamaian untuknya dan Begin.

Ketika menerima Hadiah Nobel, Saddat tampak sudah tidak begitu mempedulikan lagi perasaan sebal dari rakyatnya dan negara-negara Arab.

Karena hanya Mesir yang dapat diandalkan menjadi pemersatu Arab dan penekan Israel, tindakan Saddat sebenarnya sangat melukai rakyatnya.

Perjanjian damai itu pun serta merta membuyarkan harapan seluruh bangsa Arab demi memperjuangkan kemerdekaan rakyat Palestina.

Demonstrasi besar-besaran pun terjadi di seluruh Mesir.

Namun Saddat sama sekali tidak terpengaruh.

Saddat bahkan berpikir bahwa dengan perjanjian damai tersebut, seluruh wilayah gurun pasir Sinai dipastikan bisa kembali ke pangkuan Mesir tanpa perang.

Saddat lalu mengerahkan tentara untuk menghentikan demonstrasi melalui cara kekerasan. Sejak itulah ia menjadi represif.

Kemarahan rakyat Mesir akhirnya mencapai puncaknya.

Pada 6 Oktober 1981, di tengah parade kemiliteran untuk memperingati kemenangan Mesir dalam Perang Yom Kippur, sejumlah tentara tiba-tiba melompat dari truk.

Para penyerang yang sangat terlatih itu menerobos satuan pengaman kepresidenan, melompat ke podium tempat Saddat berdiri, lalu melemparkan granat dan menembak sang presiden menggunakan senapan serbu AK-47.

Para pengawal Saddat sebenarnya tahu ada gerakan sejumlah tentara yang tak lazim itu dan mengira merupakan bagian dari atraksi parade.

Tapi semuanya sudah terlambat dan tanpa adanya tindakan antisipasi.

Di tengah ledakan granat dan rentetan tembakan, dalam sekejap Anwar Saddat roboh berlumur darah, lalu menghembuskan nafas yang terakhir.

(Baca juga: Misteri Kubah Batu Yerusalem: Sumur Jiwa, Pusat Dunia, dan Tempat Disimpannya Tabut Perjanjian)

Artikel Terkait