Find Us On Social Media :

Ni Nengah Widiasih: Kalau Gagal, Ya, Coba Lagi! Kalau Jatuh, Ya, Bangun Lagi!

By Ade Sulaeman, Kamis, 30 November 2017 | 11:30 WIB

Intisari-Online.com - Atlet angkat besi Ni Nengah Widiasih lagi-lagi mengharumkan nama Indonesia di ajang olahraga internasional.

Kali ini Widiasih mengibarkan merah putih di ajang ASEAN Para Games 2017 yang baru saja berlangsung di Malaysia.

Widiasih berhasil meraih medali emas di nomor 45 kilogram.

Tak cukup di situ, atlet berusia 27 tahun tersebut juga memecahkan rekor ASEAN Para Games dengan angkatan terbaik 95 kilogram.

Raihan ini juga melampaui keberhasilannya di ajang ASEAN Para Games 2015 Singapura dengan angkatan 80 kilogram.

(Baca juga: Nur Ferry Pradana: 4 Emas Dipersembahkan, 3 Rekor Dipatahkan, Tak Ada Lagi ‘Keterbatasan’)

Langganan juara

Bisa dibilang, lifter asal Bali ini memang langganan juara.

Berbagai medali dan hadiah berhasil dikumpulkannya melalui berbagai kejuaraan, baik dalam maupun luar negeri.

Salah satu yang paling dikenang adalah keberhasilannya meraih medali perunggu di ajang Paralympic 2016 di Rio de Jeneiro, Brasil.

Keberhasilan yang diganjar dengan bonus Rp1 miliar serta tunjangan hari tua jika kelak dirinya pensiun sebagai atlet.

Saat itu Widiasih berhasil mengangkat beban 95 kilogram di kelas 41 kilogram.

Perlu dicatat bahwa, medali yang dipersembahkan oleh Widiasih menjadi satu-satunya medali yang diperoleh kontingen Indonesia di ajang tersebut.

Angka 95 kilogram seolah lekat dengan Widia.

Sebab di angka itulah dirinya berhasil meraih medali, termasuk saat dirinya berhasil memecahkan rekor nasional (Pekan Paralimpiade Nasional 2016).

Tentu itu hanyalah hasil akhir yang lahir dari sebuah proses panjang.

Terkilir, salah urat, otot sobek, sampai tulang selangka yang bergeser adalah sebagian proses yang dialami selama ini.

Latihan menjadi bagian dari proses panjang itu. Saat masih bersekolah waktu mainnya dikonversikan menjadi latihan.

“Pagi sekolah, sore latihan,” kata Widiasih.

Meski merasakan kehilangan waktu remajanya, namun ia tetap mensyukuri apa yang sudah ia lakoni.

Berdampingan dengan Kakak

Lahir di Karangasem, Bali, pada 12 Desember 1992, Widiasih harus kehilangan fungsi kaki karena terserang polio pada usia tiga tahun.

“Kakak saya juga mengalami hal yang sama. Kami sama-sama diajak ke dokter berbarengan. Disuntik juga barengan,” kata Widiasih, tentang kakaknya I Gede Suantaka yang juga atlet difabel angkat berat.

Sejak kena polio Widiasih harus hidup dengan kursi roda.

Kondisi tersebut membuat orangtuanya menyekolahkannya ke Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Jimbaran di Bali.

Di masa awal pendidikannya, Widiasih lebih sering mengikuti perlombaan cerdas cermat.

"Sering diminta mewakili YPAC," katanya kepada Kompas.

‘Berbeda’ dengan kebanyakan anak-anak tentu membuat Widiasih pernah mengalami kekecewaan.

“Waktu kecil iya, merasa sendirian (dengan kondisi seperti itu).  Tapi setelah beranjak dewasa, pandangan itu berubah. Pandangan hidup saya pun mulai berbeda. Sekarang saya hanya mensyukuri apa yang Tuhan berikan kepada saya,” kata anak kedua dari empat bersaudara itu.

Bahkan dirinya semakin bersemangat mengukir prestasi.

Perunggu Paralympic Rio 2016 juga emas ASEAN Para Games 2017 pun tak lantas membuat Widiasih puas.

Ia mengaku akan terus bertanding dan berlatih. Terlebih, menurutnya, angkat berat tak terbatas oleh usia.

Meski belum ada rencana ke depan selepas tidak lagi menjadi atlet, dari uang hadiah yang terkumpul Widiasih bermimpi memiliki sebuah gym di Bali.

Pusat kebugaran itu ia dedikasikan untuk sesama difabel.

Ia pun selalu menyemangati sesama kaum difabel untuk tidak pernah menyerah.

“Semangat! Gagal, coba lagi. Jatuh, bangun lagi!”

(Agus Surono)