Penulis
Intisari-Online.com - Ketika seorang perwira TNI sudah berpangkat Kolonel maka pangkat berikutnya yang akan diraihnya adalah pangkat perwira tinggi bintang satu.
Pangkat jenderal bintang satu yang di satuan TNI AD disebut sebagai Brigadir Jenderal (Brigjen), di TNI AL disebut Laksamana Pertama (Laksma), dan di TNI AU disebut Marsekal Pertama (Marsma) itu merupakan pangkat yang sebenarnya sulit diraih.
Seorang Kolonel TNI harus memiliki prestasi, tidak memiliki cacat adsministrasi dan kesalahan dalam penugasannya, hubungan serta lobby yang baik dengan para pejabat tinggi TNI jika ingin mendapatkan pangkat bintang satu di pundaknya.
Penentuan seorang perwira TNI berpangkat Kolonel untuk mendapatkan bintang juga masih dilakukan oleh Dewan Kebijakan Tertinggi (Wanjakti) yang terdiri dari para Perwira Tinggi di satuannya sehinggga makin ‘’mempersulit’’ seorang Kolonel TNI untuk meraih pangkat bintang satu.
(Baca juga: Luar Biasa! Bermodal Satu Tangan, Mantan Nelayan Ini Borong 5 Emas dan Pecahkan 3 Rekor ASEAN)
Demikian sulitnya seorang Kolonel TNI untuk mendapatkan pangkat bintang satu, maka jika Kolonel TNI itu ditanya kapan bisa berpangkat Jenderal, maka jawabannya adalah , ‘’Hanya Tuhan yang tahu’’.
Tapi di zaman Orde Baru, di kalangan ABRI (TNI) waktu itu, bagi perwira TNI atau Polri yang ingin medapatkan pangkat Jenderal sudah tahu rahasia umumnya bahwa mereka harus dekat atau punya relasi dengan ‘’keluarga Cendana’’ atau keluarga besar Pak Soeharto.
Meskipun personel TNI dilarang berpolitik, tapi untuk mendapatkan pangkat Jenderal mulai dari Jenderal Bintang Satu, Bintang Dua, Bintang Tiga, dan Bintang empat, perjuangannya sangat terkait dengan perkembangan politik negara.
Perkembangan politik yang sedang terjadi, seperti di Indonesia akan memunculkan orang-orang penting yang kemudian ternyata bisa menentukan naik pangkatnya seorang perwira TNI menjadi Jenderal.
(Baca juga: Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, Calon Panglima TNI yang Selalu Berusaha Keras Mendekatkan TNI pada Rakyat)
Sebagai contoh ketika Marsekal TNI Hadi Tjahjanto yang pada tahun 2010-2011 saat itu masih berpangkat Kolonel dan menjabat sebagai Danlanud Adisumarno, Solo, Jawa Tengah, ternyata bersahabat dengan Walikota Solo saat itu Joko Widodo (Jokowi) yang kemudian menjadi Presiden RI ke-7.
Persahabatan antara Hadi Tjahjanto dan Joko Widodo jelas merupakan suatu ‘’pulung’’ karena sangat berpengaruh ke masa depannya, khususnya bagi Hadi Tjahjanto sendiri.
Ketika pada tahun 2014 Jokowi terpilih sebagai Presiden RI secara ‘’kebetulan’’ Hadi Tjahjanto juga sedang berada di Jakarta (Mabes TNI AU) karena menjabat sebagai kepala Dinas Penerangan TNI AU (Kadispenau).
Dari jabatan sebagai Walikota Solo, Gubernur DKI, dan Presiden RI yang ‘’melompat terlalu cepat’’ sebenarnya membuat Jokowi kurang memiliki waktu untuk mengenali pejabat tinggi TNI yang akan menjadi mitra kerja sekaligus anak buahnya.
Tapi Jokowi masih ingat siapa itu Hadi Tjahjanto dan tentu saja prestasi kerjanya.
Maka tidak mengherankan jika kemudian Hadi Tjahjanto ditarik oleh Jokowi ke lingkaran istana untuk menjabat sebagai Sekretaris Militer Presiden (2015-2016).
Penarikan Hadi Tjahjanto ke lingkaran istana dengan pangkat Jenderal Bintang 2 (Masekal Muda) secara alami telah membuatnya mendapatkan pulung sekaligus restu secara politik dari Presiden.
Maka tidak mengherankan pula berdasar kinerja dan loyalitasnya, ketika berpangkat Marsekal (Bintang 4), Hadi Tjahjanto kemudian dipercaya menjabat sebagai Kasau (Kepala Staf Angkatan Udara).
(Baca juga: Ni Nengah Widiasih: Kalau Gagal, Ya, Coba Lagi! Kalau Jatuh, Ya, Bangun Lagi!)
Jika dibandingkan dengan zaman Orde Baru sebenarnya apa yang sedang dialami oleh Marsekal Hadi Tjahjanto tidak jauh berbeda karena sudah mendapatkan keduanya, yakni pulung dan kondisi politik yang tepat dengannya.
Kultur TNI adalah siapapun perwira mulai dari pangkat Kolonel dan Jenderal jika sudah berada di lingkaran istana masa depannya memang akan sangat cerah demikian pula kenaikan pangkatnya.
Apalagi keberutungan seorang perwira TNI bisa masuk ke lingkaran istana atau RI I betul-betul karena pulung dan perkembangan politik yang sebenarnya tidak pernah direncanakan atau bahkan dipikirkannya.
Ketika Jokowi masih menjabat Walikota Solo tidak ada seorang pun yang menduga, dia akan menjadi Presiden RI.
Bahkan Jokowi sendiri mungkin juga sama sekali tidak menduga jika dirinya bisa menjadi Presiden RI ke-7.
Hadi Tjahjanto sendiri ketika menjabat sebagai Danlanud Adisumarno mungkin tidak berpikir dirinya bisa menjadi Kasau atau Panglima TNI karena itu ‘’hanya Tuhan tahu’’.
Tapi yang jelas pertemuan antara Jokowi dan Hadi Tjahjanto saat sama-sama menjadi pejabat teras di Solo ternyata menentukan arah perkembangan dan tegaknya NKRI ini.
Keduanya telah terbukti sebagai magnet yang saling bersinergi.
Pasalnya pulung dan kondisi politik yang sebenarnya merupakan kehendak Tuhan itu akan bisa dimanfaatkan oleh Marsekal Hadi Tjahjanto dan Presiden Jokowi secara optimal demi masa depan NKRI yang lebih baik.
Oleh Agustinus Winardi, pengamat militer di Bogor.