Penulis
Intisari-Online.com -Pada awal tahun 1947 Inggris sebagai penguasa Palestina telah menjanjikan kemerdakaan. Baik untuk warga Israel maupun warga Arab-Palestina.
Tapi karena kemerdekaan yang dijanjikan Inggris tidak segera diberikan, warga Israel yang tidak sabar mulai melancarkan teror kepada tentara Inggris dan juga warga Arab-Palestina.
Salah satu serangan teror yang membuat pasukan Inggris kelabakan adalah aksi peledakan Hotel King David yang merupakan markas pasukan Inggris di Yerusalem.
(Baca juga:Ni Nengah Widiasih: Kalau Gagal, Ya, Coba Lagi! Kalau Jatuh, Ya, Bangun Lagi!)
(Baca juga:Luar Biasa! Bermodal Satu Tangan, Mantan Nelayan Ini Borong 5 Emas dan Pecahkan 3 Rekor ASEAN)
Sejumlah korban tewas dalam aksi peledakan it, baik dari pihak tentara Inggris maupun warga sipil.
Serangan mematikan ini sekaligus merupakan aksi teror yang spektakuler. Bagaimanapun juga, saat itu Markas Besar Pasukan Inggris dijaga dengan sangat ketat.
Pasukan Inggris pun bertindak tegas dengan cara menangkapi para teroris Yahudi dan mengeksekusinya.
Tapi kelompok militan Yahudi ternyata membalas dengan cara yang sama.
Mereka menculik dua tentara Inggris dan mengeksekusinya dengan cara digantung.
Kendati mendapatkan tindakan represif oleh militer Inggris, teror yang dilancarkan oleh militan Israel terus berlangsung dan makin tak terbendung.
(Baca juga:Sadis, Mahasisiwi Ini Tega Buang Bayi yang Baru Dilahirkannya Lewat Jendala di Lantai 5 Asramanya)
Pemerintah Inggris di Palestina pun makin kewalahan. Mereka akhirnya mengambil langkah politis yang secara tidak langsung sangat menguntungkan warga Yahudi.
Pada Februari 1947 Menteri Luar Negeri Inggris Ernest Bevin mengumumkan, Inggris akan menyerahkan persoalan Palestina kepada PBB.
Inggris bahkan akan mengembalikan mandatnya atas Palestina yang berakhir pada 14 Mei 1948.
Pasukan Inggris di Palestina juga akan segera ditarik secara bertahap.
Setelah masalah Palestina diambil alih oleh PBB, langkah yang kemudian diambil PBB adalah membentuk komisi khusus untuk menyelesaikan masalah warga Yahudi dan Arab Palestina.
Komisi khusus itu pun kemudian memberikan rekomendasi yang materinya tidak berbeda jika dibandingkan dengan Deklarsi Balfour.
Deklarasi itu sendiri menyodorkan saran dibentuknya negara Israel dan Arab Palestina.
Sementara Kota Yerusalem berada di bawah pengawasan perwalian internasional.
Rekomendasi itu pada November 1947 disetujui oleh Majelis Umum PBB, termasuk disetujui juga oleh negara AS dan Uni Soviet, sedangkan Inggris sendiri menyatakan abstain.
Namun, rekomendasi itu kembali ditolak oleh negara-negara Arab yang menentang pembagian wilayah Palestina tersebut karena dianggap tidak adil, khususnya bagi warga Arab-Palestina.
Akibat sikap tidak setuju dari negara-negara Arab itu potensi konflik antara warga Israel dan Arab Palestina jelas akan makin meningkat.
Apalagi sudah mulai dibentuk kelompok-kelompok perlawanan untuk menyerang warga Yahudi.
Usulan Komisi Khusus PBB yang sudah disetujui oleh Sidang Umum PBB pun mulai dijalankan dengan situasi yang mencerminkan semangat besar warga Yahudi untuk segera memiliki negara dan keengganan dari warga Arab Palestina.
Tapi proses pembagian dua wilayah yang akan dibatasi oleh tembok besar itu nantinya ternyata tidak berjalan mudah.
Warga Yahudi sendiri mengalami kebingungan.
(Baca juga:Mengerikan, Wanita Ini Robek Testis Pacar dengan Gigi. Alasannya Bikin Geleng-geleng)
Kendati warga Yahudi dan Arab Palestina tidak akur, banyak dari mereka yang tinggal dalam satu wilayah.
Komisi khusus PBB jelas tidak bisa memberikan wilayah itu ke salah satu pihak saja karena dipastikan akan memicu konflik.
Untuk mengatasi wilayah yang masih tumpang tindih itu Komisi Khusus akhirnya memutuskan pembagian wilayah Israel sebagai negara Yahudi itu meliputi wilayah dari utara ke selatan jaraknya kurang dari 400 mil.
Wilayah itu terdiri atas kawasan Galilea yang berbatasan dengan Suriah dan Lebanon, jalur sepanjang pantai tengah termasuk kota besar Tel Aviv yang kemudian jadi ibukota Israel.
Lalu kota Jaffa dan Haifa, serta gurun Najev yang cukup luas di wilayah selatan.
Di wilayah itu masalah langsung timbul karena terdapat pemukiman warga Arab Palestina.
Di wilayah yang menjadi bagian warga Arab Palestina pun seperti Gaza, tepi barat sungai Yordan, dan kawasan utara yang berbatasan dengan Lebanon muncul masalah pelik.
Kawasan Arab ini mengelilingi Yerusalem, tempat sekitar 100 ribu orang Yahudi tinggal. Warga Arab Palestina maunya juga mendapatkan kota Yerusalem yang sudah bersih dari orang Yahudi.
Tapi pada prinsipnya warga Arab Palestina yang mendapat dukungan dari negara-negara Arab tetap tidak menginginkan wilayah Palestina dibagi dua.
Lebih dari it, mereka tidak mau mengakui berdirinya negara Israel.
Menyadari jika perseteruan bersenjata sewaktu-waktu bisa pecah, apalagi setelah pasukan Inggris meninggalkan Palestina, kedua belah pihak kini makin memperkuat pasukan-pasukan tempurnya masing-masing.
(Baca juga:(Video) Mengerikan, Seekor Anjing Liar Gondol Bayi Baru Lahir Untuk Dijadikan Makanan Anak-anaknya)
Dalam skala lokal kekuatan tempur baik warga Israel maupun Arab Palestina pun sudah sering bentrok dan menimbulkan korban jiwa.
Untuk mendapatkan persenjataan warga Israel berusaha meminta kepada pasukan Inggris yang memiliki banyak depo senjata.
Cara ini cukup efektif dengan perhitungan jika pasukan Inggris ditarik dari Palestina tidak semua persenjataan akan dibawa maka milisi Israel pun mendapat persenjataan yang memadai.
Sedangkan warga Arab Palestina mendapatkan persenjataan dari negara-negara Arab meskipun datangnya persenjataan yang sangat dibutuhkan perlu waktu cukup lama.
Warga Arab Palestina juga membentuk kelompok pertahanan seperti Najadu dan Futuwa.
Mereka juga memanfaatkan pasukan-pasukan gerilya yang sudah berpengalaman dalam Perang Dunia II.
Salah satu pimpinan kelompok gerilyawan yang kemudian menjadi tokoh besar dan menjadi buruan orang-orang Israel adalah Hassan Salameh.
Negara-negara Arab berkomitmen tidak hanya membantu warga Arab Palestina dalam bentuk bantuan persenjataan tapi juga dalam bentuk pengiriman pasukan tempur dalam jumlahnya besar.
Misalnya, Yordania menyiapkan sebanyak 10 ribu pasukan dan dukungan tank lapis baja, Mesir menyiapkan 5.000 pasukan, Irak menyiapkan 10 ribu pasukan dan batalyon lapis baja serta dukungan pasukan dari Arab Saudi.
Sementara negara Arab lainnya yang akan mengirimkan ribuan pasukan, ratusan tank, sekaligus kekuatan udaranya adalah Suriah.
(Baca juga:Sadar Bangsa Yahudi dan Bangsa Arab Tak Dapat Bersatu, Inggris pun ‘Bagi Dua’ Palestina)
Serbuan negara-negara itu tinggal menunggu waktu yang tepat. Yakni, ketika semua pasukan Inggris sudah ditarik mundur dari bumi Palestina.
Peperangan yang kemudian berlangsung ternyata menjadi cikal-bakal konflik Arab-Israel hingga saat ini mengingat warga Arab yang sudah terusir dari Palestina ingin kembali lagi.
Sedangkan Israel berusaha keras mencegah kembalinya warga Palestina ke wilayah yang dahulu pernah menjadi haknya.